Beauty And The Best (2016)
Teenlit. Ada alasan mengapa jenis literatur satu ini banyak digemari sekaligus dibenci di dikala bersamaan. Cerita ringan (biasanya) mengenai persahabatan atau romantika dunia cukup umur membuatnya gampang dinikmati. Tapi alasannya ialah ringan pula, tidak sedikit pihak menganggap teenlit dangkal dan bodoh. Melihat pangsa pasarnya, saya sendiri beranggapan memang sudah sepantasnya teenlit itu ringan. Menjadi lain dongeng bila menyinggung dangkal dan bodoh. Biar bagaimanapun, teenlit adalah cerminan atau harapan dunia cukup umur masa kini. Mewajarkan dua hal di atas sama saja meremehkan kekuatan paparan fiksi remaja, termasuk dalam film. Tengok bagaimana AADC meng-influence kultur cukup umur dulu. Artinya, fiksi cukup umur -termasuk teenlit- juga bisa menyetir tingkah polah anak muda.
Beauty and the Best yang merupakan penyesuaian novel berjudul sama karya Luna Torashyngu menciptakan saya berharap generasi muda tidak berperilaku menyerupai karakter-karakter di dalamnya. Dikisahkan, Ira (Andania Suri) ialah siswi terkenal di sekolahnya. Dia bagus dan punya karir cemerlang sebagai model. Namun justru alasannya ialah kelebihan fisiknya itu Ira kerap dipandang sebelah mata untuk urusan akademis. Sehingga tatkala ia menerima nilai tinggi pada sebuah ujian mengalahkan Kelly (Chelsea Shania) sang murid berprestasi, banyak pihak menuduh Ira telah mencontek. Merasa tersaingi, Kelly menantang Ira berlomba menerima nilai lebih tinggi dikala Ujian. Jika kalah, ia harus menuruti semua undangan Kelly. Demi memenangkan taruhan itu, Ira meminta siswa cerdas berjulukan Aldo (Maxime Bouttier) memberinya les privat. Namun Aldo yang terkenal freak tidak semudah itu didekati.
Lebih gampang membahas Beauty and the Best dengan menganalogikan filmnya sebagai cukup umur itu sendiri. Ciri pertama seorang cukup umur ialah imut nan menggemaskan. Film ini akan terasa begitu. Penonton perempuan bakal membeku, terpikat oleh sikap hambar Aldo, sedangkan penonton laki-laki (termasuk saya) akan terkapar lemas menyaksikan Ira bertingkah manja atau memukul-mukul boneka dikala marah. Baik Maxime Bouttier maupun Andania Suri mungkin tidak menunjukkan akting kelas wahid, tapi terang keduanya tepat sebagai abjad mereka, memenuhi kebutuhan penokohan. Bahkan ketika naskah garapan Hanan Novianti dan Luna Torashyngu tak pernah maksimal memaparkan romantika keduanya, besar kemungkinan penonton tetap bersimpati pada salah satu tokoh. Bukan alasannya ialah karakterisasi mendalam, melainkan sebatas ketertarikan oleh tampak luar.
Ciri berikutnya ialah labil, tak tahu secara niscaya keinginan serta arah tujuan. Di paruh awal, film ini seolah ingin berpesan ihwal "don't judge a book by its cover", atau dalam hal ini, Ira si anak terkenal dan bagus belum tentu tak berotak. Sebaliknya, Kelly dengan setumpuk prestasi akademis nyatanya bukan sosok "baik" pula. Namun konklusi di ending menuturkan mengenai acceptance, bahwa "jangan aib menjadi diri kita sendiri". Sedikit berbeda tapi bukan kasus alasannya ialah tak berkontradiksi. Menjadi asing tatkala Beauty and the Best dipenuhi stereotyping gamblang. Kelly si anak pandai tentu mengenakan kacamata tebal. Ada pula sosok ibu guru galak yang dari tampilan fisik serta kostum dibentuk sedemikian rupa supaya terlihat intimidatif. Stereotyping terasa fatal alasannya ialah filmnya bicara kasus jati diri. Alhasil tercipta kontradiksi. Ibaratnya, kau berkata ingin A lalusedetik kemudian bersikap B.
Terakhir sekaligus paling erat kaitannya dengan harapan saya supaya cukup umur tidak bertingkah layaknya abjad dalam film ini yaitu gemar meributkan hal-hal tak penting. Segala konflik Beauty and the Best bermula dari perlombaan memperoleh nilai ujian lebih tinggi. Berlomba menerima nilai tinggi itu bagus, bisa memacu semangat belajar, tapi terang bukan hal terpenting. Terlebih jika alasannya demi menjatuhkan teman sendiri. Apalagi, Ira pada balasannya diharuskan mengesampingkan modeling (passion) demi nilai di sekolah. Pada kurun di mana dunia pendidikan kerap mendapatkan kritikan alasannya ialah "nilai-sentris" dan mengekang siswa mengejar mimpinya secara bebas, segala konflik yang diributkan karakternya terdengar menggelikan, tidak penting dan berlebihan.
Sudah barang tentu filmnya tak mempunyai intensi buruk, memberikan hal-hal di atas secara sengaja. Tujuan Beauty and the Best hanya memberi hiburan ringan, memuaskan dahaga penonton cukup umur atas kisah cinta berbalut konflik di lingkungan sekolah. Sangat mungkin saya terlalu serius, berlebihan menyikapi hiburan ala kadarnya ini. Atau bisa jadi menyimpan keresahan konkret mengenai cukup umur dan dunia pendidikan yang sama sekali tak terpikirkan (atau dipedulikan) oleh pembuat filmnya (belum membaca novelnya). Namun satu hal pasti, sebagai konsumen saya berhak menuntut suatu hiburan tetap mempedulikan atau setidaknya menghargai isu-isu yang coba diangkat. Saya belum membahas duduk masalah lain semisal "kenapa Ira menyerupai hanya berguru kimia?", kekurangan art direction macam poster Jakarta Fashion Week yang lebih jelek dari pamflet pentas seni SMA, atau terlalu panjangnya konklusi. Tapi untuk ini biarlah saya memberi pemakluman. Paling tidak tiap Andania Suri muncul di layar, saya bisa duduk manis.
Ticket Powered by: Bookmyshow ID
Belum ada Komentar untuk "Beauty And The Best (2016)"
Posting Komentar