Bulan Terbelah Di Langit Amerika (2015)

Jihad untuk membela agama ialah niatan yang mulia. Tapi kalau niatan tersebut direalisasikan melalui agresi terorisme maka pudarlah segala kebaikannya. Artinya, meski (dalam Islam) niat baik sudah diganjar pahala, apabila tindakan selaku perwujudannya keliru, tetap tidak bisa dibenarkan. Sama halnya dengan film. Semulia apapun niat di balik pembuatannya, sebaik apapun pesan yang diutarakan, bakal menjadi percuma bila eksekusinya buruk. Film buruk tetaplah jelek, tak peduli sebaik apa pesan yang terkandung di dalamnya. Kebetulan "Bulan Terbelah di Langit Amerika" selaku penyesuaian novel berjudul sama karya pasangan suami-istri Hanum Sasabiela dan Rangga Almahendra ini bersinggungan dengan kedua poin di atas. Kisahnya berkaitan dengan bencana 9/11, dan terkandung pesan teramat penting di dalamnya, yakni perihal "keharmonisan di tengah perbedaan". Namun bukan berarti berkat pentingnya pesan yang diusung, secara otomatis film ini juga menjadi penting.

Melanjutkan kisah dua film "99 Cahaya di Langit Eropa", penonton kembali diajak mengikuti perjalanan Hanum (Acha Septriasa) dan suaminya, Rangga (Abimana Aryasatya) memperjuangkan kepercayaan mereka di negeri asing. Disaat bersamaan, keduanya mendapat kiprah masing-masing di New York. Rangga diharuskan membujuk seorang filantropi berjulukan Philippus Brown (Hans de Kraker) untuk mengisi seminar di Wina. Sedangkan Hanum mendapat perintah menulis artikel bertema "Apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?". Untuk itu ia harus mewawancarai Azima (Rianti Cartwright) yang suaminya dituduh sebagai salah satu pelaku terorisme 9/11. Dengan sumbangan Stefan (Nino Fernandez) dan kekasihnya, Jasmine (Hannah Al Rashid), mereka pun berusaha menjalankan kiprah berat yang diemban. Kali ini tidak hanya rintangan berupa diskriminasi pada umat Islam yang harus dihadapi, tapi juga konflik langsung antara Hanum dan Rangga.

Let's start with the good things first. Sama ibarat "99 Cahaya di Langit Eropa", hal terbaik dalam film ini ialah akting para pemain utamanya. Abimana ialah bintang film dengan gravitas pada tiap performa yang bisa menimbulkan film buruk sekalipun menjadi watchable tiap kehadirannya (ingat "Malam Jumat Kliwon" karya Nayato?). Ada kesan charming dalam ketenangannya menuturkan baris dialog. Ketenangan yang dibarengi kemantapan bertutur menimbulkan sosok Rangga nyata, nampak sebagai laki-laki cerdas tapi berpikiran terbuka dan tidak kaku. Acha pun sama kuatnya, dengan penghantaran sisi emosional tanpa harus meluapkan secara berlebihan. Tapi sebaik apapun akting individu mereka, kepuasan terbesar tetap berasal dari chemistry memikat ketika Hanum dan Rangga berinteraksi. They're such a lovable and lively couple. Meski sama-sama penganut Islam taat, keduanya bukan tokoh kolot. Interaksinya dinamis. Praktis bagi pasangan ini menciptakan penonton tersenyum untuk kemudian menyayangi mereka.  
Kelebihan lain berasal dari kemampuan Rizal Mantovani mengolah gambar. Berkat pengalamannya menggarap banyak video klip, sutradara yang satu ini memang hebat merangkai gambar-gambar memikat. Belum lagi production value yang cukup tinggi menciptakan turut mempercantik visualnya. Tidak ibarat banyak film loal lain yang memaksakan syuting di luar negeri sebagai materi promosi tapi malah berujung dengan kualitas gambar buruk, "Bulan Terbelah di Langit Amerika" tidak serupa. Maka cukup yakin kalau nantinya banyak penonton berkomentar "filmnya kayak film Hollywood". Tidak sepenuhnya keliru alasannya setting-nya memang di Amerika, dan kualitas visualnya cukup baik. Sayangnya hingga disini saja pembahasan mengenai kelebihan film ini, dimana saya akan berlanjut menuju kekurangan, yang mana jauh lebih banyak.

Tema yang diusung sejatinya cukup kontroversial dan berpotensi memancing perdebatan. Pengenalan konflik di awal sudah menarik, dimana kita dihadapkan pada fakta bahwa pelaku serangan 9/11 ialah orang Islam. Berangkat dari situ, kisahnya mulai memberi pertanyaan "apakah dunia memang lebih baik tanpa Islam?" pada penonton. Kita semua tahu akan diberi balasan "tidak", tapi bagaimana cara menjawabnya yang menarik. Tapi alangkah mengecewakan ketika saya diberikan balasan menggampangkan, seolah kabur dari "keharusan" guna merampungkan pertanyaan yang kompleks. (SPOILER WARNING) Kompleksitas persoalaan hadir alasannya pelaku terorisme ialah penganut Islam. Disaat muncul twist bahwa suami Azima bukan seorang pelaku, itu tak ubahnya ngeles, alias lari dari keharusan menjawab tadi. Jika tujuannya sebagai pernyataan "jangan praktis menghakimi seseorang", bukankah masih tersedia abjad Hanum, Rangga dan Azima untuk mengemban kiprah tersebut? Kompleksitas tema dan kontroversi pun runtuh seketika. (SPOILER ENDS).
Naskahnya memang kacau. Jika "99 Cahaya di Langit Eropa" terasa menggurui, maka "Bulan Terbelah di Langit Amerika" penuh pola kedangkalan merangkai unsur misteri dalam alur. Saya tidak sbermasalah dengan coincidence untuk menghubungkan tiap karakter, tapi kalau caranya dipaksakan ibarat ini, sulit untuk saya bersedia menerima. Memang ada ungkapan "dunia itu sempit", tapi saya rasa tidak sesempit yang digambarkan film ini. Terlalu jauh dari sisi realis yang dipunya tema ceritanya. Kisahnya merupakan cerminan dunia ketika ini, maka tatkala penuturannya menjauh dari kesan realistis, alurnya tak lagi relevan. Untuk memperparah keadaan, hadirlah plot hole yang seolah tak pernah berhenti menciptakan saya ingin tertawa. Tak perlu membahas kenapa banyak abjad bisa berbahasa Indonesia meskibukan orang Indonesia (yang sudah jadi problem sejak "99 Cahaya di Langit Eropa") alasannya itu terperinci disengaja untuk mempermudah produksi dan kenyamanan penonton (atau aslinya mereka memang bisa, saya tidak tahu). Banyak hal tidak logis lain yang bukan hasil kesengajaan.

Terlalu banyak plot hole untuk diungkap satu per satu, tapi pola konkret yang hadir dipaksakan semoga muncul konflik ialah ketika di tengah kericuhan demo Hanum meninggalkan map miliknya. Padahal terperinci map itu sempurna di sebelahnya. Atau ketika Hanum dan Rangga berpapasan tanpa sadar, yang terjadi hanya dalam hitungan detik, dan keduanya bukan berada dalam posisi tak memungkinkan untuk saling melihat. Mereka suami istri. Mungkinkah suami yang tengah mencari istrinya tidak sadar mereka hanya berjarak meter? Ditambah lagi Hanum menggunakan jilbab, membuatnya "menonjol" di New York. Mungkinkah itu respon kepanikan? Coba renungkan, apa dua peristiwa di atas memang respon alamiah insan atau murni kebodohan penggarapan. Untuk hal ini kelemahan bukan di naskah, melainkan sutradara. Rizal Mantovani hebat mengemas gambar, tapi tidak dalam bernarasi. Penerjemahan baris kalimat naskah kedalam bahasa sinematik ialah kuncinya. Jika di naskah tertulis "Di tengah kepanikannya Hanum berlari meninggalkan daerah itu tanpa sadar mapnya tertinggal", seharusnya ada perjuangan untuk mengkreasi adegan yang believable. Asal menterjemahkan kalimat dalam naskah sanggup berujung kebodohan semacam ini. 

Saat film memasuki konklusi, banyak penonton menangis tersedu-sedu sementara saya tidak sabar menanti filmnya berakhir. Klimaksnya emosional, tapi terlalu manipulatif, berusaha keras "memaksa" penonton menangis. Apalagi ketika scoring pun ikut menyayat pendengaran dengan kemegahan orkestra. "Bulan Terbelah di Langit Amerika" merupakan bentuk impian Hanum Sasabiela dan Rangga Almahendra atas dunia penuh toleransi. Sah-sah saja, alasannya karya fiksi termasuk film ialah wahana bagi pembuatnya menuangkan imaji mereka sebebas mungkin. Dan "Bulan Terbelah di Langit Amerika" memang berakhir sebagai imajinasi belaka. Sungguh, saya pun mempunyai harapan serupa, melihat dunia dimana umat insan saling bergandengan tangan penuh kedamaian meski terdapat perbedaan. Tapi begitu sulit mendapatkan kisah film ini apalagi sebagai "jendela kehidupan" ketika pemaparannya penuh kepalsuan dan di luar nalar. Still a very well-made movie with great performance from the cast though.

Belum ada Komentar untuk "Bulan Terbelah Di Langit Amerika (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel