Ivory Tower (2014)

Kemarin aku gres saja menonton sebuah dokumenter berjudul Layu Sebelum Berkembang (review) yang melontarkan kritik terhadap sistem pendidikan Indonesia melalui observasi terhadap keseharian dua anak SD di Yogyakarta, sedangkan Ivory Tower garapan Andrew Rossi ini yakni bentuk kritikan terhadap pelaksanaan perkuliahan di Amerika Serikat. Sudah bukan belakang layar lagi bahwa kebanyakan universitas besar di Indonesia banyak berkiblat pada universitas Amerika menyerupai Harvard. Mereka berlomba-lomba meningkatkan kemudahan dan kurikulum dengan tujuan menjadi universitas kelas internasional. Tapi pertanyaannya benarkah kampus-kampus internasional macam Harvard, Princenton atau Stanford memang pantas untuk 100% ditiru? Benarkah nama-nama besar tersebut berhasil mencetak lulusan yang anggun dan berguna? Benarkah kemudahan glamor berharga mahal yang ditawarkan memang esensial dan berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan? Nyatanya semua itu tidak sepenuhnya benar, apalagi pada masa menyerupai kini dimana biaya perkuliahan jauh lebih tinggi daripada layanan publik lain di Amerika Serikat.

Dengan tujuan masuk ke Universitas besar, banyak orang tidak segan untuk menggelontorkan uang dalam jumlah besar. Bahkan tidak sedikit dari mahasiswa yang memakai jasa student loan untuk meminjam uang guna membayar biaya kuliah. Masalahnya dengan pembangunan banyak sekali kemudahan mahal yang ironisnya banyak yang tidak esensial menyerupai bak renang, wall climbing, gedung mewah, stadion american football dan masih banyak lagi, biaya yang harus dikeluarkan semakin mahal khususnya di kampus-kampus besar. Pada kesudahannya banyak mahasiswa yang sesudah lulus pribadi berstatus penyandang hutang dengan rata-rata hutang diatas $100 ribu. Pada awalnya mereka berpikir akan bisa melunasi itu sesudah bekerja, tapi pada kenyataannya banyak lulusan universitas besar yang hanya menerima pekerjaan kecil menyerupai waitress, tukang higienis toilet, bahkan banyak juga yang berakhir sebagai pengangguran. Disatu sisi kampus-kampus menyerupai tidak peduli pada anggapan bahwa pendidikan kampus (higher education) merupakan hak setiap orang. Bahkan kampus yang telah ratusan tahun mengratiskan biayanya menyerupai Cooper University sudah mulai menarik uang kuliah. Berbagai jalan keluar menyerupai perkuliahan online mulai dicoba, tapi masih juga belum membuahkan hasil memuaskan.
Film ini yakni pukulan telak bagi mereka yang mengagungkan sistem pendidikan Amerika dan mati-matian berusaha memalsukan mereka. "Disaat sistem kapitalisme semakin kuat, maka rakyat menjadi korbannya". Kalimat itu memang amat mewakili apa yang disuguhkan oleh Ivory Tower. Andrew Rossi melemparkan semua permasalahan yang menghantui higher education di Amerika Serikat, lengkap dengan sebab-akibat dan perjuangan untuk mengatasinya. Kehebatan film ini yakni tidak adanya unsur keberpihakan pada salah satu pihak atau salah satu metode. Baik kampus maupun metode yang diperlihatkan disini tidak ada yang benar-benar baik. Selalu ada celah dibalik semua kelebihan yang hadir, setidaknya bagi sebagian besar hal. Bahkan disaat sebuah metode sukses mencerdaskan mahasiswa, permasalahan kembali hadir dikala para sarjana tidak punya kemampuan untuk menuntaskan hal-hal keseharian. Film ini berhasil memposisikan saya, menciptakan aku merasa menyerupai salah satu korban. Caranya yakni dengan mengaduk-aduk emosi saya, menciptakan aku kesal dan murka kepada sistem kapitalisme bobrok yang diterapkan banyak universitas. Pemerasan secara tidak pribadi terhadap mahasiswa dan orang renta mereka sukses menciptakan aku dipenuhi amarah. Kemudian satu per satu muncul solusi yang menciptakan aku dipenuhi cita-cita dan senyuman, hingga kesudahannya diperlihatkan solusi tersebut tidak sepenuhnya efektif dan memaksa aku berpikir lebih jauh.
Saya dibentuk berpikir apakah aspek "A" memang sepenuhnya buruk, dan apakah aspek "B" dan berikutnya memang lebih baik? Disitulah Ivory Tower mengajak penontonnya mendengar penuturan dari mereka yang menjalani tiap-tiap metode pendidikan. Faktanya, pada setiap metode selalu ada yang menyebutkan bahwa pilihan mereka yakni sesuatu yang baik, positif dan memang berguna. Pada kesudahannya memang film ini berkonklusi bahwa setiap metode akan dikembalikan lagi pada masing-masing mahasiswa. Manakah yang memang cocok bagi mereka? Mana yang sesuai dengan kepribadian dan tujuan hidup yang mereka inginkan. Mungkin satu hal yang terlewat oleh film ini yakni menggali lebih jauh apakah memang segala keburukan itu sepenuhnya merupakan salah sistem? Bukankah hal-hal menyerupai nilai buruk, drop-out, pengangguran, atau mahasiswa yang lebih doyan pesta daripada mencar ilmu juga bukan mutahil merupakan kesalahan dari masing-masing individu? Tapi toh kekurangan itu tidak mengakibatkan degradasi kualitas bagi dokumenter ini, lantaran nampaknya Andrew Rossi memang lebih bertujuan untuk mengkritik sistem daripada mahasiswa itu sendiri. Lagipula sistem pendidikan yang disorot memang banyak kebusukannya dan sistem yang jelek serta para kapitalis jauh lebih berbahaya kalau dibiarkan dari mahasiswa yang malas. 

Kelebihan utama film ini terperinci datanya yang begitu lengkap. Saya dibentuk sanggup memahami segala fakta yang disajikan, membandingkannya satu sama lain tanpa perlu tersesat dan kebingungan hingga kesudahannya menciptakan aku bisa menikmati proses berpikir, merenungkan sebetulnya bentuk pendidikan mana yang paling baik. Tapi Ivory Tower tidak hanya berisikan data tanpa jiwa, lantaran Andrew Rossi juga berhasil menyuntikkan banyak momen emosional. Seperti yang telah aku sebutkan ada amarah hadir melihat kebusukan yang terjadi, ada juga rasa haru melihat bagaimana para mahasiswa memperjuangkan hak mereka yang direnggut. Universitas seharusnya menyediakan sarana bagi setiap orang yang ingin menuntut ilmu, lantaran menutut ilmu yakni hak setiap insan dan sama bebasnya dengan menghirup udara atau meminum air. Tapi selayaknya air dan udara yang mulai diperjual belikan secara mahal pula pendidikan kini telah menjadi barang mahal yang dipertujukan bagi konsumen, bukan lagi sarana menuntut ilmu, apalagi disaat fokus utama universitas bukan lagi mencerdaskan mahasiswa tapi bersaing dengan universitas lain untuk menjadi yang terbaik dalam banyak sekali ranking. Tontonlah film ini dan mungkin anda tidak akan lagi besar hati melihat universitas daerah anda berkuliah menduduki ranking atas dalam sebuah daftar dan punya kemudahan modern. 

Belum ada Komentar untuk "Ivory Tower (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel