Doea Tanda Cinta (2015)

Saya mengakibatkan Doea Tanda Cinta sebagai pola konkret mengenai dampak jelek tugas industri yang mengharuskan sebuah film mengeruk laba serta menjaring penonton sebanyak mungkin. Selain film ini entah sudah berapa banyak karya yang punya potensi besar mengeksplorasi banyak hal tapi demi mendapat lebih banyak penonton menentukan untuk fokus atau memasukkan tema universal. Apalagi kalau bukan cinta. Sama sekali tidak ada maksud menyatakan diri aku membenci film romansa atau tontonan klise. Karena aku justru lebih mengapresiasi film yang bisa tampil memukau meski bermodalkan dongeng klise. Namun film menyerupai Doea Tanda Cinta itu punya permasalahan berbeda. Ceritanya ber-setting di Akmil (Akademi Militer), dan dari apa yang aku lihat di layar film ini punya terusan lebih untuk mengeksplorasi tiap sendi kehidupan para Taruna. Bermodalkan penggarapan yang jauh dari asal-asalan, ada potensi besar mengakibatkan film ini sebagai materi eksplorasi mendalam.
Tapi permasalahan ada pada naskahnya yang digarap oleh empat penulis (Jujur Prananto, Hotnida Harahap, Hendra Yus, Satria Pringgodani). Paruh awal sebetulnya menawarkan kesempatan untuk menunjukkan pada penonton bagaimana isi latihan-latihan keras yang diterima oleh para Taruna tersebut. Hal ini penting alasannya yaitu nantinya Doea Tanda Cinta akan bergerak menuju kearah yang lebih emosional lewat percampuran kisah persahabatan dan romansa. Apabila filmnya bisa menampilkan dunia keras yang dijalani oleh karakternya, maka pesan yang coba disampaikan perihal "sekeras apapun tentara mereka tetap insan biasa yang bisa jatuh cinta" akan lebih terasa membekas. Tapi yang dihadirkan hanya latihan fisik ala kadarnya atau bentakan demi bentakan yang tidak akan menawarkan dampak berlebih pada mereka yang menerimanya. Selain itu tidak ada lagi. Para murid terlihat senang-senang saja tanpa ada pergolakan apapun. Tidak bisa disangkal interaksi antara mereka cukup menghibur dan sesekali memancing tawa. Tapi untuk drama yang berniat hadir emosional dan ber-setting di daerah "tidak biasa" film ini harusnya lebih dalam dari itu.
Saya makin menyayangkan kurangnya eksplorasi akan hal di atas alasannya yaitu pada paruh awalnya, film ini jauh lebih banyak berputar di kehidupan Taruna secara kolektif daripada personal. Baru sehabis itu kita diajak melihat dimulainya persahabatan antara Mahesa (Rendy Kjaernett) dan Bagus (Fedi Nuril). Mahesa lebih punya banyak konflik di awal ketika ia harus bersusah payah mengikuti keadaan dengan kehidupan di Akmil. Latar belakangnya sebagai anak orang kaya sekaligus petinggi militer dari kota menciptakan Mahesa tersiksa dengan kehidupan disana yang ironisnya tidak nampak terlalu berat. Dari situ nampak bahwa penderitaan Mahesa yang hingga beberapa kali berniat kabur memang didasari alasannya yaitu sifat manja miliknya. Tapi jikalau benar menyerupai itu, semakin tidak masuk nalar lagi disaat si anak manja ini bisa berubah perilaku 180 derajat hanya alasannya yaitu sekali mendapat pertolongan. Setelah semua yang terjadi, ia bisa serta merta pribadi berubah hanya alasannya yaitu itu? Sulit untuk aku terima. Belum lagi ditambah fakta perubahan itu juga dipakai sebagai pembuka jalinan persahabatan antara Mahesa dengan Bagus.

Penonton dipaksa bersimpati pada persahabatan mereka berdua yang dimulai dengan begitu terburu-buru. Memang sedari awal kita melihat Bagus sebagai satu-satunya sobat yang setia memperhatikan Mahesa, dan pada alhasil keduanya sama-sama berada di kesatuan angkatan darat. Tapi itu saja belum cukup. Jika bukan alasannya yaitu chemistry cukup berpengaruh antara Rendy Kjaernett dengan Fedi Nuril ditambah dengan pembawaan menyenangkan dari nama yang disebut terakhir, kisah persahabatan film ini bukan hanya berakhir setengah matang tapi benar-benar kosong. Setidaknya berkat kedua aktornya, film ini punya modal cukup untuk melangkah menuju konflik berikutnya yakni cinta segitiga. Lalu hadirlah Laras (Tika Bravani), seorang gadis desa yang bisa menciptakan Bagus dan Mahesa jatuh cinta pada pandangan pertama. Saya berharap hal itu bisa memercikkan api konflik diantara dua tokoh utamanya. Hal itu pula yang dijanjikan oleh film ini, setidaknya lewat beberapa materi promosi yang ada.
Tapi kesan dilematis yang diperlukan muncul alhasil tak pernah ada. Ini memang kisah cinta segitiga tapi tanpa gejolak yang hadir dalam segitiga tersebut. Pada konflik romantika yang ada, Mahesa digambarkan sebagai laki-laki yang terus memaksa Laras untuk mendapatkan lamarannya. Bagai melupakan transformasi (terburu-buru) huruf Mahesa dari bocah manja yang semakin kuat, film ini kembali (dengan buru-buru pula) menjadikannya tentara manja yang terus memaksa diterima cintanya. Bagaimana dengan Bagus? Tentu sebagai sosok "baik-baik" beliau menentukan membisu menjauh. Penonton pun dengan gampang lebih berpihak pada Bagus. Saya sendiri berulang kali mendengar penonton lain mengekspresikan kekecewaannya ketika Bagus "kalah langkah". Pengemasan tersebut terang melucuti konflik dilematis dalam persahabatan mereka. Alih-alih menciptakan penonton ikut mencicipi dilema juga, kita justru diberikan pilihan sangat gampang untuk berpihak pada siapa. 

Doea Tanda Cinta melanjutkan langkahnya dengan sebuah titik puncak yang lagi-lagi menjanjikan. Sebuah peperangan di tengah hutan antara Tentara Nasional Indonesia melawan gerakan separatis yang mengakibatkan seorang profesor sebagai sandera. Pada awalnya kepingan ini dikemas begitu baik. Mulai dari penerjunan para tentara hingga ketika mereka mendarat di tengah hutan yang sunyi terasa menegangkan. Production value serta penggarapan dari sutradara Rick Soerafani pun begitu baik, khususnya ketika pertempuran mencapai puncaknya. Secara kualitas mungkin hanya setara dengan film-film agresi militer straight-to-DVD milik Hollywood, tapi level itu saja sudah menawarkan rasa gres dalam kemasan film Indonesia ketika ini. Gerak kameranya terkadang mengganggu tapi bisa dimaafkan. Sayangnya kegagalan menghadirkan drama berpengaruh berujung pada terasa datarnya momen emosional yang sudah bisa ditebak akan hadir dalam pertempuran ini. Sempat ada momen menjanjikan ketika Bagus terjun sendirian layaknya one-man army sebelum kembali berakhir antiklimaks.

Verdict: Well-made (khususnya klimaks) dan menghibur. Tapi apa gunanya semua itu jikalau gabungan kisah romansa, persahabatan, hingga lika-liku dunia akmil tersaji setengah matang? 

Belum ada Komentar untuk "Doea Tanda Cinta (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel