Suicide Squad (2016)

Mari sambut film ihwal segerombolan supervillain yang digadang-gadang serta dibutuhkan tampil sebagai penyelamat DC Extended Universe (DCEU) pasca kekecewaan berjulukan "Batman v Superman: Dawn of Justice". Based on its trailers from the gloomy one with "I Started A Joke", the second  and the best  that used "Bohemian Rhapsody" perfectly , until the third with the energetic combination of "Ballroom Blitz" and "You Don't Own Me", everything seems more than all right. It has the potential to be one of the edgiest superhero movie. Tapi pada kenyataannya produk selesai "Suicide Squad" tetap berisikan kekacauan hasil kebingungan orang-orang di balik DCEU walau layak disebut peningkatan (amat) kecil dari "Batman v Superman: Dawn of Justice".

David Ayer selaku sutradara pula penulis naskah menghabiskan nyaris setengah jam awal durasi untuk memperkenalkan tiap anggota Task Force X bentukan Amanda Waller (Viola Davis). Dikemas playful, selain berhasil memaparkan ciri masing-masing karakter, perkenalan ini kokoh menegaskan bahwa mereka yakni penjahat. Introduksi abjad yang baik sanggup menciptakan penonton antusias menanti kelanjutan agresi mereka, dan saya mencicipi itu. Meski bergulir cukup lama, atensi saya terlanjur dicengkeram, apalagi tatkala Ayer cermat menyelipkan koneksi cinematic universe lewat kemunculan dua anggota Justice League. Optimisme membuncah, hingga seiring durasi berjalan saya mulai sadar rentetan perkenalan tersebut merupakan momen terbaik filmnya.

Begitu tim telah terbentuk, keunikan perlahan memudar, dan mencapai second act, "Suicide Squad" sepenuhnya terjerumus ke dalam parade hal klise film superhero, seperti ratusan musuh yang tewas sekali babat hingga rencana membosankan villain menguasai dunia dengan membangun senjata yang memancarkan cahaya menjulang ke langit. Percuma mempunyai sederet abjad unik kalau ujungnya ditempatkan pada aneka macam situasi "biasa". Bahkan seiring waktu keunikan anggota Suicide Squad ikut terlucuti akhir perilaku mereka yang semakin bersahabat sebagai hero ketimbang villain. Ayer bagai kebingungan menangani transformasi perilaku karakternya saat kalimat "we're the bad guys" rutin diulang, seolah memaksakan persepsi penonton. 
Kebingungan. Itu dilema terbesar Ayer baik selaku sutradara maupun penulis naskah. Dia kewalahan menangani banyak sisi penceritaan mulai romansa gila Harley Quinn (Margot Robbie) dan Joker (Jared Leto), percintaan Rick Flag (Joel Kinnaman) dan June Moone/Enchantress (Cara Delevigne), hingga hubungan Deadshot (Will Smith) dengan sang puteri. Alhasil narasinya overstuffed tanpa satu pun meninggalkan kesan. Padahal bila ditengok lagi, paparan alurnya cenderung dangkal, tapi penulisan Ayer berujung memperumit hal yang sejatinya amat sederhana. Banyak pula abjad disia-siakan. Captain Boomerang (Jai Courtney) sesekali menerima porsi komedik tapi hanya itu. Killer Croc (Adewale Akinnuoye-Agbaje) dan Katana (Karen Fukuhara) tidak diberi banyak kesempatan. Don't ask about Slipknot (Adam Beach). We all know that he's a dead meat from the beginning

Visi gritty realism Ayer kurang menyatu dengan film ini. Beberapa momen agresi cukup menghibur termasuk pemanfaatan slow motion guna merangkai cool action sequence, tapi secara keseluruhan tabrak tembak dan baku hantamnya generic sebagaimana mayoritas blockbuster. El Diablo (Jay Hernandez) sempat menghadirkan momen fantastical pada klimaks, namun setelahnya kita kembali dipertontonkan deretan agresi minim imaji yang diperparah hadirnya kabut tebal hingga sulit menikmati visualisasi pertempuran di layar. Sentuhan komedi pun bernasib serupa. Beberapa bisa mengundang tawa kecil, tapi lebih banyak mencuatkan inkonsistensi toneSometimes light and cartoonish, sometimes gritty and brutal. Terkadang visualnya hadir penuh warna, terkadang diselimuti kegelapan. 
Saya ingat dibentuk sesak nafas menonton "End of Watch" dan "Fury". Dalam dua film itu, Ayer begitu jago memainkan intensitas, sedangkan di sini banyak adegan kehilangan momentum akhir dimunculkan begitu saja tanpa buildup  pacing, sudut kamera, scoring  sehingga berujung lewat begitu saja. John Gilroy dan Michael Tronick sebagai editor pun kolam sekedar menggabungkan seluruh scene namun lupa memperhatikan jalinan dinamika di antaranya. Sedangkan musik yang menjadi kekuatan trailer-nya justru terasa dipaksakan masuk  just for the sake of being cool  tatkala nomor-nomor macam "Bohemian Rhapsody", "Seven Nation Army" dan "House of the Rising Sun" walau memuaskan indera pendengaran tapi kurang bersinergi dengan adegan. 

Film ini beruntung mempunyai jajaran cast yang menghadirkan totalitas performa. Will Smith menyerupai biasa tidak kesulitan memanggul beban sebagai lead actor. Margot Robbie isn't just a useless eye candy as she perfectly mixed the lunatic and funny side of Harley Quinn, even though her character was overly squeezed in the promotional materials. Viola Davis sebagaimana deskripsi Deadshot yakni perempuan kejam yang bisa mengintimidasi lewat tatapan tajamnya. Pertanyaan terbesar tentu disematkan pada akting Jared Leto. Here's the thing: Leto is captivating. His smile, laugh, and gesture are all creepy. Unfortunately, this isn't a good Joker. It's not about his lack of screentime or his emo-romantic side. This Joker looks scary but his action isn't menacing enough to be one of the greatest villain ever. He's just a regular mobster who does crazy things but never reach the Joker-crazy-level.

"Suicide Squad" yakni film dengan krisis identitas, kebingungan hendak dikemas menyerupai apa. Bahkan kalau diperhatikan, begitu banyak momen menarik dalam trailer namun menghilang di filmnya  pedang arwah Katana, dialog renyah di bar, dan lain-lain. Harapan besar itu sekarang berujung kekecewaan, dan apabila "Wonder Woman" tahun depan bernasib serupa, apakah masih layak Warner Bros membicarakan dua installment "Justice League"? 

Belum ada Komentar untuk "Suicide Squad (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel