Concussion (2015)

Berbagai kalimat motivasional jamak menyebut olahraga sebagai hidup, perjuangan, jalan menjadi juara, bahkan alat pemersatu bangsa. Definisi tersebut tak sepenuhnya keliru, tapi seringkali glorifikasi turnamen olahraga dijadikan senjata propaganda demi laba eksklusif banyak sekali pihak. Tengok saja negeri ini tatkala sepakbola dilabeli "hiburan rakyat" oleh para cecunguk guna menggalang simpati masyarakat. Concussion garapan sutradara Peter Landesman yang juga pembiasaan buku Game Brain karya Jeanne Marie Laskas menceritakan kasus serupa, tepatnya dikala National Football League (NFL) berusaha menutupi kelalaian mereka akan keselamatan atlet-atletnya.

Sebagai mahir forensik, sudah barang tentu keseharian Dr. Bennet Omalu (Will Smith) rutin bersinggungan dengan kematian. Ketika melaksanakan otopsi, ia memperlakukan mayat kolam orang hidup, mengajak bicara penuh kasih sayang, membuatnya dianggap gila lantaran lebih bisa berinteraksi dengan orang mati daripada yang hidup. Walau demikian, kemampuan Bennet tak perlu diragukan, di mana ia kerap diminta membantu proses persidangan. Suatu hari, kedatangan mayat Mike Webster (David Morse) sang legenda American Football di laboratorium serentak merubah hidup Bennet. Dia menemukan fakta mencengangkan di kondisi otak Mike yang sanggup menjadi awal jatuhnya kebesaran NFL.
Concussion punya modal besar guna menjauhkan diri dari drama olahraga formulaik. Unsur from zero to pahlawan tetap ada walau bukan dalam tataran standar layaknya usaha dari nol seorang atlet untuk merengkuh gelar juara. Terdapat pula sentuhan pemeriksaan menarik di dikala Bennet mulai coba mengungkap fakta di balik banyaknya simpulan hidup atlet NFL. Film ini sukses menggaet atensi saya berkat satu montage berisikan upaya Bennet tersebut berkat kepiawaian Peter Landesman membangun intensitas. Tempo progresinya cepat namun bertahap. Scoring gubahan James Newton Howad pun menambah debaran di hati saya, sehabis pada momen-momen sebelumnya tempo tinggi plus nuansa dramatis musiknya kurang sinkron menemani adegan yang lebih banyak didominasi (masih) mengalir pelan.

Secara keseluruhan, porsi investigasinya memang jadi daya pikat terbesar sehabis sekian potensi lain urung termaksimalkan. Paling kentara yaitu eksplorasi mengenai Dr. Bennet. Sosoknya menarik alasannya yaitu ia lebih terpikat akan simpulan hidup dibanding kehidupan. Tidak hanya potensial mencuatkan kompleksitas alur serta karakter, hal ini bisa menghadirkan kontemplasi ihwal pertalian antara hidup dan mati. Sayang, aspek ini sekedar muncul sekilas di awal kemudian dilupakan begitu saja pasca hadirnya Prema Mutiso (Gugu Mbatha-Raw) dalam hidup Bennet. Concussion memilih jalan gampang di kala Bennet menemukan indahnya kehidupan lewat cinta yang mekar terlalu cepat. Karakter Prema sendiri underdeveloped. Prema hanya bertugas memberi beberapa baris kalimat guna menyadarkan Bennet dikala ia mulai putus asa. 
Berisikan kisah kontroversial, Concussion nyatanya bermain terlampau kondusif walau mesti diakui bagi penonton yang awam akan American Football seperti saya, filmnya cukup informatif mengungkap banyak sekali fakta. Namun film ini gagal mengesankan betapa menggetarkannya kasus Bennet dan sekedar menyodorkan warta tanpa berusaha memprovokasi penonton. Kelemahan itu turut nampak pada presentasi sosok Bennet. Bukan saja sempat lebih mengagumi simpulan hidup daripada kehidupan, Bennet juga punya ego besar, nampak lewat ketidaksukaannya kala seseorang memanggil ia tanpa pemanis "doktor". Bahkan ada kemungkinan segala usaha Bennet bukan sekedar demi kemanusiaan tapi juga ambisi menerima pengakuan. Poin ini sempat disinggung sekilas kemudian dilupakan, sehingga Benet masih nampak terlalu "putih".

Kurang mendalamnya eksplorasi huruf itu patut disayangkan mengingat Will Smith telah menawarkan salah satu akting paling intim dibanding beberapa performanya belakangan ini. Tidak luar biasa, dan kegagalannya menerima nominasi Oscar terperinci bukanlah snub, puas rasanya mendapati Will Smith sejenak menjauh dari sosok cool nan glamor. Curahan emosinya cukup subtil, menciptakan Bennet terasa membumi meskipun aksen Nigeria miliknya takkan memuaskan semua pihak. Setidaknya akting Will Smith plus sentuhan pemeriksaan bisa menjaga daya tarik sewaktu filmnya ragu "bermain api" dan tak jauh berbeda dibandingkan drama olahraga kebanyakan. Minimnya keberanian mengolah konflik berujung pada lemahnya pemaparan drama sampai ending-nya pun lewat begitu saja. Bukan film buruk, tapi jika Spotlight berhasil meresahkan Vatikan, Concussion tak akan memusingkan NFL.

Belum ada Komentar untuk "Concussion (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel