Tiga Dara (1957)

Merupakan film kedua karya Usmar Ismail yang direstorasi dengan bantuan L'Immagine Ritrovata, Bologna, Italia setelah "Lewat Djam Malam" pada 2012 lalu, "Tiga Dara" shows that the best kind of classic movie is the timeless one. Film berkisah mengenai tiga bersaudari  Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya), Nenny (Indriati Iskak)  yang tinggal bersama sang nenek (Fifi Young) dan ayah mereka, Sukandar (Hassan Sanusi). Walau punya sifat berbeda-beda, ketiganya saling akrab menyayangi. Hingga ketika Nunung tepat berusia 29 tahun, neneknya merasa telah datang waktunya Nunung menikah, kemudian memaksa Sukandar mencarikan suami bagi si puteri sulung. 

Awalnya, sentral penceritaan memang berkutat pada Nunung, mengenai sosoknya yang "kuno" dibanding kedua adiknya  memakai kebaya, enggan keluar rumah, menghabiskan hari mengurusi pekerjaan rumah tangga  hingga rasa tidak nyaman kala dipaksa menghadiri beberapa pesta bersama Nana semoga menemukan sosok laki-laki pujaan hati. Seiring alur bergerak, Nana dan Nenny mulai banyak terlibat sekaligus menguatkan huruf masing-masing. Naskah garapan Usmar Ismail dan M. Alwi Dahlan ialah referensi tepat ketika konflik dan penggalian huruf berjalan beriringan saling membangun, sehingga makin dalam alur bergerak, makin pula penonton memahami huruf utama.
Detail merupakan kunci keberhasilan penokohan "Tiga Dara". Baju yang dipakai, motivasi serta respon perbuatan terhadap satu stimulus situasi membuat sinergi berupa tokoh yang kokoh. Terlebih, tiap-tiap dari mereka punya ciri sebagai pembeda. Nunung itu bodoh dan pendiam, Nana modern dan agresif, Nenny cerdik, usil juga ceria. Akting ketiga aktris pun turut menyokong. Chitra Dewi memancarkan harga diri tinggi seorang perempuan sekaligus bisa memberikan banyak hal lewat bahasa non-verbal. Mieke Wijaya bermodalkan tatapan tajamnya mencengkeram perhatian penonton serupa ia menggenggam hati pria-pria di sekitarnya. Sedangkan Indriati Iskak ialah gadis anggun yang bakal dicintai semua orang lewat polahnya.
Iringan lagu-lagu bernuansa Melayu dikemas oleh Usmar Ismail jadi rangkaian adegan musikal memikat dengan bab terbaik ialah nomor "Ini Kisah Tiga Dara" yang dipasang pasca adegan pembuka. Benar tariannya tampak awkward, tapi alih-alih mengurangi estetika, kesan itu justru mendukung paparan kisah mengenai kemurnian (baca: kepolosan) cinta protagonisnya. Saya tersenyum lebar, bahkan terharu menyaksikan ketiga dara berlenggak-lengok, menyanyi sembari tersenyum bersama Herman (Bambang Irawan) yang menari dengan kocaknya. It was so beautiful, sweet and pure

Beberapa momen  humor ketika Nenek membantu Nunung menggunakan kebaya, adegan beriringkan lagu "Tamasja"  mungkin agak menggelikan bagi banyak penonton sekarang, namun aku tidak menggapnya sebagai kekurangan, melainkan sebuah perjalanan mengamati kondisi kultural masa itu. Justru bahwasanya "Tiga Dara" amat relevan bagi kondisi masa kini. Paparan konflik percintaan sampai keharusan menikah berujung perjodohan tetap relatable karena kini pun masalah-masalah serupa masih kerap kita temui. Begitu pula presentasi perihal kuatnya sosok wanita. Nunung, Nana, Nenny, bahkan sang nenek bisa membuat para laki-laki bertekuk lutut, menuruti mereka dalam bermacam bentuk. Mereka manis, lembut, lovable tanpa pernah kehilangan kekuatan. I'm in love with them, I'm in love with this classic! 

Belum ada Komentar untuk "Tiga Dara (1957)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel