Zero (2018)

(PERINGATAN: Review ini mengandung SPOILER!)
Seperti harapan protagonisnya, Zero ialah karya ambisius. Mungkin romansa paling ambisius yang saya saksikan sepanjang tahun. Berawal dari kota kecil berjulukan Meerut, karakternya dibawa melanglang buana menuju kehidupan mewah dunia hiburan, sebelum berakhir terbang ke luar angkasa. Demi memperoleh kepuasan, sebaiknya tinggalkan logika di rumah, dan jangan lupa membawa hati ketika menontonnya.

Saya merasa Bauua Singh (Shah Rukh Khan) si huruf utama pantas disebut “zero”. Ya, beliau memang seorang laki-laki kerdil dari pinggiran kota tanpa modal pendidikan tinggi, tapi pertama, ia terang tampan (Come on, this is SRK that we’re talking about). Kedua, ia berasal dari keluarga kaya raya yang membuatnya bisa seenaknya menyebar uang ke jalanan, bahkan menghabiskan 600 ribu rupee, atau sekitar 124 juta rupiah guna mengatakan cintanya kepada seorang wanita.

Itu terjadi dalam musikal berisi warna-warni menyala, semburan air, dan orkestra megah, yang disatukan oleh sutradara Aanand L. Rai (Tanu Weds Manu, Raanjhanaa) menjadi momen terindah film ini. Sedangkan perempuan perebut hati Bauua ialah Aafia (Anushka Sharma), ilmuwan NASA penderita cerebral palsy yang harus menghabiskan harinya di dingklik roda. Awalnya mereka saling benci. Bauua yang mengetahui Aafia dari foto di agen jodoh merasa tertipu melihat kondisinya. Sementara kejengahan Aafia sanggup dipahami. Bauua ialah laki-laki sok pintar, sok ganteng, egois, juga kurang ajar. Dia bahkan mengolok-olok kelumpuhan Aafia di sebuah konferensi pers. Namun kegigihan Aafia bisa meluluhkan hati Bauua, yang segera berusaha memperbaiki kesalahannya.

Zero bisa saja bergerak menyusuri formula drama romantika sarat makna ihwal dua insan berkekurangan yang saling menemukan, kemudian sama-sama menunjukan bahwa mereka menyimpan banyak kelebihan. Ternyata tidak. Seperti Bauua, Zero mempunyai ambisi lebih besar.

Protagonis kita diberkahi kekuatan unik untuk menjatuhkan bintang. Dia hanya perlu mengacungkan jari, berhitung, “10, 9, 8, zero!”, dan bintang yang dimau jatuh dari langit. Rupanya Bauua ingin merengkuh “bintang” lain, yakni Babita Kumari (Katrina Kaif), seorang aktris film ternama. Terdengar bagai pungguk merindukan bulan, namun kala “kebetulan” dan “kegilaan” bertubrukan, jalan merebut hati si megabintang pun terbuka lebar. Zero mencapai titik balik begitu Bauua menentukan mengejar harapan muluknya, kemudian meninggalkan perempuan yang nrimo mencintainya.

Babak pertama Zero jadi dongeng cinta intim nan manis berkat duet janjkematian Shah Rukh Khan-Anushka Sharma. Tuntutan performa akurat kala memerankan penderita cerebral palsy urung menghalangi Anushka menghantarkan emosi secara meyakinkan. Sementara SRK menyuntikkan cukup energi guna menghidupkan sosok laki-laki dengan kepercayaan diri plus semangat tinggi.

Walau menyebabkan tanya perihal cara Bauua bertahan hidup (dan tetap bergelimang uang) pasca kabur dari rumah di ketika insiden itu terjadi mendadak dan ia tak membawa apa pun, babak keduanya berhasil tampil sama menghiburnya dengan babak pertama. Protagonis kita semakin lengket dengan sang idola, yang rupanya ialah alkoholik dengan kehidupan berantakan, terlebih pasca ditinggalkan kekasihnya. Tapi sekali lagi, pesona Bauua terbukti sulit ditahan.

Setelah terlibat dialog panjang lebar untuk pertama kali di sebuah pesta—yang dijadikan alat menampilkan sederet cameo dari Kajol, Rani Mukerji, Deepika Padukone, Alia Bhatt, sampai mendiang Sridevi dalam penampilan layar lebar terakhirnya—Babita membiarkan Bauua tinggal di dekatnya, mengajaknya ke lokasi syuting, pemotretan, bahkan tinggal di rumahnya. Sekilas, Zero terdengar akan melangkah menuju satu lagi dongeng seputar huruf yang sukses mewujudkan impiannya, hanya untuk menyadari harapan itu tak seindah angan, menyesal telah membuang hal-hal berharga demi ambisinya, kemudian berusaha mendapatkannya lagi.

Pernyataan terakhir memang benar, tapi Bauua sama sekali tidak dikecewakan oleh Babita. Cita-citanya jadi kenyataan, namun secara bersamaan, ia merasa betapa cintanya bagi Aafia memang nyata, pula sebaliknya. Bauua “terbangun” kala kebahagiaan justru sedang menyinari hidupnya. Bagi saya, kondisi tersebut menciptakan kesadaran karakternya jauh lebih bermakna dan murni. Babita sendiri menyadari isi hati Bauua, menggiringnya memancing dialog memikat di mobil, yang juga merupakan panggung pembuktian kapasitas akting dramatik Katrina Kaif.

Sampai di sini, terlihat kalau naskah buatan kolaborator Aanand L. Rai semenjak Strangers (2007), Himanshu Sharma, benar-benar mengesampingkan logika. Jangankan mendekap hati idola, keberhasilan menciptakan seorang ilmuwan NASA yang berperan besar merealisasikan ekspedisi ke Mars bertekuk lutut saja sudah terdengar di luar nalar. Toh semua kemustahilan itu nampak normal dibandingkan konten babak ketiganya, sewaktu Bauua coba menebus dosa besar pada Aafia lewat kegilaan besar.

Dia bisa mengendalikan bintang, pun menaklukkan seorang bintang, sekarang waktunya Bauua sungguh-sungguh pergi ke bintang. Sekembalinya dari hingar bingar dunia selebritas bersama Babita, Bauua mengetahui cinta sejatinya telah dilamar laki-laki lain dan tengah mempersiapkan pernikahan. Tapi ia pantang menyerah. Dipustukannya mengikuti tes sebagai astronot dalam misi peluncuran kapal berawak insan ke Mars. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia bertekad takkan kabur ketika menghadapi rintangan.

Di permukaan, kenekatan itu terlihat tanpa arti. Seolah naskahnya asal berjalan nihil tujuan, dan digerakkan semata oleh ambisi guna memperbesar skala film. Tapi kalau pernah mencicipi keputusasaan tanggapan cinta, anda akan memahami dorongan berbuat hal aneh demi mengekspresikan perasaan, meski kalau dipikir masak-masak, tindakan itu tidak berguna. Zero berhasil mewakili kondisi tersebut.

Merupakan film SRK berbujet terbesar, Zero mempunyai imbas visual memikat yang mengakodomasi ambisi tingginya. Agr SRK terlihat “mengecil”, film ini menerapkan forced perspective sebagaimana digunakan Peter Jackson di trilogi The Lord of the Rings, dikombinasikan dengan teknik double scale. Hasilnya naural. Bukan itu saja, CGI turut digunakan secara efektif di beberapa kesempatan, contohnya ketika SRK dan Anushka melayanng di ruang bergravitasi nol, sampai adegan peluncuran roket.

Keluhan terbesar saya justru muncul tepat ketika film menyentuh titik pamungkas. Kentara, naskahnya menyimpan inspirasi semoga konklusinya tampil lebih dramatis, tapi (mungkin) sebab Zero telah bergulir selama 164 menit, pula menjaga semoga biaya produksi tak semakin membengkak, diputuskanlah merangkum inspirasi tersebut menjadi penutup pendek yang terasa sambil lalu, tanpa substansi, tanpa dampak emosi. Padahal saya sendiri tak keberatan duduk 20-30 menit lebih lama. Sebab walau menyalahi logika serta jauh dari sempurna, Zero merupakan dongeng cinta epic yang sanggup menebar senyuman.

Belum ada Komentar untuk "Zero (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel