The Returning (2018)

Saya pertama menyaksikan The Returning sekitar 2 bulan kemudian dalam suatu test screening pagi hari. Mengira bakal disuguhi creature feature (seperti Jeepers Creepers misal), saya terkejut mendapati debut penyutradaraan penuh Witra Asliga—pasca 5 tahun kemudian menggarap segmen Insomnights dalam omnibus 3Sum—ini ialah horor psikologis slow burning. Ekspektasi yang meleset ditambah fakta bila pemutaran dilakukan pukul 9:00 saat nyawa ini belum sepenuhnya terkumpul, saya pun memutuskan bakal menonton ulang.

Pada pengalaman kedua, walau aneka macam kelemahan tetap terpampang nyata, saya dibentuk terkesan oleh kesubtilan penulisan naskah Witra. Begitu pandai ia menyembunyikan intensi orisinil huruf melalui beberapa sikap tak mencurigakan, yang rupanya punya maksud lain sehabis kebenaran diungkap jelang akhir. The Returning diawali kecelakaan yang menimpa Colin (Ario Bayu). Dia terjatuh saat sedang memanjat tebing. Pencarian dilakukan, tapi tubuhnya tak jua ditemukan.

Tiga bulan berlalu tanpa progres. Colin meninggalkan 2 anak, Maggie (Tissa Biani Azzahra) dan Dom (Muzakki Ramdhan), juga seorang istri, Natalie (Laura Basuki), yang menolak mendapatkan kenyataan bahwa sang suami telah tiada. Berbagai perjuangan dilakukan, dari menemui psikolog, hingga menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai pengrajin tanah liat, namun tidak banyak membantu. Akibatnya, korelasi Natalie dengan Maggie memburuk, di mana pertengkaran jadi rutinitas. Belum lagi tekanan dari sang mertua (Dayu Wijanto), yang meski murah senyum serta mengasihi kedua cucunya, gemar melontarkan komentar sinis pada Natalie. Dayu Wijanyo cocok melakoni tugas ini, menimbulkan Oma huruf yang dengan bahagia hati kita benci.

The Returning dengan penuh kesabaran menggunakan secara umum dikuasai durasinya mengeksplorasi sedih yang Natalie alami, pelan-pelan mengungkap beban demi beban karakternya, disokong oleh penampilan cukup solid dari Laura Basuki yang bisa meletupkan emosi kala dibutuhkan. Tapi kadangkala, eksplorasi film ini terasa melelahkan, bukan dipicut tempo lambatnya, melainkan keberadaan momen maupun huruf minim signifikansi. Sebutlah Yasmin (DJ Yasmin) yang andai dihilangkan pun, takkan seberapa mensugesti kondisi psikis Natalie.

Sementara itu, musik dreamy garapan Lie Indra Perkasa (Tabula Rasa, Banda the Dark Forgotten Trail) dan lagu haunting berjudul Kecuali Cahaya yang dibawakan Danilla Riyadi mampu menghanyutkan dalam isi pikiran Natalie yang memang tengah melayang-layang dihantui angan-angan serta luka. Tata kostum bersama departemen artistik yang menampilkan nuansa 90an tanpa terkesan pamer secara berlebihan, juga sinematografi Abdul Dermawan Hadir (Sinema Purnama) yang mengutamakan pemakaian warna hijau, senantiasa memanjakan mata.

Kemudian, di suatu malam Jumat, secara tiba-tiba Colin pulang ke rumah. Tanpa luka, hanya sikap yang lebih hambar dan sedikit gila di awal. Tapi seiring waktu, Colin semakin normal. Setidaknya di depan, alasannya ialah di belakang, keanehan-keanehan justru makin sering terjadi. Cuma terdapat satu jump scare di sini, yang sayangnya sudah dibocorkan oleh trailer-nya. Dipandang dari cara monsternya muncul, adegan itu tidak spesial, tapi dibangun dengan sempurna, demikian pula pilihan timing Witra, yang efektif menciptakan penonton tersentak. Sisanya, Witra menolak mengandalkan “trik murahan”. Sang sutradara ingin menciptakan kita takut, bukan terkejut.

Hasilnya tidak selalu baik. Witra terperinci mempunyai kreativitas tinggi, yang dibuktikan lewat beberapa momen, semisal kemunculan pertama monster atau teror menggunakan papan scrabble. Masalahnya ada di hook. Seringkali, pilihan sudut kameranya gagal memancing bulu kuduk berdiri. Pembangunannya justru kerap lebih mencekam, di mana saya menyukai beberapa penggunaan voice over guna menyiratkan bahwa sesuatu tidak menyerupai kelihatannya. Desain monsternya pun menarik, walau mata merah dan aura hijau di sekujur badan yang dimaksudkan menguatkan kesan out-of-this-world justru mengganggu lantaran tampak artificial.

Klimaks yang mestinya jadi puncak justru bergulir lemah. Setelah melewati sepanjang durasi bergerak dengan penuh kesabaran, The Returning justru tampil buru-buru kala third act, luput menekankan aneka macam poin yang bisa menambah intensitas pula balutan emosi (elemen “tanda mahar” berpotensi menghadirkan konflik rasa yang lebih rumit bagi karakternya). Untungnya ada satu penyelamat, yang menawarkan hati sebagaimana filmnya butuhkan. Penyelamat itu berupa penampilan Muzakki Ramdhan yang sukses memannfaatkan sebuah momen singkat. Pasca The Returning juga A Mother’s Love-nya Joko Anwar, tidak sabar rasanya menantikan masa depan pemain film cilik ini, termasuk Gundala tahun depan. Way to go, Kiddo!

Belum ada Komentar untuk "The Returning (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel