Single (2015)

Raditya Dika berperan sebagai laki-laki quirky yang bermasalah dengan kehidupan percintaannya....lagi. Dika memang identik dengan huruf ibarat itu, bahkan bahan stand up comedy-nya pun tak jauh-jauh dari "kegalauan romantika remaja." Sebenarnya bukan pilihan buruk. Meski kemunculannya dalam medium apapun menjadi predictable, apa yang Dika lakukan ialah suatu bentuk branding, and a successful one as well. Sosoknya mungkin kurang berkembang, tapi dari kacamata industri sungguh merupakan taktik brilian. Ujungnya, masyarakat umum tahu ekspektasi apa yang harus dipasang begitu Dika merilis suatu film. Adanya "kepastian" tersebut bisa meminimalisir ketakutan calon penonton, menghindarkan aliran bahwa keputusan tiba ke bioskop menonton filmnya ialah sebuah perjudian. Alhasil film-film yang dibintangi (dan disutradarai) oleh Dika minimal selalu terhindar dari kerugian komersil. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan formula yang terus diulang ia masih bisa menunjukkan tontonan memuaskan?

Sekilas, "Single' tak ubahnya film-film Dika yang lain berisikan formula di atas. Tapi selain keterlibatan Soraya Intercine Films sebagai rumah produksi yang memberi garansi production value tinggi (biasanya film Dika ialah rom-com sederhana), terdapat pembeda tipis namun signifikan antara "Single" dengan karya Dika sebelumnya. Bisa dilihat dari judulnya yang tak mengandung kalimat ajaib macam "Manusia Setengah Salmon" atau "Cinta Brontosaurus" misalkan. Sederhana tapi straight to the point. Pada kenyataannya memang benar, ini ialah kali pertama seorang Raditya Dika total mengutarakan "pencitraannya". Filmmya murni berkisah mengenai kehidupan laki-laki single tanpa perhiasan gimmick apapun di dalamnya. Justru kesederhanaan itu yang menjadi kekuatan, disaat Dika dengan pemahaman luasnya mengenai "dunia laki-laki jomblo" berhasil mentranslasikan tiap sisi serta rasa dari tema yang diangkat.
Kali ini Dika berperan sebagai Ebi, laki-laki pengangguran yang masih tinggal di kos-kosan dan harus menghadapi tekanan ibu kos akhir seringnya ia terlambat membayar uang sewa. Tapi problem yang selalu mengganggu pikiran Ebi bukan itu, namun fakta bahwa dirinya masih single dikarenakan ia tidak lancar berkomunikasi dengan wanita. Sudah banyak perjuangan menggoda perempuan yang gagal alasannya kekurangannya tersebut, bahkan meski telah menerima dukungan dari dua sahabatnya, Wawan (Pandji Pragiwaksono) dan Victor (Babe Cabita). Ditambah lagi ketika Ebi terus dikejar oleh sang ibu (Tinna Harahap) untuk memberikannya seorang cucu. Sampai karenanya tiba Angel (Annisa Rawles), penghuni kos gres yang pribadi menciptakan Ebi jatuh hati. Namun halangan bukan saja tiba dari diri Ebi sendiri, alasannya disaat bersamaan ada Joe (Chandra Liow) yang mengenal Angel sedari kecil dan sudah dianggap sebagai seorang kakak.

Pada hakikatnya, "Single" merupakan film komedi (dengan bumbu romansa), sehingga untuk bisa menciptakan saya mengapresiasi aspek lain, filmnya harus berhasil memancing tawa terlebih dulu. Paruh awalnya agak tersendat alasannya rentetan dagelan yang terlalu familiar misal ketika Dika mengolok-olok tinggi badannya. Kemudian perlahan tapi pasti, ritme berhasil ditemukan. Dari penampilan Dika sendiri bekerjsama tak ada yang spesial. Seperti biasa ia memasang ekspresi canggung, senyum terpaksa dan beberapa ekspresi kurang pintar yang untuk saya pribadi tak efektif menunjukkan kelucuan (kecuali di adegan sakit perut itu). Justru tawa lebih banyak berasal dari karakter-karakter pendukung. Wawan dengan nasihat-nasihat cintanya, Victor yang takut hantu dan sering melontarkan celetukan pula tindakan abstrak (juga kekuatan Babe Cabita ketika ber-stand up comedy), sampai sosok Mama Ebi yang berusaha lebih modern dengan memanggil anaknya sebagai "coy" atau 'bro". Tokoh-tokoh itu bisa bersinar, konsisten menunjukkan gelak tawa. Untuk Annisa Rawles, ekspresinya masih lemah, tapi terang tepat menghidupkan perempuan elok yang bisa menciptakan tidak hanya Ebi namun juga penonton jatuh hati.
Untuk Dika sendiri, ia lebih menonjol dalam kiprahnya sebagai sutradara. Berkat sense of comedy yang kuat, timing kemunculan leluconnya tepat. Mendapatkan bujet besar, Dika juga tidak termakan memasukkan unsur lain yang sanggup mendistraksi sentuhan komedi, ibarat action yang acapkali jadi "penyakit" perfilman komedi tanah air. Dana lebih besar ia manfaatkan sebagai sarana memperbesar skala komedi, memberi jalan untuk mengemas adegan komikal yang tak bisa dilakukan dengan bujet minim, semisal adegan kendaraan beroda empat meledak dan skydiving. Semuanya esensial untuk menciptakan filmnya lebih lucu, bukan sekedar lebih seru. Layaknya film-film produksi Soraya lainnya, "Single" turut berisikan sinematografi menawan yang memanjakan mata. Ketika setting berpindah ke Bali, itu tidak disia-siakan untuk mengeksplorasi keindahan alamnya. Salah satu adegan ketika sunset pun ikut menguatkan kesan romantis yang coba dimunculkan. Penggunaan banyak sekali teknik pengambilan gambar (ex: pemakaian drone) pun jadi dimungkinkan berkat bujet tinggi. Saya tidak selalu oke dengan istilah "the bigger, the better", tapi untuk film ini memang harus diakui Raditya Dika bisa memanfaatkan kelebihan yang ia dapatkan itu.

Seperti yang telah saya ungkapkan, Dika telah berpengalaman dan amat memahami tema yang diangkat. Khususnya bagi penonton pria, kecuali anda mempunyai tampang diatas rata-rata, uang berlimpah atau rayuan tingkat tinggi sampai tak pernah mengalami "masa suram" berupa kegagalan percintaan, kisah dalam "Single" bakal memunculkan kedekatan dengan kehidupan kita. Merasa kurang percaya diri ketika mendekati wanita? Check. Jomblo disaat para sobat sudah mempunyai pasangan? Check. Jatuh cinta pada perempuan yang begitu bersahabat tapi nyatanya terasa jauh dari jangkauan? Check. Cemburu melihat perempuan itu lebih bersahabat dengan laki-laki lain yang nampak jauh lebih mengenalnya? Check. Hati berbunga-bunga melihat perempuan itu tersenyum alasannya kita? Chek. Saya bisa meneruskan list tersebut tapi rasanya akan terlalu panjang. Intinya, naskah hasil goresan pena Raditya Dika bersama Sunil Soraya dan Donny Dhirgantoro bisa mewakili semua pengalaman juga perasaan laki-laki yang sedang/pernah desperate akibat lika-liku dunia "perjombloan". Salah satu komedi terbaik Indonesia tahun ini.

Belum ada Komentar untuk "Single (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel