Jingga (2016)

Seorang filmmaker berkarya sembari mengusung tujuan edukasi ialah hal baik, apalagi bila masyarakat (baca: penonton) masih minim pengetahuannya akan hal yang diangkat. Karya terbaru Lola Amaria dengan naskah hasil tulisannya bersama Gunawan Raharja ini menyimpan asa serupa: mengajak penonton memasuki seluk beluk kehidupan tuna netra, menawarkan pemahaman ihwal mereka baik dari sisi medis maupun personal. Satu hal yang patut diwaspadai ketika membuat film menyerupai ini ialah jangan hingga filmnya jatuh sebagai "iklan layanan masyarakat" kemudian melupakan tugasnya menuturkan sebuah cerita. Ada ekspektasi tinggi alasannya saya meyakini kapasitas Lola Amaria baik selaku penulis naskah maupun sutradara.

Judul Jingga diambil dari nama protagonisnya, Surya Jingga (Hifzane Bob) yang sedari kecil menderita low vision. Kondisi tersebut sering membuatnya kerepotan menjalani aktifitas sehari-hari walau sang ayah (Ray Sahetapy) kerap menawarkan didikan keras biar ia bisa berdikari dan suatu dikala sembuh dari penyakit itu. Tapi nasib malang justru menimpa tatkala Jingga mengalami kecelakaan di sekolah, membuatnya kehilangan kemampuan melihat secara total. Sempat putus asa, karenanya Jingga bersedia melanjutkan sekolah di suatu SLB (Sekolah Luar Biasa) di mana ia bertemu dengan Marun (Qausar HY), Magenta (Aufa Assegaf) dan Nila (Hany Valery) yang sesama tuna netra. Bermodalkan kemampuannya bermain drum, Jingga bergabung bersama ketiga temannya dalam sebuah band, menunjukan bahwa kehilangan penghilatan bukan berarti kehilangan kehidupan.
Berkaca pada nama-nama karakternya termasuk di luar empat tokoh utama (Fusia, Kirmizi, Ireng) bisa ditebak salah satu hal yang ingin disampaikan Lola Amaria. Semua diambil dari nama warna. Lola memang berusaha menegaskan bahwa meskipun kehilangan penglihatan, dunia tuna netra tetaplah cerah berwarna-warni. Tidak terlalu subtil namun cukup memberi sentuhan detail manis. Hal lain yang coba Lola tegaskan ialah cara orang "normal" memperlakukan tuna netra. Seringkali didasari rasa kasihan, kita memanjakan mereka, memperlakukan secara istimewa, padahal mereka sendiri tidak ingin dianggap berbeda. Berangkat dari situ, Jingga tidak dikemas sebagai alat penyedot belas kasih pada tuna netra. Konflik persahabatan, impian, cinta hingga keluarga dipaparkan menyerupai drama "biasa" demi menonjolkan hal itu. 

Niatan elok ini sayangnya menjadi bumerang ketika Jingga jadi penuh hal-hal klise nan predictable. Film ini punya huruf sekaligus dunia menarik, tapi Lola justru menentukan untuk tidak mengeksplorasi keunikan tersebut. Ya, saya memahami intensinya, tapi bila begitu apa perbedaan film ini dibanding film sampaumur pada umumnya? Beberapa aspek memang sempat disinggung semisal kepekaan indera pendengaran Marun hingga kunjungan Jingga dan Nila ke bioskop berisikan para "pembisik", namun semuanya tak lebih dari sekedar "sekilas info" di antara main plot berisi persahabatan. Saya pun teringat pada What They Don't Talk About When They Talk About Love milik Mouly Surya yang dikemas unik, membawa penonton menuju dunia "baru", kemudian membuat saya begitu mengagumi mereka yang berkekurangan.
Intensi di atas bisa berhasil andaikan paparan drama berjalan kuat. Tapi sayangnya tidak. Selain alur klise, beberapa obrolan cringeworthy turut menghalangi saya menjalin ikatan emosional dengan kisah dan tokohnya. Keempat pemain drama utama bahwasanya bermain baik. Hany Valery dan Aufa Assegaf misalnya, begitu meyakinkan sebagai seorang tuna netra tanpa ada kesan dibuat-buat. Tapi apa daya, mereka tetaplah bukan penampil berpengalaman hingga sanggup menyulap rangkaian kalimat jelek menjadi yummy didengar. Untung dialognya masih punya nilai nyata pada kecermatannya menyelipkan info-info medis berkat ketepatan timing serta kuantitas secukupnya sehingga tidak terasa dipaksakan masuk layaknya penyuluhan mendadak. 

Memang mengecewakan ketika filmnya gagal menjadi drama engaging apalagi inspiring, tapi Jingga bukanlah sajian buruk. Penonton yang benar-benar awam akan menerima beberapa pemahaman baru mengenai banyak sisi seorang tuna netra. Namun apabila anda mengharapkan drama memikat macam karya-karya Lola Amaria sebelumnya atau film dengan pemaparan "berbeda" mungkin akan pulang membawa kekecewaan. Opening sequence yang menitikberatkan pada tata bunyi sempat membuat saya mengira ekspektasi awal itu akan terpenuhi, sebelum karenanya Jingga berjalan biasa saja (tanpa penemuan dan pergolakan emosi) hingga akhir. Still worth watching, though.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "Jingga (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel