Bangkit! (2016)

Perfilman Indonesia minim variasi genre, fakta ini harus kita akui. Terlepas dari peningkatan kualitas akhir-akhir ini, sajian drama, komedi, romansa, religi, biopic sampai horror masih menjadi primadona lantaran berpotensi mendatangkan pemasukkan tinggi. Akibatnya jarang pembuat film mengambil risiko menyuguhkan tontonan berbeda (in a good way). "Bangkit!" karya sutradara Rako Prijanto ("3 Nafas Likas", "Sang Kiai") menumbuhkan impian lewat statusnya sebagai "the first Indonesian disaster movie". Walau menyaksikan trailer-nya menimbulkan kekhawatiran akan kualitas CGI ala kadarnya, tetap timbul antusiasme beserta impian kalau "Bangkit!" bakal turut membangkitkan alternatif genre lain ke permukaan.

Addri (Vino G. Bastian) merupakan anggota tim SAR yang telah banyak berjasa menyelamatkan jiwa manusia. Layak disebut pahlawan, nyatanya Addri kesulitan membagi kiprahnya sebagai ayah untuk dua orang anak sekaligus suami dari Indri (Putri Ayudya). Ketika tragedi banjir mulai menghampiri Jakarta, Addri pun disibukkan oleh tugasnya, mengesampingkan keluarga. Namun banjir kali ini berbeda dari biasanya. Arifin (Deva Mahenra) anggota BMKG yang hubungannya dengan dokter berjulukan Denada (Acha Septriasa) tengah dirundung persoalan menjelang hari ijab kabul yakin banjir kali ini berpotensi menenggelamkan Jakarta walau opininya itu ditolak mentah-mentah oleh sang bos, Hadi (Ferry Salim).
Efek CGI menjadi aspek signifikan bagi disaster movie karena semakin tampak positif tragedi di layar, semakin gampang pula memancing ketegangan penonton. Sebaliknya, semakin palsu sanggup berujung menggelikan serta memperlebar jarak dengan penonton. Membandingkan "Bangkit!" dengan karya-karya Roland Emmerich (master of disaster movie) terang kebodohan. Levelnya berbeda. Sebagai awal perjuangan membuat blockbuster ala Hollywood  mari lupakan "Garuda Superhero"  "Bangkit!" telah memaksimalkan pemakaian CGI sesuai kebutuhan. Kadang terlihat agresif dan berujung kurangnya ketegangan pula efek emosional, but it's still so much better than how it looks in the trailer. Penggunaan beberapa practical effects  bangkai pesawat, gedung terendam air  ikut memperkuat tata visual. 

Di luar dugaan kekurangan besar justru berasal dari naskah hasil goresan pena Anggoro Saronto. Berulang kali naskahnya memaksa huruf bertindak tanpa alasan masuk logika semata-mata untuk membuat konflik atau memancing tindakan huruf lain, misal: Dwi (Adriyan Bima), putera Addri nekat mendatangi terowongan diam-diam supaya tercipta motivasi personal bagi Addri pada klimaks. Hadi selalu menolak opini Arifin hanya biar film tetap berjalan, lantaran tindakan lebih dini BMKG bakal membuat film berakhir prematur. Akhirnya Hadi pun berubah perilaku tanpa alasan jelas. Kenapa pula salah satu huruf ibarat John McClane yang tetap prima meski sudah karam kemudian terlibat kecelakaan pesawat?
Kekurangan naskah turut ditambah lemahnya storytelling Rako Prijanto. Perpindahan adegan lebih agresif ketimbang CGI-nya, jumpy akibat ketiadaan jembatan penghubung. Sering terjadi, satu huruf berpindah menuju lokasi dan situasi lain dalam sekejap tanpa transisi. Dua jenis inkonsistensi turut mengiringi penyutradaraan Rako. Pertama yakni inkonsistensi wacana kehancuran Jakarta. Sekali waktu kita melihat banjir menghantam ganas hingga cukup untuk menghancurkan dan menenggelamkan seisi ibukota, tapi di waktu lain langit nampak cerah, jalanan lancar, bahkan kantor Gubernur tidak mengalami kerusakan. Inkonsistensi kedua terletak pada tone. Sulit membedakan kelucuan yang disengaja dengan tidak lantaran Rako terkesan ragu mengemas momen menjadi total komedik. Seolah ada ketakutan humor sanggup merusak tone film yang kesannya justru membuat intensinya ambigu.

Vino G. Bastian (as always) has enough charm to be a capable action satria with his perfect combination of physical ability and solid acting, but Acha Septriasa and Putri Ayudya simply stole the show with their strong dramatic performance. Acha yakni satu dari beberapa aktris Indonesia yang bisa menyulap obrolan cheesy dan pengadeganan awkward menjadi watchable melalui suntikkan kompleksitas emosinya  dapat dilihat ketika Arifin melamarnya. Putri Ayudya serupa performanya di web series "Kisah Carlo" menyajikan kerapuhan perempuan (istri dan ibu) secara sederhana namun nyata. Sayang, Deva Mahenra jadi korban tonal inconsistency film kala ia kesulitan menyeimbangkan sisi serius dan dramatik huruf Arifin. 

Pertanyaannya, apakah "Bangkit!" merupakan film bagus? Sayangnya bukan. Di tengah gegap gempita CGI kemampuan bernarasi melalui visual sekaligus naskah mengandung lubang menganga, bukti bahwa cerita  dan cara bercerita  sesungguhnya masih jadi aspek-aspek yang seharusnya paling awal dibenahi. Tapi di samping setumpuk kekurangan tadi saya tetap menyarankan anda untuk menonton "Bangkit!" di bioskop, lantaran usahanya menghidupkan suguhan big budget blockbuster perfilman tanah air terang amat layak diapresiasi. Bukan tidak mungkin apabila film ini meraup kesuksesan, tontonan serupa bakal segera menyeruak naik. Saya selalu percaya, lantaran ibarat tagline film ini, "Menyerah bukan pilihan."


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "Bangkit! (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel