Knight Of Cups (2015)

Terrence Malick merupakan salah satu (kalau bukan satu-satunya) sutradara yang bisa menyulap tiap aspek film terasa puitis hingga ke detail terkecil. Gerakan bintang film mengambil gelas pun sanggup ia kemas kolam kontemplasi mendalam perihal hidup. Memang begitulah Malick, seorang auteur bermodalkan filosofi kehidupan ketika bertutur. Selalu terdapat pedoman besar lengan berkuasa pada tiap filmnya, tak peduli penonton suka (baca: paham) atau tidak. Bahkan jikalau kita telaah satu per satu, tiap karya jadi citra perjalanan sekaligus "evolusi" hidup sang sutradara. Saya pun memahami kenapa Malick yang dulu jarang menciptakan film sekarang telah merilis tiga film selama lima tahun terakhir. Mungkin inilah titik perenungan terdalamnya akan tiap sendi kehidupan, menghadirkan tanya yang bisa saja takkan terjawab.

Maka jangan heran tatkala Knight of Cups masih mempunyai DNA serupa dengan The Tree of Life juga To the Wonder baik dari style ataupun kerja sama tema cinta dan hidup secara lebih luas. Knight of Cups sendiri berkisah perihal Rick (Christian Bale), seorang penulis naskah dengan karir sukses di Hollywood, tapi menyadari ada kehampaan dalam hidup, mempertanyakan eksistensinya. Kemudian alur dipecah menjadi delapan chapter, di mana masing-masing (kecuali final chapter) diberi judul menurut nama-nama kartu tarot, sama ibarat judul film ini. Setiap babak menyoroti korelasi Rick dengan beberapa orang, mulai dari adiknya, Barry (Wes Bentley), sang ayah, Joseph (Brian Dennehy), juga banyak perempuan yang selama ini menjadi pelarian Rick dari rasa sakit sekaligus kesunyian.
Dibuka oleh voice over mengenai The Pilgrim's Progress lalu narasi kisah Hymn of the Pearl membuktikan bahwa film ini lebih gamblang menuturkan pesan daripada tampak luarnya. Malick mengangkat kisah mengenai anak insan yang sejatinya hidup membawa tujuan namun melupakan itu tatkala gemerlap duniawi membutakan matanya. Jadilah ia melaksanakan perjalanan, mencari tujuan yang selama ini terlupakan. Judul "Knight of Cups" sendiri -berdasarkan pengertian kartu tarotnya- berperan sebagai representasi tokoh Rick: womanizer, mudah bosan, penuh kreatifitas artistik namun gampang terombang-ambing, khususnya perihal kebenaran. Kegamblangan wangsit besar sedari awal film memang membantu penonton memahami alur, tapi di ketika bersamaan mengurangi daya tarik, sebab penonton tinggal disuguhi repetisi atas wangsit utama tadi.

Namun bukan berarti film ini tidak mengatakan keping dongeng lain. Anggaplah tema besar tadi sebuah pohon, maka Malick menghabiskan durasi untuk menelusuri batang, akar, hingga daun walau tidak hingga pada detail terkecil. Kurang menyeluruhnya eksplorasi memunculkan dilema serupa seperti To the Wonder dulu ketika huruf nampak dangkal sebab tiba dan pergi begitu saja. Tapi jikalau To the Wonder pada dasarnya memang pemaparan perihal "rasa" -which is abstract- Knight of Cups cenderung menitikberatkan pada karakter, sehingga kurangnya penggalian berujung progresi flat alur. Cara Malick membangun tone turut memberi masalah. Alih-alih mencipta konsistensi, justru kesan monoton mendominasi. Perjalanan Rick bagai terhenti di satu titik, sulit membedakan masihkah ia "terkurung" atau telah "bebas".
Akan jadi lain dongeng apabila anda seorang die hard fans Malick, sebab segala signature sang sutradara masih teramat kental. Belum hilang sentuhan Malick dalam mempuisikan tiap bentuk adegan, termasuk kesan sureal lewat tingkah abstrak tokohnya. Di tangan sutradara lain, adegan Rick merangkak masuk ke jeruji kurungan seorang stripper mungkin bakal konyol (sengaja maupun tidak), tapi presentasi Malick menjadikannya melankoli seorang laki-laki limbung yang berpasrah diri memenjarakan hatinya untuk seorang wanita. Tapi jangan harapkan akting memukau para cast, sebab Malick populer "lebih mengagumi" pemandangan daripada aktor. Bale sendiri lebih banyak menghabiskan waktu membisu dan meratap sebagai presentasi kegamangan hati karakternya. Sedangkan Cate Blanchett dan Natalie Portman tidak menerima porsi memadahi untuk unjuk gigi.

Menyebut Knight of Cups (dan kebanyakan karya Malick) sebagai poetic bagi aku kurang tepat. This is the poetry itself. Tiap keping presentasi visual bagai translasi bait demi bait puisi secara literal. Sebagai rujukan adegan ketika Rick menenggelamkan dirinya di kolam. Sepintas absurd dan tidak mempunyai koherensi dengan alur, tapi bagaimana jikalau itu wujud visualisasi teruntuk kalimat: "...and I drown myself in the ocean of life" misalnya? Walau berwujud paparan sinematik, akan "lebih mudah" memandang cara bernarasi Terrence Malick sebagai puisi itu sendiri. Hal ini tak bisa dipungkiri bakal memusingkan penonton yang belum familiar akan gayanya. 

Perbandingan dengan dua film sebelumnya terang tak terelakkan, dan Knight of Cups adalah karya terlemah Malick. Meski masih berhiaskan sinematografi indah Emmanuel Lubezki pula pergerakan kamera dinamis layaknya terbang lincah berakorbatik mengikuti pergerakan aktor, visualnya tidak breathtaking alias Standar seorang Malick. Konsistensi gaya memang nilai lebih, tapi film ini bagai repetisi akhir mentoknya daya cipta. Mungkin Malick memang masih belum menemukan tanggapan atas segala kontemplasi masa tuanya. Sayang, kali ini aku tidak terikat oleh kontemplasi itu sebab temanya lebih segmentedJika The Tree of Life membahas perihal hidup berhiaskan keluarga dan To the Wonder adalah rasa cinta, maka Knight of Cups menyajikan kehampaan hedonisme yang sulit menyentuh rasa terdalam secara umum dikuasai penonton sebab tidak semua dari kita mengalami apalagi memahami itu. Ada unsur cinta sebagai jalan Rick menemukan makan hidup, tapi dangkalnya eksplorasi menggagalkan intensinya merasuk ke hati. Trailer-nya jauh lebih indah dan menggetarkan.

Belum ada Komentar untuk "Knight Of Cups (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel