Mencari Hilal (2015)

Masalah terbesar dalam film Indonesia bertemakan religi yakni kesan menggurui yang mati-matian dimasukkan oleh pembuatnya lewat pesan-pesan moral. Bisa saja film tersebut berakhir bagus, tapi tidak akan menjadi penting. Bagi saya, sebuah film layak disebut "penting" ketika bisa mengangkat suatu kisah yang relevan dengan isu sosial pada suatu tempat. Bicara soal agama, isu terbesar yang hingga ketika ini masih marak memunculkan polemik yakni perbedaan dan toleransi. Dalam kondisi semacam itu, hidangan yang menggurui akan percuma, apalagi disaat kisahnya terlalu memihak (bahkan mengagungkan tanpa cela) pada suatu paham atau suatu tokoh. Ditambah lagi banyak filmmaker mengatasnamakan karya sejenis sebagai tontonan "pembangun moral bangsa". Perfilman religi negeri ini perlu film yang tidak memihak dan sanggup menyajikan pesannya secara halus sehingga penonton dengan nrimo bersedia mencerna apa yang ingin disampaikan. 

Tapi siapa sangka film yang saya nantikan itu akan lahir dari tangan seorang Ismail Basbeth. Kenapa tidak saya sangka? Mari tengok karyanya sebelum ini ibarat film pendek Shelter sampai debut film panjangnya, Another Trip to the Moon (review). Kata-kata ibarat "eksperimental", "meditatif", atau "arthouse" akan bermunculan, tapi pastinya tidak akan menerka sineas ini menciptakan film religi. Mencari Hilal yang naskahnya ditulis bertiga oleh Ismail Basbeth, Salman Aristo dan Bagus Bramanti punya sosok sentral berjulukan Mahmud (Deddy Sutomo), seorang laki-laki 60 tahun yang memegang teguh prinsip Islam dalam menjalani hidupnya. Mahmud selalu menegakkan prinsipnya itu pada kondisi apapun termasuk dalam berdagang meski ia harus mendapatkan cercaan dari pedagang-pedagang lain. Tidak segan pula Mahmud menegur umat muslim yang dianggapnya tidak menjalankan kaidah Islam walau lagi-lagi respon negatif lebih sering diterima. 
Tapi dengan keteguhan hati dan pemahaman agama yang kuat, Mahmud tetap bukanlah sosok sempurna. Hubungannya dengan sang putera, Heli (Oka Antara) sudah usang renggang, apalagi semenjak Heli yang seorang penggerak tidak pernah lagi pulang ke rumah. Ditambah lagi, Heli bukanlah orang yang taat agama. Dia tidak menjalankan solat, tidak pula berpuasa. Heli sendiri memendam kemarahan pada sang ayah yang baginya telah menelantarkan keluarga demi ibadah dan syiar agama. Mencari Hilal memulai pencariannya, bergerak sebagai road movie disaat Mahmud merasa terganggu oleh isu bahwa pemerintah mengeluarkan dana 9 miliar untuk sidang Isbat. Dari situ ia teringat kebiasaan lamanya ketika masih di pesantren dulu: melaksanakan perjalanan untuk melihat hilal. Dengan kondisi kesehatan yang makin memburuk, Mahmud hasilnya ditemani oleh Heli yang terpaksa ikut demi mendapatkan paspor dari kakaknya, Halida (Erythrina Baskoro). 

Pada film religi yang (jika boleh disebut) mainstream, karakterisasi Mahmud dan Heli bisa menjadi sekedar hitam dan putih. Mahmud bisa menjadi sosok kiai penuh kebaikan tanpa cela, kemudian perjalanan ini bakal perlahan merubah Heli menjadi cowok yang taat beribadah. Tapi di tangan Ismail Basbeth, keduanya sama-sama mempunyai kelebihan serta kekurangan masing-masing. Mereka menyimpan pertanyaan masing-masing, terdapat kegundahan yang menjadi ganjalan untuk mendapatkan satu sama lain. Destinasi awal perjalanan memang yakni mencari lokasi untuk melihat hilal, namun pada hasilnya mereka menemukan lebih dari itu. Esensi dari road movie semacam ini yakni pengalaman-pengalaman yang ditemui oleh karakternya. Pengalaman itu akan menawarkan pelajaran bahkan atas sesuatu yang pada awalnya tidak berusaha mereka cari, sama ibarat Mahmud dan Heli yang seringkali tersesat, tidak tahu arah dalam pencarian mereka.
Beberapa konflik berkaitan dengan isu sensitif disatukan benang merah berjulukan "perbedaan" yang ditemui karakternya dimanfaatkan oleh Ismail Basbeth untuk menyuarakan pesan film ini. Tapi pesan itu disampaikan tidak ibarat seorang pemuka agama yang sedang berkhotbah. Sebagai penonton saya diposisikan secara netral. Fakta bahwa kedua tokoh utamanya mewakili sisi yang bertolak belakang semakin memperkuat kenetralan itu. Baik Mahmud dan Heli tidak ada yang lebih dominan. Mereka punya porsi sama dalam menanggapi tiap permasalahan, menawarkan dua perspektif berbeda kepada penonton. Kesan netral itu penting, alasannya yakni dengan begitu saya tidak pernah merasa dipaksa untuk memihak. Basbeth memaparkan konflik, memberikan isi pikirannya tapi tetap membiarkan penonton memunculkan aspirasinya sendiri. Saya tidak merasa terhakimi alasannya yakni cara berututur tersebut, dan justru alasannya yakni itulah pesannya sanggup tersampaikan secara mulus. 

Tidak pernah juga saya mendapati film ini berlebihan mendramatisir cerita. Walau begitu dinamika emosinya kuat. Sama ibarat caranya memberikan pesan, cara Mencari Hilal menyulut emosi juga dilakukan secara alamiah. Tidak ada paksaan supaya penonton merasa sedih, terharu atau marah. Momen-momen emosional hadir alasannya yakni memang sudah sepantasnya itu terjadi sebagai sebuah respon natural huruf atas sebuah situasi, bukan manipulasi mendadak untuk "mempercantik" alur. Justru kesederhanaan itu menjadi kecantikan yang mengikat saya pada filmnya. Bicara soal "cantik", Mencari Hilal punya sinematografi memikat yang lagi-lagi berpijak pada kesederhanaan. Tidak perlu pemilihan warna unik atau golden hour berlebih. Keindahan gambarnya mengutamakan rasa, mendukung atmosfer dimana tiap frame merupakan perpaduan tepat antara pemeran dengan semesta sebagai panggung perjalanan mereka.

Kekuatan akting turut menjadi pondasi dengan chemistry kuat antara Deddy Sutomo dengan Oka Antara. Secara individu terang Deddy Sutomo lebih menonjol. Kita bisa mencicipi tiap keresahan dan bagaimana ia menderita ketika mendapati konflik religiusitas. Tapi terlebih lagi yakni bagaimana tatapan matanya terhadap sang anak yang penuh kasih sayang tak terungkapkan. Oka Antara mulai bisa mencuri perhatian ketika karakternya mulai memunculkan secercah rasa iba pada sang ayah. Jika anda pernah mengalami kontradiksi dengan seorang ayah maka rasa tersebut bakal tersalurkan begitu kuat. Pada hasilnya semua terasa mengharukan disaat pencarian keduanya terhadap Hilal justru berujung pada inovasi yang lebih personal. Mereka menemukan satu sama lain. Senyuman berhiaskan air mata pun hadir melihat Oka Antara dan Erythrina Baskoro saling bersandingan di akhir.

Verdict: Mencari Hilal bertutur layaknya bagaimana seharusnya suatu agama/kepercayaan merasuk dalam diri manusia: sederhana tapi kuat, dan yang paling penting sama sekali tidak memaksa kita untuk menerimanya. Indah sekaligus tulus.

Belum ada Komentar untuk "Mencari Hilal (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel