Woman In Gold (2015)

Sebagai salah satu bencana kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah, upaya mendramatisir Holocaust ke layar lebar memang tak akan pernah berujung. Ada begitu banyak kisah tersimpan dengan potensi besar menguras air mata penonton. Entah berfokus pada usaha kaum Yahudi bertahan hidup, atau orang Jerman yang "mengkhianati" tindakan Nazi, hampir semuanya mempunyai poin selesai berupa momen tearjerker dramatik. Apakah filmnya berisikan drama berpengaruh sebagai pondasi atau sekedar kisah kosong sebagai alasan guna menciptakan penonton terharu, itu duduk kasus lain. Tapi layaknya romansa tragis ala Romeo dan Juliet, kita tidak pernah lelah dengan formula di atas. Kita senang dibentuk karam dalam tangisan mengharu biru menyerupai halnya kita gemar dibuai romantika memabukkan. Walau berisikan bakat besar macam Helen Mirren, Ryan Reynolds sampai Daniel Bruhl, dan menyelipkan unsur courtroom drama, "Woman in Gold" sebetulnya tidaklah banyak memberi perbedaan dengan tearjerker pada umumnya.

Kisahnya diangkat dari kasus "Republic of Austria v. Altmann" yang bergulir pada tahun 2004, dimana kedua belah pihak memperebutkan hak milik atas lukisan berjudul "Woman in Gold" karya Gustav Klimt. Bagi Austria, lukisan tersebut begitu berharga, sebuah identitas nasional yang bagaikan Mona Lisa bagi negara tersebut. Tapi untuk Maria Altmann (Helen Mirren) terdapat alasan lebih personal sebagai latar belakang perjuangannya mendapatkan kembali lukisan itu. Sang perempuan berlapis emas dalam lukisan tak lain ialah Adele Bloch-Bauer (Antje Traue), bibi dari Maria. Keduanya begitu dekat, bahkan sesudah Adele meninggal, Maria mewarisi kalung kesayangan sang bibi. Tapi begitu Nazi berkuasa, keluarga Maria yang tak lain ialah Yahudi mulai kehilangan segalanya. Semua barang berharga disita, tidak terkecuali lukisan karya Klimt itu. Mari sendiri selamat dari Holocaust sesudah berhasil kabur ke Amerika bersama suaminya. 
Kini, ia mendengar Austria akan mengadakan restitusi untuk mengembalikan barang seni jarahan Nazi kepada pemiliknya. Demi mendapatkan kembali haknya, Maria meminta proteksi seorang pengacara muda berjulukan Randy (Ryan Reynolds). Pada awalnya Randy kurang tertarik memperlihatkan bantuan, alasannya ialah ia sendiri tengah dihimpit duduk kasus ekonomi akhir kebangkrutan firma yang ia dirikan. Randy ialah tipikal laki-laki muda kebanyakan dalam film bertemakan sejarah dan peninggalan masa kemudian menyerupai ini. Walaupun dalam tubuhnya mengalir darah komposer kenamaan asal Austria, Randy tak seberapa peduli dengan peninggalan masa kemudian negaranya itu. Antusiasme gres tumbuh ketika ia mengetahui lukisan "Woman in Gold" bernilai ratusan juta dollar. Randy pun bersedia menolong Maria menempuh usaha yang ternyata jauh lebih sulit dari perkiraan. Dan meski pada awalnya mereka kurang cocok satu sama lain, kita tahu usaha yang ditempuh akan mendekatkan keduanya, menyerupai "kepastian" bila Randy akan tersadar akan pentingnya masa lalu.

Dengan kata lain, plot-nya predictable. Tidak peduli seberapa banyak unsur courtroom atau penuturan alur Simon Curtis yang melompat antara masa sekarang dan masa lampau, outcome-nya gampang ditebak. Tapi predictable bukan duduk kasus terbesar, alasannya ialah formulaik pun tetap bisa menarik. Masalah terletak pada pergerakan momentum serta dinamika huruf yang teramat kasar. Ambil pola ketika Maria balasannya mendapatkan seruan Randy untuk ikut serta ke Austria, sesudah beberapa jam sebelumnya menyatakan "lebih baik mati daripada kembali kesana". Ada stress berat mendalam sebagai pendorong perilaku itu dan momen teringatnya Maria akan memori perihal Adele yang hanya sekilas tidak cukup berpengaruh meyakinkan aku akan perubahan keputusan tersebut. Tengok pula third act ketika (tiba-tiba) kasus dibawa ke arbitration panel yang bagai lompatan mendadak. Semua bergerak terlalu cepat tanpa memberi kesempatan penonton terlibat lebih jauh khususnya secara emosional.
Ini bukan kesalahan sutradara, alasannya ialah dalam beberapa kesempatan Curtis cukup piawai membangun intensitas. Bahkan Curtis bisa merangkum suatu dialog ketiga karakternya kala mengungkap fakta kasus secara menegangkan. Kekurangan terletak pada naskah hasil goresan pena Alexi Kaye Campbell yang terburu-buru serta kesulitan menyeimbangkan kualitas setting masa sekarang dan lampau. Flashback sebagai pondasi huruf hanya terasa sepintas kemudian tanpa kedalaman berarti. Penonton sebatas diajak tahu namun tidak dibawa terjun ikut mencicipi lebih dalam. Semakin terasa timpang disaat periode masa sekarang punya daya tarik lebih berkat pertunjukkan akting memikat. Helen Mirren dan Ryan Reynolds saling mengisi, mengkreasi interaksi dinamis antar-karakter yang menggelitik sekaligus emosional. Mirren secara personal pun serupa, mampu mempesona lewat sisi witty pula dramatik ditambah aksen meyakinkan (Mirren menerima nominasi SAG Awards untuk "Best Actress" lewat aktingnya disini). Sayangnya Daniel Bruhl sebagai Hubertus tak menerima kesempatan unjuk gigi.

Pada balasannya "Woman in Gold" terang tidak berusaha untuk menjadi lebih dari sekedar tontonan melankolis. Scoring gubahan Martin Phipps dan Hans Zimmer ikut mengesankan itu lewat kemegahan orkestra yang rutin menaikkan intensitas permainan seiring dengan meningkatnya emosi suatu adegan, which is one of the most overused method. Klise. Bahkan lagi-lagi penonton dijejali "pesan" bahwa Amerika merupakan suaka kolam nirwana bagi mereka yang mencari kedamaian serta kebahagiaan (contoh: dengarkan kalimat ayah Maria menjelang selesai film). "Woman in Gold" ialah kisah seorang perempuan yang harus berhadapan dengan stress berat demi membawa pulang masa kemudian beserta kenangan. Berpotensi tampil menyentuh, namun progresi alur terburu-buru serta ketimpangan dua periode yang ditampilkan berujung pada datarnya dinamika emosi, meski usaha Maria dan Randy masih menarik untuk disimak.

Belum ada Komentar untuk "Woman In Gold (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel