Eddie The Eagle (2016)

Klise dan formulaik kerap dijadikan alasan mengkritisi aspek penceritaan lantaran dirasa repetitif serta predictable. Tapi bukan berarti sebuah film  khususnya biopic  harus menghindari pakem. Pengemasan tepat nyatanya sanggup memaksimalkan formula standar jadi tontonan memikat, atau setidaknya menghibur. Tengok "Eddie the Eagle" garapan sutradara Dexter Fletcher ini. Karakter utamanya menyimpan keinginan tinggi tapi selalu diremehkan, terus berlatih keras, bertemu sosok mentor yang awalnya hanya nampak kolam pemabuk dan pecundang, berhasil mencuri hati orang itu supaya bersedia melatihnya, memasuki fase latihan keras yang dipaparkan melalui training montage, mengalami kemajuan, berselisih paham dengan sang mentor sebelum berbaikan dan kesannya mencapai kesuksesan.

Deskripsi di atas bukan spoiler melainkan referensi yang kita semua telah kenal baik dan sudah terdeteksi penggunaannya sedari awal perkenalan penonton dengan sang titular character, Eddie Edwards (Taron Egerton). Ambisi Eddie semenjak kecil yakni ikut serta dalam Olimpiade. Eddie isi hari-harinya dengan berlatih bermacam jenis olahraga meski ayahnya (Ketih Allen) tidak baiklah dan terus memaksa Eddie melanjutkan perjuangan sebagai plasterer. Paruh awalnya efektif menjelaskan bahwa modal Eddie "hanya" determinasi dan kenekatan. Itu saja cukup selaku pondasi semoga paparan mengenai keberhasilan Eddie kelak terasa logis, bukan semata-mata keajaiban demi hantaran kisah inspiratif. 
Menyerah akan mimpinya berpartisipasi di Olimpiade, Eddie banting setir ke cabang ski, berharap mewakili tim Inggris dalam Olimpiade animo cuek tahun 1988. Namun penolakan memaksanya kembali berubah arah, kali ini menjadi ski jumper walau terakhir kali Inggirs menyertakan wakil untuk cabang tersebut yakni tahun 1929. Normalnya, atlit ski jumper berlatih semenjak kecil, menciptakan kenekatan Eddie mempersiapkan diri selama beberapa bulan di Jerman menyerupai misi bunuh diri. Di sanalah pertemuannya dengan snow groomer bernama Bronson Peary (karaktier fiktif, diperankan Hugh Jackman) terjadi. Tidak sulit menebak bahwa di balik sosok pemabuknya, Peary merupakan andal ski jumper yang bakal menjadi mentor Eddie. 

Timbul banyak konflik semisal goresan referensi pikir Eddie dan ayahnya sampai distraksi berbentuk ketenaran yang mengiringi tingkah unik Eddie kala bertanding di Olimpiade, tapi naskah solid karya Sean Macaulay dan Simon Kelton bisa merangkainya sebagai satu kesatuan proses alamiah yang dijalani protagonis daripada sekedar kewajiban mengikuti referensi penceritaan. Pondasi semuanya yakni keantikan sosok Eddie yang sisi eksentrik berupa keluguan tingkah kolam bocah  memilih susu ketimbang alkohol, gampang ditipu, canggung kala bersinggungan dengan hal sensual  namun berdedikasi tinggi bisa dimunculkan oleh akting besar lengan berkuasa Taron Egerton. Sedangkan Hugh Jackman kembali memamerkan pesona badass father figure-nya.
Di samping beberapa keunggulan di atas, tidak bisa dipungkiri "Eddie the Eagle" bergerak dalam alur penceritaan gampang ditebak yang berpotensi melucuti daya tarik. Sutradara Dexter Fletcher memahami itu dan menanggulanginya dengan memaksimalkan ski jumping sequence. Perpaduan banyak sekali sudut kamera  close-up, medium shot, wide shot, POV shot  plus beberapa stunt sukses menghasilkan aksi-aksi lompatan memukau termasuk titik puncak menegangkan meski penonton niscaya tahu bakal berakhir bagaimana. Scoring berbasis synth gubahan Matthew Margeson merupa musik sport event 80-an turut bersinergi tepat mengiringi tiap sequence, sekaligus besar lengan berkuasa memancing emosi.

Mengamati penggambaran Eddie Edwards, timbul pertanyaan mengenai objektivitas film ini. Eddie merupakan laki-laki biasa kalau boleh dibilang minim bakat pencipta sensasi bermodal kenekatan, menjadikannya selebriti, yang lebih banyak dipicu tingkah antik daripada (sepenuhnya) prestasi. Wajar jikalau terdengar familiar alasannya yakni pada masa kini telah muncul segunung bintang yang meraih ketenaran lewat cara serupa. Patut dicatat, pasca Olimpiade 1988 Eddie gagal lolos kualifikasi turnamen berikutnya untuk kemudian merilis dua lagu berbahasa Finlandia. "Eddie the Eagle" tidak menggali aspek tersebut dan sepenuhnya menimbulkan Eddie Edwards sepenuhnya tokoh inspiratif panutan. But still, this movie is an entertaining and solid from zero-to-hero tale.

Belum ada Komentar untuk "Eddie The Eagle (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel