Where To Invade Next (2015)

Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat telah setidaknya terlibat dalam sembilan invasi militer dengan banyak sekali tujuan, sebutlah menggulingkan kekuasaan diktator, menghentikan pemberontakan, melucuti senjata pemusnah massal, atau...well, mencari minyak. Tapi ibarat kita semua tahu, alih-alih perdamaian atau kemakmuran, bencana kemanusiaan perenggut jutaan nyawa insan tak berdosa lebih sering menjadi hasil akhir. Lalu bagaimana hasilnya apabila suatu invasi bertujuan mencuri ilmu milik negara lain dan bukannya sepasukan angkatan bersenjata yang dikirim melainkan Michael Moore? Kondisi tersebut terjadi dalam "Where to Invade Next" atau tepatnya dalam imajinasi seorang Michael Moore. 

Menjadi dokumenter pertamanya selama enam tahun (terakhir ia merilis "Capitalism: A Love Story" pada 2009), Moore mengarang situasi di mana para petinggi angkatan bersenjata Amerika Serikat merasa aib akhir banyak sekali invasi serta peperangan yang mereka lakukan berujung kekalahan tanpa menerima sedikitpun keuntungan. Untuk itu mereka mengutus Moore biar menginvasi beberapa negara dengan tujuan mencuri ilmu yang sanggup memajukan Amerika. Begitulah kira-kira cara bertutur Moore dalam film ini: lucu, menggelitik, penuh optimisme cenderung naif tapi tanpa lupa melontarkan sindiran tegas nan pedas.
Moore mengajak penonton berjalan-jalan mengamati kesejahteraan pegawai di Italia berkat paid holiday, gaji ketigabelas hingga cuti hamil panjang, glamor serta bergizinya makan siang di sekolah Prancis, ketiadaan pekerjaan rumah bagi siswa di Finlandia, pendidikan gratis milik Slovenia, ditinggikannya hak buruh Jerman serta penolakan rakyatnya melupakan sejarah kelam bangsa (Nazi), dihapuskannya kepemilikan narkoba dari daftar kejahatan di Portugal, penjara Norwegia yang tanpa kekerasan, kesetaraan hak bagi perempuan Tunisia, hingga cara Islandia bangun dari krisis finansial dengan memberi eksekusi bagi para bankir. 

"Where to Invade Next" terang ditujukan guna mengkritisi Amerika Serikat baik itu pemerintah, militer, juga masyarakat umum yang menentukan menutup mata dan melupakan unsur kemanusiaan dalam hidup. Moore ingin menyentak, menampar lewat fakta-fakta di atas biar tersadar akan kosongnya teriakan nasionalisme mengenai betapa superior negara mereka itu. Apalagi tatkala diungkap jikalau semua inspirasi brilian tadi sejatinya digagas oleh Amerika sendiri. Nyatanya "American Dream" lebih tampak kasatmata di negeri-negeri asing. Tapi coba perhatikan lagi, tidakkah banyak sekali fakta di atas sanggup gampang kita (orang non-Amerika) temukan di internet maupun sumber-sumber lain? Apakah berarti kita sama ignorance-nya dengan masyarakat Amerika yang disindir oleh Moore?
Sebenarnya Moore tak banyak melaksanakan eksplorasi pada tiap situasi. Keterbatasan durasi membuatnya sekedar memaparkan fakta dengan cepat tanpa menggali lebih dalam detail masing-masing sistem guna mencari tahu dengan niscaya alasan keberhasilan penerapannya. Kita tahu pencoretan narkoba dari daftar kejahatan di Portugal justru menurunkan tingkat kriminalitas, tapi mengapa? Hanya muncul pernyataan "kamu tidak bisa sekedar menerapkan sistem ini di Amerika dan mengharapkan keberhasilan. Ada faktor-faktor lain." Faktor apa yang dimaksud penonton tak pernah menerima pemahaman tingkat lanjut. Setiap negara pantas dibuatkan dokumenter sendiri, namun apa yang Moore lakukan dengan membawa pribadi penonton ke lokasi sudah cukup besar lengan berkuasa sebagai pemaparan suatu fakta. 

Jangan kira akhir usungan tema kompleks, "Where to Invade Next" berujung membosankan dan berat dicerna. Moore bertutur penuh nada sarkastik, berulang kali bisa memancing tawa lewat celotehan-celotehan impulsif nan menggelitik. Serupa karya-karya sebelumnya, sang sutradara masih mempunyai perspektif humanis besar lengan berkuasa yang kali ini sukses menyuntikkan kelembutan emosional  saya menangis mendengar para pengajar di Finlandia amat menitikberatkan kebahagiaan siswa ketimbang mengejar nilai semta. Di tengah rumitnya bermacam gosip dunia cukup umur ini, "Where to Invade Next" mungkin terasa naif, tapi tidak ada salahnya berpikir optimis dan menyuntikkan harapan. 

Belum ada Komentar untuk "Where To Invade Next (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel