Big (1988)

Saat masih kecil (sekitar usia SD atau SMP) saya begitu ingin cepat beranjak dewasa. Keinginan yang didasari oleh anutan bahwa orang remaja bisa melaksanakan banyak hal yang anak kecil tidak bisa/boleh lakukan. Saat itu sebagai belum dewasa saya merasa orang remaja punya kebebasan lebih untuk melaksanakan yang mereka mau. Banyak hal terbayang dalam pikiran termasuk salah satunya perihal kehidupan percintaan. Big dari Penny Marshall menempatkan abjad utamanya dalam situasi serupa. Josh Baskin (David Moscow) ialah bocah berusia 12 tahun yang mendapati rasa ketidakpuasan terhadap sosoknya sebagai anak kecil. Josh tidak bisa dengan gampang mendekati seorang gadis yang lebih tua, bahkan untuk menaiki sebuah wahana pasar malam saja tinggi badannya tidak sampai. Kita tahu perasaan kesan yang dialami Josh. Rasa kesal alasannya ialah merasa tak berdaya, bahkan tidak dianggap sebagai anak kecil. 

Josh yang kesal tiba-tiba tertuju perhatiannya pada sebuah arcade machine tua berjulukan "Zoltar". Begitu memasukkan koin, Josh diminta menyebutkan satu seruan yang ia respon dengan meminta semoga menjadi "besar". "Zoltar" yang beroperasi dengan cukup creepy kemudian mengeluarkan kartu yang menyatakan seruan Josh telah terkabul. Meski tidak terjadi apapun, Josh menyadari ada yang gila ketika mengetahui mesin tersebut sama sekali tidak dicolokkan. Tapi begitu terbangun di pagi hari alangkah terkejutnya Josh ketika ia telah berkembang menjadi seorang laki-laki remaja (Tom Hanks). Sekilas akan terasa tidak masuk budi melihat seorang anak kecil bisa berkembang menjadi orang remaja hanya alasannya ialah menciptakan seruan pada sebuah mesin arcade. Tapi unsur fantasi diluar budi itu justru amat sesuai dengan sisi imajinasi seorang anak kecil. Daya imaji yang lebih luas dan bebas milik mereka seolah memang bisa menciptakan hal tidak mungkin menjadi kenyataan. 
Big memang kental dengan momen perbandingan antara teladan pikir belum dewasa dengan orang dewasa. Gary Ross dan Anne Spielberg mengeksplorasi hal tersebut dalam naskah yang mereka tulis. Orang pertama yang ditemui Josh untuk menceritakan kondisinya itu ialah sang ibu (Mercedes Ruehl), tapi respon yang didapat tidak sesuai dengan harapan. Meski Josh menuturkan segalanya termasuk hal-hal diam-diam yang hanya diketahui oleh mereka, sang ibu tetap tidak mendengar bahkan menganggap Josh remaja sebagai penyusup yang tiba untuk merampok. Tapi begitu ia menemui Billy (Jared Rushton), sahabatnya itu justru percaya dengan dongeng Josh. Meski awalnya ketakutan, Billy alhasil percaya sehabis Josh menyanyikan lagu yang biasa mereka berdua nyanyikan. Film ini menunjukkan bagaimana orang remaja mengedepankan logika, mengeliminasi hal-hal fantasi yang ada di luar budi dalam mencerna sebuah informasi. Otak lebih sering mendominasi dibandingkan hati. Karena itulah meski statusnya ialah seorang ibu, sulit untuk mempercayai kondisi Josh. Sedangkan belum dewasa yang lebih "liar" cenderung sebaliknya.

Hal serupa juga terjadi pada ketika Josh harus bekerja di perusahaan mainan milik MacMillan (Robert Loggia), sembari menunggu hasil pencarian perihal keberadaan mesin "Zoltar" yang entah dimana menemukan hasil. Berbagai produk perusahaan tersebut mengalami penurunan omset meski berdasarkan Paul Davenport (John Heard), pembuatan produk telah menuruti apa yang ditunjukkan oleh hasil survey pasar. Tapi Josh dengan teladan pikirnya sebagai belum dewasa menunjukkan sudut pandang berbeda, persis menyerupai yang diinginkan MacMillan, bahwa minat belum dewasa tidak bisa diukur hanya dengan data dan angka. Klise sesungguhnya, tapi saya dengan gampang terbawa dalam konflik tersebut berkat penghantaran sosok Josh yang begitu murni, begitu polos dan selalu bersenang-senang di tengah lingkungan kantor yang dipenuhi kekakuan pikir dan mengesampingkan hati. Akting Tom Hanks berperan besar dalam keberhasilan tersebut. Mungkin yang Hanks tampilkan tidak lebih dari sebuah impression seorang remaja terhadap abjad anak kecil. Terkadang daripada polos Josh remaja nampak bodoh, mengingatkan pada abjad Forrest Gump. Tapi Hanks yang begitu energik, lucu, dan selalu terlihat bersenang-senang menciptakan penonton gampang menyukai sosok Josh.
Kemudian hadirlah korelasi antara Josh dengan Susan (Elizabeth Perkins) yang membawa sedikit membawa film ini menuju ranah coming-of-age. Josh mulai secara tidak sadar menjadi lebih remaja sehabis itu. Sekilas nampak dipaksakan tapi tolong-menolong amat realistis. Susan ialah pengalaman pertama Josh menjalin sebuah korelasi cinta. Apa yang terjadi pada anak di usia remaja awal ketika pertama kali berpacaran atau jatuh cinta? Mereka akan bertingkah layaknya orang remaja hingga meninggalkan segala "kekonyolan" masa kecil walau mungkin semua itu dilakukan hanya untuk sekedar "bergaya". Tapi entah terjadi secara sengaja atau tidak, perubahan itu niscaya terjadi. 

Didasari oleh aspek tersebut, unsur romansa dalam Big jadi bukan sekedar tempelan, namun salah satu pondasi besar lengan berkuasa untuk drama-nya. Bagi Josh, Susan ialah orang yang membawanya berangkat menuju proses pendewasaan. Sebaliknya, bagi Susan, Josh ialah laki-laki yang bisa membangkitkan kembali kebahagiaan murni dalam suatu korelasi (bahkan hidupnya) yang selama ini sudah terlupakan. Masing-masing menemukan sesuatu, hingga korelasi mereka terasa lebih bermakna dan berujung pada ending mengharukan yang secara tersirat menyatakan "perpisahan bukan final segalanya, melainkan salah satu cuilan puzzle yang melengkapi perjalanan hidup seseorang."

Verdict: Big bukan komedi yang membuatmu terbahak-bahak, melainkan tersenyum lebar menikmati kebahagiaan dan kesenangan yang dipertunjukkan. Cukup cerdas serta imajinatif dalam mengeksplorasi inner anak-anak beserta pendewasaan yang dialami.

Belum ada Komentar untuk "Big (1988)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel