Jason Bourne (2016)

Kalimat "Don't change the winning team" rupanya juga sanggup diaplikasikan pada penggarapan suatu film. Kolaborasi Paul Greengrass, Tony Gilroy dan Matt Damon sukses mengukuhkan status "Bourne" sebagai salah satu trilogi terbaik sepanjang masa  ketiganya mulai bekerja sama pada installment kedua, "The Bourne Supremacy". Tatkala ambisi mengeruk pundi-pundi dollar tidak sejalan dengan kebersediaan Greengrass dan Damon untuk ambil bagian, hadirlah "The Bourne Legacy" yang disutradarai Gilroy serta dibintangi Jeremy Renner tahun 2013 lalu. Hasilnya? Film tersebut kurang sukses baik secara komersial maupun di mata kritikus, bahkan coba dilupakan eksistensinya. Tiga tahun berselang impian membuncah dikala Greengrass dan Damon kembali, tapi kali ini tanpa Gilroy sebagai penulis naskah.

Sejatinya "Ultimatum" sudah total merampungkan kisah Jason Bourne (Matt Damon) si biro CIA yang hilang ingatan. Pilihan bijak yaitu melebarkan lingkup penceritaan dengan tokoh gres layaknya "Legacy" atau membawa Jason Bourne menuju petualangan baru. Nyatanya naskah karya Paul Greengrass dan Christopher Rouse enggan mengambil langkah maju dengan tetap menempatkan sang titular character pada pengungkapan rahasia masa lalunya sembari berusaha menyibak operasi terselubung CIA. Pasca Treadstone, Blackbriar hingga Outcome, sekarang giliran Ironhand, sebuah agenda yang dimaksudkan guna belakang layar mengawasi masyarakat dunia lewat pemakaian media umum berjulukan Deep Dream
Secara eksplorasi karakter, sejatinya merupakan langkah sempurna menghadirkan Bourne yang terisolir dan ringkih secara batin. Ambil bab dalam pertarungan underground, rambut beruban serta wajah "keras" kasatmata mengatakan bahwa inilah Jason Bourne pada titik terendah. Namun naskah justru memaksa ia terus bergulat dengan masa kemudian di dikala sudah tidak banyak aspek bisa digali lebih jauh. Alhasil berkebalikan dengan film-film sebelumnya yang narasinya penuh cenderung kompleks, "Jason Bourne" terasa kosong khususnya di satu jam pertama. Mudah sebelum pertemuan Bourne dan jago komputer CIA, Heather Lee (Alicia Vikander), film hanya berisikan Bourne berjalan kemudian berlari, Heather menatap komputer atau bicara dengan pimpinan CIA, Robert Dewey (Tommy Lee Jones). Repetitive also unimaginative. 

Greengrass dan Rouse kolam kebingungan, memaksakan diri menjalankan narasi meski minim ide. Tanpa Tony Gilroy, hilang pula jalinan misteri berbalut konspirasi rumit nan solid ketika paparan mengenai gosip surveillance terasa bagai pengulangan nihil penemuan dari film-film lain di luar sana. Hampir tidak bersisanya sisi Bourne untuk digali juga nampak dari minimnya screentime pula line yang harus Matt Damon ucapkan. Ironis, di dikala "Jason Bourne" bertujuan mendekatkan sang protagonis pada kebenaran utuh wacana jati diri, sosoknya justru lebih terlihat menyerupai killing machine tanpa hati. 
Setelah satu jam datar yang sempat menghadirkan kantuk luar biasa, pertempuan Bourne dengan Heather menghembuskan angin segar, memberi arah niscaya kepada alur, menambah kompleksitas serta beberapa twist yang walau standar namun cukup menyuntikkan variasi teruntuk alur yang sebelumnya berjalan nihil hentakan. Tokoh Heather pun meningkat bobotnya berkat perselisihannya dengan Dewey, bukan lagi hanya bertugas menatap layar komputer sambil sesekali meretas sistem. Dimensi karakternya bertambah, menjadi sosok ambisius abu-abu yang jengah selalu dianggap sebagai rookie tanpa bakat oleh sang atasan. 

Paul Greengrass masih piawai menyusun adegan agresi brutal, bertempo tingi sekaligus raw lewat kombinasi shaky cam dan pemotongan adegan cepat yang tak hingga berantakan  seperti "Taken" misalnya  berkat editing cermat Christopher Rouse. Bicara soal intensitas memang belum ada yang menyamai waterloo sequence di "The Bourne Ultimatum", tapi insting Greengrass berkenaan adegan agresi masih kuat, terlebih dikala bisa menyusun situasi chaotic berisi ratusan orang biar terlihat realistis, terkesan kacau, tapi teratur. Klimaksnya pun bombastis walau memeriksa tokoh Asset (Vincent Cassel) yang sepanjang film penuh perhitungan sequence tersebut terasa out-of-character. Basically "Jason Bourne" is two hours of noisy car chases and brutal fights with not enough story to makes it more engaging. Entertaining, better than "Legacy" but looks pale in comparision with the original trilogy. This franchise needs new direction and Tony Gilroy as its screenwriter.

Belum ada Komentar untuk "Jason Bourne (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel