Wahana Rumah Hantu (2018)

Urusan pekerjaan kemarin sungguh melelahkan. Segelas es teh bagus dan berbatang-batang rokok menemani istirahat sore hari saya. Kemudian saya mendapati, alih-alih Jumat menyerupai film India biasanya, Thugs of Hindostan telah dirilis. “Capek begini nonton epic action asyik kali ya”, begitu pikir saya. Berharap melepas penat, tiket pun siap dibeli. Tapi sesaat sebelum goresan pena “Pay Now” dipencet, masuklah pesan itu. Pesan yang mengubah arah, memberi twist untuk kehidupan saya pada Kamis, 8 November 2018.

Pesan itu dikirim oleh admin Indonesian Film Critics (IDFC). Isinya singkat saja, namun mampu mengalahkan gelegar guntur yang meraung-raung di langit mendung sore itu. “Oy, Rumah Hantu yaks”, demikian bunyinya. Sejenak tertegun, saya berusaha menenangkan diri. “Saya mampu bertahan menghadapi Arwah Tumbal Nyai, jadi kali ini pun pasti akan baik-baik saja, ya kan? Ya kan?? Ya kaaaan????”. Oh boy, I’ve never been so wrong.

Selang beberapa jam, kembali saya tertegun. Andai bisa, ingin rasanya menghubungi Rapi Amat, menyuruhnya sungkem pada orang-orang di balik Wahana Rumah Hantu. Bagaimana tidak? Film karya sutradara Anto Lupus ini berhasil menggulingkan horor Go-Pay miliknya dari tahta film Indonesia terburuk 2018. Dan rasanya posisi ini takkan berubah lagi. Film yang lebih buruk dari Wahana Rumah Hantu sebaiknya diungsikan saja ke Planet Pluto. Oh, Pluto bukan planet? Berarti, judul-judul berkualitas di bawah Wahana Rumah Hantu pun bukan film.

Is this a movie though? Ditinjau dari makna literalnya, yakni “moving picture”, ya, Wahana Rumah Hantu berisi gambar bergerak. Bergerak menuju kehancuran. Biasanya saya menciptakan catatan mengenai kelebihan dan/atau kekurangan film yang sedang ditonton, tapi kali ini, saya menyerah. Terlalu banyak keburukan di tiap momennya, dalam segala aspek. Kalau tetap mencatat, begitu film berakhir, saya akan menuntaskan skripsi kedua saya.

Wahana Rumah Hantu mengisahkan kakak-beradik, Aurel (Adzwa Aurell) dan Sky (Sky Azhura), yang sama-sama bisa melihat hantu, dan SEPERTINYA dahulu berprofesi sebagai pengusir hantu. Kenapa “sepertinya”? Karena kita hanya mendengar itu dari pernyataan singkat Aurel. Menariknya, begitulah cara film ini—yang naskahnya juga ditulis sang sutradara—bergulir, yaitu melalui dongeng yang karakternya tuturkan secara verbal.

Di satu titik, filmnya memperkenalkan subplot perihal arwah ingin tau seorang siswi yang mati di kelas. Tanpa aba-aba, mendadak kita melihat kehebohan kelas alasannya yakni KATANYA sebuah buku (atau lemari?) terbuka sendiri. Kenapa “katanya”? Lagi-lagi alasannya yakni karakternya menyampaikan itu, dan kejadian mistis yang dimaksud tak muncul di layar. Seolah ada adegan yang hilang (hilang atau lupa di-shoot hayooo??). Pun sebesar apa pun perhatian dicurahkan, besar kemungkinan anda bakal tetap tersesat dalam labirin membingungkan penuh cabang dan jalan buntu, yang disebut “plot” oleh film ini. Lalu kisah si arwah ingin tau diakhiri memakai voice over.

Ya, VOICE OVER! Bayangkan andai sebelum titik puncak di Wakanda, Avengers: Infinity War berakhir, tanpa pertempuran, dan hanya terdengar Tony Stark berkata, “Kami bertempur mati-matian. Satu tim di Titan, tim lain di Wakanda. Sayangnya Thanos berhasil menjentikkan jarinya dan menghapus separuh kehidupan di alam semesta termasuk beberapa jagoan, di antaranya Spider-Man, yang sebelum kematiannya, menangis di dekapanku”. Saya yang kurang akil ini cuma bisa plonga-plongo, membayangkan kondisi di balik layar yang kemungkinan menyerupai ini:

Demikian awal kelahiran film ini, yang meski berjudul Wahana Rumah Hantu, tapi wahananya sendiri gres muncul di pertengahan, sembari melahirkan satu lagi subplot nihil substansi mengenai kecurangan para karyawan yang ingin mengakuisisi kawasan tersebut, sebelum selipan reliji turut serta mengakhiri konflik. Tidak perlu kaget, toh semenjak awal filmnya sudah menegaskan bahwa derajat setan ada di bawah manusia. Buktinya, setan di sini bisa disuruh mengerjakan PR. Ghost slavery FTW!

Tapi, kalau anda insan bernyali baja, silahkan langkahkan kaki menuju Wahana Rumah Hantu. Setidaknya anda bisa menertawakan akting absurd yang acap kali memancing pertanyaan, “Emosi apa yang aktornya ingin tampilkan?”, penampakan hantu asal-asalan, twist soal identitas huruf yang mundur jauh hingga ke masa Kerajaan Majapahit (saya serius), hingga kerumitan alur yang pasti menciptakan David Lynch terkesima kemudian bersembah sujud. Percayalah, review ini gres menggambarkan sekian persen keburukan Wahana Rumah Hantu. Film jelek, biaya murah, pemain dan kru nihil pengalaman, semua bisa dimaafkan selama ada niat berkarya sebaik mungkin. But this? This is just an act of ingorance.

Belum ada Komentar untuk "Wahana Rumah Hantu (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel