Daredevil: Season 2 (2016)

Akhirnya saya menuntaskan animo kedua Daredevil setelah sempat tertunda cukup lama. Konsensus dari beberapa ulasan setuju bahwa meski tergolong baik, animo ke   dua masih berada di bawah animo pertama. Namun pendapat saya sebaliknya. Bukan hanya lebih baik daripada season pertama, season kedua ini layak dijadikan kiblat guna mengakali banyak sekali permasalahan yang kerap hadir dalam film superhero. Bahwa segala problema tersebut sangat mungkin terselesaikan melalui media series apabila digarap dengan baik. Selain itu, kita pun dijanjikan interpretasi live action layak bagi sosok Punisher sehabis tiga versi layar lebar sebelumnya terasa mengecewakan.

Pasca jatuhnya Wilson Fisk/Kingpin (Vincent D'Onofrio), banyak kelompok cecunguk berusaha merebut tampuk kekuasaan. Namun di waktu bersamaan, muncul sosok misterius menebar teror bagi kriminal di Hell's Kitchen. Sosok itu tak lain ialah Frank Castle/Punisher (Jon Bernthal). Berbeda dibandingkan metode "no killing" milik Daredevil/Matt Murdock (Charlie Cox), bermodalkan senjata api, Frank tak segan membantai para penjahat secara sadis. Bagi Matt, permasalahan bukan saja berasal dari Frank, tapi juga mempertahankan keberlangsungan firma miliknya dan Foggy (Elden Henson) yang terancam bangkrut. Bertambah rumit tatkala Matt didatangi kembali oleh sang mantan kekasih, Elektra Natchios (Elodie Yung), membawanya berurusan dengan organisasi belakang layar berjulukan "The Hand".
Terdapat segunung konflik di sini yang membuatnya layak disebut ambisius, selaras dengan formula sekuel yaitu "the bigger, the better". Ambisi ini justru kerap menghancurkan kualitas penceritaan. Untung Marco Ramirez dan Doug Petrie selaku showrunner cermat merangkai tiap keping cerita. Bukan hanya fokus tidak saling tumpuk, tiap subplot mendapat eksplorasi mencukupi. Empat episode awal memang agak repetitif dan stagnan -sering ditutup oleh perkelahian Daredevil melawan Punisher- namun sukses menggiring saya turut mencicipi problema dilematis perihal ukiran ideologi Matt dan Frank. Keengganan Matt membunuh itu benar, tapi tatkala kriminalitas telah mengakar kuat, kebrutalan Frank sulit dipersalahkan. Apalagi menengok latar belakang bencana masa lalunya, kebencian mendalamnya untuk kejahatan gampang dimaklumi.

Tapi gres pada episode kelima kisahnya mulai memasuki puncak kualitas, tepatnya sehabis kehadiran Elektra, menyuguhkan romantika kompleks beliau dan Matt. Awalnya hubungan mereka tampak destruktif. Matt anti membunuh, sebaliknya Elektra sangat "ringan tangan". Hingga kemudian eksplorasi terhadap sisi gelap Matt dimulai ketika saya -juga Matt- perlahan sadar kalau kehadiran Elektra justru membuatnya semakin "hidup", bahwa kehidupan sebagai "Devil of Hell's Kitchen" jauh lebih menggairahkan dibanding rutinitas menjadi pengacara. Fakta ini memicu duduk kasus lain ketika Foggy dan Karen (Deborah Ann) merasa Matt meninggalkan mereka di masa-masa sulit. Pada ketika bersamaan, konflik mengenai Frank beralih dari baku hantam antar vigilante menuju courtroom drama solid berhiaskan penelusuran abjad Frank, pula memberi Karen suplemen peran, bukan sekedar asisten/love interest Matt.
Setumpuk cabang alur itu saling melengkapi, membuat satu kesatuan utuh. Semua berujung pada Matt sendiri, bagaimana ia mempertanyakan ideologi dan harus menemukan sisi gelap terpendamnya. Di komik, Daredevil bukan superhero dengan kehidupan menyenangkan. Anda kira hidup Batman berat? Coba tengok Matt Murdock bersama rangkaian tragedinya. Sulit bersimpati terhadap protagonis satu ini, namun Matt/Daredevil memang bukan sosok penebar simpati. Dia ialah representasi akan konsekuensi tatkala seorang insan biasa tetapkan mengambil jalan hidup sebagai superhero. Terjadi banyak kehilangan. Benturan pun tak hanya secara fisik melainkan juga mental. Musim kedua ini sanggup mewakili aspek tersebut. Pencapaian di atas sulit ditemukan pada film berdurasi tiga jam sekalipun, sehingga format serial 13 episode di mana tiap animo berbeda fokus penceritaan jadi pilihan terbaik.

Marco Ramirez dan Doug Petrie tak hanya sukses membangun satu kesatuan menarik secara luas (satu musim), melainkan tiap episode. Daredevil Season 2 selalu mempunyai cliffhanger atau engaging tease di tamat episode, sehingga saya membatalkan niat beristirahat guna lanjut menonton di lain waktu. Sangat adiktif. Terlebih pemaparan konfliknya solid, fokus pun sulit teralihkan dari segala momen. Semakin mengagumkan lagi menengok keberhasilan pembangunan universe-nya. Teruntuk dunia Daredevil sendiri, kembalinya Wilson Fisk meski hanya beberapa episode cukup menegaskan bahwa segala hal yang pernah atau sedang terjadi takkan lewat begitu saja. Semua bertempat di satu dunia dan bisa jadi kelak akan mempunyai tugas dalam dongeng selanjutnya. Sedangkan bagi universe lebih luas, easter eggs serta munculnya beberapa tokoh telah menjembatani serial ini dengan Jessica Jones. Pondasi berpengaruh ini mempunyai kegunaan biar crossover -termasuk The Defenders- tak terasa dipaksakan.
Walau begitu, sebenarnya penulisan naskah jauh dari kata sempurna. Beberapa momen khususnya ketika Matt "berceramah" entah pada Frank atau Elektra mengenai ideologi serta kehidupan justru membuat kontradiksi. Tidak jarang, Matt menyampaikan dua hal bertolak belakang hanya dalam hitungan detik. Kekurangan ini seringkali disebabkan oleh keinginan Marco Ramirez dan Doug Petrie menuturkan baris kalimat filosofis tanpa memperhatikan substansi atau kontinuitas pembicaraan yang tengah terjadi. 

Serial Daredevil pastinya tak bisa lepas dari koreografi adegan aksi. Jika anda terpikat oleh sajian animo pertamanya, bersiaplah, lantaran animo kedua mengalami peningkatan signifikan dalam ranah ini. Aksi tangan kosong Daredevil masih brutal, dan porsinya berlibat ganda berkat kemunculan Elektra. Apabila animo pertama punya hallway fight yang memorable karena long take-nya, kali ini kita diberikan stairwell fight. Konsep long take masih dipertahankan, tapi durasi lebih usang dan pengadeganan lebih kompleks. Perkelahian tak hanya terjadi di satu lokasi dengan kamera statis, melainkan berjalan menuruni tangga. Kamera bergerak dinamis menangkap pergerakan adegan, menghasilkan intensitas tinggi.
Tidak bisa dipungkiri season 2 kehilangan sosok villain yang bisa mengikat penonton secara emosional macam Wilson Fisk atau Kilgrave (Jessica Jones). Untungnya kemunculan dua sosok baru; Elektra dan Punisher, menutupi kelemahan tersebut. Lupakan Black Widow, Elektra Natchios ialah femme fatale terbaik milik MCU ketika ini. Saya bisa meracau berjam-jam hanya membicarakan sosoknya, but let me put it simply: she's badass yet sensual and likeable at the same time. Elodie Yung menjauhkan Elektra dari kesan dua dimensi, meyakinkan saya bahwa di balik kekejamannya, ia hanya tersesat jawaban kurangnya cinta. Frank Castle? Kita semua mengharapkan pertumpahan darah dari Punisher, dan itu pula yang kita sanggup -kekacauan di penjara ialah momen Punisher favorit saya. Jon Bernthal punya kharisma guna memunculkan aura intimidatif sang tokoh sembari tak lupa menyelipkan hati, menguatkan motivasi atas perilaku karakternya. Setiap bertutur perihal keluarga, terpampang terang kegetiran baik melalui ekspresi maupun pelontaran kalimat Bernthal. 

Daredevil (lagi-lagi) memberi pola bagaimana menuturkan kisah superhero secara gritty tanpa harus berusaha terlalu keras dan malah berakhir dipaksakan. Keberhasilan bukan didasari oleh seberapa depresif kisahnya, melainkan sedalam apa penggalian konflik. Karena semakin dalam penggalian, makin pula kisahnya menyentuh sisi psikis penuh konflik dilematis karakter, dan konflik semacam itu secara otomatis membawa kisah ke ranah lebih gelap sekaligus dewasa. Daredevil Season 2 merupakan serial adiktif berisi penceritaan solid, berhasil membuat saya terikat kuat, termasuk dengan karakternya. Sampai ketika ini gejolak perasaan jawaban finale menegangkan penuh getaran emosi masih teramat kuat. Damn you devastating finale!


Belum ada Komentar untuk "Daredevil: Season 2 (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel