Dead Snow 2: Red Vs. Dead (2014)
Menghidupkan zombie nazi, membuat mereka menumpahkan darah di tengah hamparan salju putih yakni wangsit yang briian dari Tommy Wirkola. Horror dalam bentuk kebrutalan berdarah plus bab tubuh berceceran berpadu apik dengan komedi hitam dalam.....well, bagian tubuh yang berceceran. Dead Snow 2: Red vs. Dead dibuka dengan rangkuman adegan film pertama, termasuk ending saat Martin (Vegar Hoel) yang mengira dirinya telah selamat dikejutkan oleh serangan Herzog sang pemimpin zombie nazi (dalam sebuah adegan mengerikan). Martin berhasil selamat, tapi para zombie belum puas meski harta mereka telah kembali. Herzog membawa pasukan zombie-nya turun ke kota, untuk menuntaskan misi dari Hitler yang tidak sempat mereka tuntaskan dulu. Disisi lain, Martin yang terbangun di rumah sakit mendapati dua fakta mengejutkan. Pertama ia menjadi tersangka atas maut teman-temannya. Kedua, dokter mengganti tangannya (yang ia potong) dengan tangan milik Herzog.
Bagaimana menghasilkan kegilaan yang lebih dari zombie nazi di hutan bersalju? Bawa mereka ke perkotaan untuk membuat pasukan zombie, berikan mereka tank, berikan karater utama transplantasi tangan zombie yang memberikannya kekuatan termasuk menghidupkan orang mati. Jika belum cukup, berikan lawan sepadang bagi zombie nazi. Siapa? Tentu saja zombie tentara Rusia. Ya, judul sub-judul Red vs. Dead ternyata mengarah kepada pertempuran epic antara zombie nazi melawan zombie Rusia. Semua itu membuat sekuel ini lebih besar dan lebih action packed daripada pendahulunya. Kesuksesan film pertama memperlihatkan Wirkola susukan untuk bujet yang lebih besar. Dengan dana lebih dari dua kali lipat, ia manfaatkan itu semaksimal mungkin untuk memperlihatkan kegilaan sesinting mungkin.
Film kedua ini mengusung formula standar sebuah sekuel, yakni "the bigger, the better". Red vs. Dead lebih terasa sebagai sajian blockbuster unrated. Meninggalkan suasana horror klaustrofobik film pertamanya, hal ini memperlihatkan komparasi antara franchise ini dengan dua film pertama Alien. Sama ibarat yang dilakukan James Cameron, Wirkola menyebabkan sekuelnya lebih kental nuansa agresi tanpa harus meninggalkan sentuhan horor-komedi. Seolah ingin "balas dendam" atas kegagalannya dalam Hansel & Gretel: Witch Hunters, Tommy Wirkola menunjukan kapasitasnya membuat blockbuster jika tidak menerima kekangan studio maupun tubuh rating. Dia tahu cara mengemas adegan agresi menjadi tidak asal cepat atau penuh ledakan, tapi juga seru, menegangkan, sekaligus keren. Contoh tepat bisa dilihat ketika adegan ketika Glenn (Stig Frode Henriksen) harus lari dari kejaran zombie sembari disaat bersamaan dua perempuan nerd dari zombie squad melemparkan peledak. Jika masih kurang, simak showdown antara Stavarin melawan Herzog. Otomatis saya bersorak: Whoaa that's fuckin' cool!
Tommy Wirkola masih gila. Film ini memastikan itu. Tidak hanya tingkat kesadisan yang masih dipertahankan bahkan dilipat gandakan, caranya melucu lewat komei hitam pun tetap absurd. Hanya disini kita bisa menemukan zombie nazi menembakkan meriam dari tank kearah dua perempuan dengan kereta bayi. Hanya disini nenek tua, anak-anak, atau seseorang di bangku roda tidak ragu-ragu untuk dihabisi dengan cara sesadis mungkin. Hanya disini pula ada seorang (?) zombie patuh pada tuannya, selalu bernasib sial, dan muntal di dalam kendaraan beroda empat alasannya yakni mabuk darat kemudian kemudian memakan kembali muntahan itu. Menjijikkan! Tapi lucu luar biasa. Tapi sayang, sama ibarat horornya, komedi film ini juga harus sedikit menyerah pada action. Bukan hal buruk, tapi saya lebih bersenang-senang oleh ketakutan dan tawa yang mendominasi film pertama. Untuk komedi, kehadiran subplot para polisi lokal tolol juga terasa tidak berguna. Mereka yakni satu-satunya komedi yang tidak pernah tampil lucu disini, plus kehadirannya sama sekali tidak penting. Hanya annoying dan tidak lucu.
Jika anda pecinta zombie, atau seorang nerd, atau seorang nerd yang mengasihi zombie, maka film ini menyelipkan sedikit surat cinta pada anda lewat kehadiran Zombie Squad. Meski membawa nama dan lambang yang sama dengan organisasi Zombie Squad yang orisinil di dunia nyata, dalam film ini mereka hanyalah tiga cukup umur nerd dari Amerika. Satu orang yakni laki-laki yang tahu segala hal perihal zombie dan (anehnya) bisa beraksi dengan begitu badass membasmi mereka semua. Dua sisanya yakni wanita. Satu pure nerd dengan tampilan biasa saja, satu lagi yakni perempuan bagus yang terobsesi pada Star Wars. Bersama, ketiganya menerima kesempatan mencicipi zombie apocalypse, membasmi begitu banyak zombie dengan peralatan seadanya ibarat sekop dan kampak. How's that sounds? Secara keseluruhan saya masih lebih suka film pertamanya yang merupakan kombinasi tepat antara horror angker penuh darah dengan komedi hitam. Tapi bukan berarti Dead Snow 2: Red vs. Dead itu buruk. Seru, keren, brutal, lucu. Menyenangkan.
Belum ada Komentar untuk "Dead Snow 2: Red Vs. Dead (2014)"
Posting Komentar