Belle (2013)

Film garapan sutradara perempuan asal Inggris Amma Asante ini terinspirasi dari sebuah lukisan karya pelukis tidak dikenal yang dibentuk pada tahun 1779. Lukisan tersebut menampilkan Dido Elizabeth Belle dan sepupunya Lady Elizabeth Murray. Yang menarik dari lukisan itu yaitu kontennya yang menampilkan Dido, seorang gadis berkulit hitam dengan Elizabeth yang kulit putih secara sederajat dan merupakan salah satu lukisan pertama yang menampilkan hal tersebut. Pada kala tersebut perbudakan kaum kulit gelap memang masih begitu kental termasuk di Inggris. Karena itulah hampir semua lukisan yang menampilkan orang berkulit hitam pastilah memperlihatkan mereka sebagai kaum inferior yang "diselamatkan" orang kuit putih atau sebagai pelayan mereka. Sebuah lukisan yang menampilkan keduanya secara derajat saja sudah cukup menghebohkan, apalagi disaat ada seorang gadis kulit gelap yang tinggal sederajat dengan kaum kulit putih apalagi yang bergelar darah biru atau orang penting. Hal itulah yang terjadi pada Dido Elizabeth Belle yang dalam film ini diperankan oleh Gugu Mbatha-Raw.  Dido yaitu Mulatto (anak yang lahir dari satu orang renta kulit putih dan satu kulit hitam) hasil relasi Admiral Sir John Lindsay (Matthew Goode) dengan perempuan kulit gelap berjulukan Maria Belle. 

Sir John Lindsay yang akan pergi berlayar pun menitipkan Dido pada pamannya, Lord Mansfield (Tom Wilkinson) yang juga merupakan Lord Chief Justice. Tentu saja pada awalnya Lord Mansfield tidak semudah itu mendapatkan Dido alasannya dengan posisinya sebagai pemegang kekuasaan aturan tertinggi di Inggris (derajatnya hanya ada di bawah Raja), merawat seorang anak kulit gelap akan membuat sebuah kontroversi. Namun melihat rasa sayang Sir John Lindsay pada Dido, Lord Mansfield pun kesudahannya bersedia merawat dan membesarkan Dido bersama dengan keponakannya yang lain, Lady Elizabeth Murray (Sarah Gadon). Dido pun kesudahannya tumbuh menjadi seorang perempuan beradap dan tinggal di rumah glamor meski kadang ia masih harus mencicipi ketimpangan derajat ibarat ketika ia tidak diperkenankan mengikuti program makan malam formal. Suatu hari sesudah pertemuannya dengan seorang anak pendeta berjulukan John Davinier (Sam Reid), Dido pun mulai tertarik dengan sebuah kasus mengenai pembantaian budak yang tengah diurus oleh Lord Mansfield.
Pada dasarnya aku kurang sanggup menikmati film period drama khususnya yang kental dengan dongeng percintaan alasannya semuanya dituturkan dengan penuh manner. Ya, dongeng cinta dalam film-film period memang tidak ibarat romansa masa kini. Tidak ada romansa penuh hasrat yang mengalir dengan santai alasannya semuanya penuh dengan sopan santun, kesan malu-malu, dan bahasa-bahasa puitis yang tidak sanggup dengan gampang dicerna. Makara apa alasan aku tetap menonton Belle disaat banyak film-film period drama klasik yang aku anggap membosankan? Jawabannya yaitu alasannya film ini tidak melulu bicara perihal cinta. Memang dongeng perempuan mencari pria, bertemu, kemudian saling mengungkapkan kalimat romantis gombal masih banyak ditemui disini, tapi selain itu ada dongeng yang cukup kental perihal perbudakan, ras dan selipan courtroom drama. Hal itu sudah cukup untuk menjauhkan film ini dari period drama romantis konvensional lainnya. Masih banyak momen yang terasa berat untuk diikuti tapi dongeng perihal kehidupan Belle si gadis kulit gelap yang tinggal bersama darah biru kulit putih sudah cukup terasa menyegarkan.
Satu faktor lain yang membuat film ini tidak terlalu membosankan yaitu temponya yang termasuk cepat untuk ukuran period drama. Amma Asante membuat film ini tidak terlalu usang berputar-putar pada sebuah momen obrolan yang terasa diseret. Hal tersebut memang memperlihatkan satu dampak negatif, yaitu alurnya kadan justru jadi terasa terburu-buru ibarat perubahan perilaku huruf yang kadang terlalu cepat. Tapi hal itu cukup setimpal bila dibandingkan dengan keberhasilannya membuat Belle terasa lebih dinamis, tidak membosankan, dan lebih sanggup dinikmati oleh penonton yang kurang menyukai period drama ibarat aku ini. Hal ini pun pada kesudahannya membuat dialog-dialog indah yang tertulis dalam naskah garapan Misan Sagay jadi lebih bermakna. Pada hakikatnya, film-film period drama memang selalu punya obrolan yang keren dan indah, tapi pada kesudahannya kurang mengena bagi aku alasannya sepanjang film selalu dijejali obrolan demi obrolan bertempo lambat yang kesudahannya terasa membosankan. Tapi dalam Belle, dialog indah itu jadi lebih mengena alasannya tidak dieksploitasi terlalu sering.

Ditambah dengan akting yang berpengaruh khususnya dari Gugu Mbatha-Raw (adegan emosional ketika Dido memukul-mukul dirinya sendiri di depan beling mengambarkan hal tersebut) Belle pun berhasil menjadi sebuah drama yang kuat. Mungkin bagi penonton yang kurang menyukai period drama ibarat aku film ini tidak akan terasa luar biasa. Aspek romansanya tidak terlalu romantis dan sentuhan dongeng perbudakannya mungkin tidak berakhir maksimal juga alasannya harus membuatkan dengan dongeng percintaan, tapi hal itu sudah cukup untuk menjauhkan Belle dari film-film period drama kebanyakan. Setidaknya film ini sudah memperlihatkan bahwa kita sanggup melaksanakan perubahan seekstrim apapun andai kita memiliki keberanian, dan segala perubahan besar selalu berawal dari sebuah perubahan kecil.

Belum ada Komentar untuk "Belle (2013)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel