Bohemian Rhapsody (2018)

Bohemian Rhapsody tampil kolam medley, di mana gugusan greatest hits dimainkan sebagian demi mengakomodasi sebanyak mungkin lagu dimainkan dalam keterbatasan waktu. Metode tersebut pasti bisa menghibur, namun takkan terasa lengkap dan penonton bakal berharap lebih dengan ketidakpuasan tertinggal di hati. Karir gemilang Queen, musikalitas mereka, dan tentunya perjalanan hidup sang vokalis, Freddie Mercury, terbukti terlampau besar nan kompleks untuk dituturkan melalui gaya formulaik film biopic.

Di departemen penulisan naskah, Anthony McCarten (The Theory of Everything, Darkest Hour) memahami kata kuncinya, yaitu “keluarga”. Semua hubungan interpersonal film ini bermuara ke sana, dari sulitnya Freddie (Rami Malek) mendapat restu sang ayah (Ace Bhatti) yang menganggapnya telah melenceng jauh dari kultur Parsi, romansanya dengan Mary Austin (Lucy Boynton), juga dinamika Queen, yang digambarkan bukan sebatas band, tetapi keluarga. Walau akhirnya, meski kita tak mencurigai chemistry antara personel perihal pembuatan musik, penggambaran hubungan mereka urung nampak berbeda dibanding banyak grup musik di luar sana. Artinya, “keluarga” hanya kalimat di atas kertas yang berulang kali diucapkan.

Jelang akhir, terselip pembicaraan mengenai adanya perdebatan soal lagu ciptaan siapa yang disertakan dalam album, lagu siapa yang dipilih jadi single andalan, lagu mana yang menjadi b-side, dan lain-lain, yang kerap terjadi tiap Queen memasuki studio rekaman. Tapi selain saling ejek soal lagu I’m in Love with My Car buatan Roger Taylor (Ben Hardy) sang penggebuk drum, kita tidak pernah menyaksikan konflik di atas secara langsung. Padahal cekcok semacam ini bisa memperkaya substansi film perihal musisi.

Proses musikalnya toh tetap menghibur. Kita diajak menyaksikan Queen bereksperimen dengan bermacam-macam sumber bunyi, mengkreasi komposisi unik Bohemian Rhapsody, membuat We Will Rock You yang terdengar sederhana bila disandingkan dengan lagu titular-nya, diciptakan menurut impian memberi penonton lagu yang sanggup mereka mainkan, namun sejatinya, tetap layak disebut eksperimen (mayoritas cuma tersusun atas hentakan kaki dan tepuk tangan). Di balik kekurangannya, Bohemian Rhapsody sanggup menggambarkan kejeniusan serta kegilaan eksplorasi Queen untuk urusan karya.

Merangkum lebih dari 2 dekade penuh lika-liku, Bohemian Rhapsody menentukan gaya presentasi jumpy, bergerak dari waktu ke waktu, lagu ke lagu, konser ke konser, mengakibatkan filmnya terputus-putus alih-alih naratif utuh yang melaju mulus. Pada titik ini filmnya seolah tersesat, tak tahu ingin memberikan apa, kemudian menentukan pasrah terbawa arus, sebelum mencapai third act, yang mana merupakan fase terbaik Bohemian Rhapsody.

Sekitar 30 menit terakhirnya berhasil mengikat segala cabang plot memakai benang merah berupa “keluarga”, menghadirkan beberapa momen personal perihal Freddie dan orang-orang terkasihnya selaku epilog emosional. Khususnya hubungan Freddie-Mary, di mana cinta Freddie terhadap ide di balik lagu Love of My Life itu yaitu salah satu cinta tanpa syarat paling murni dan indah yang pernah saya saksikan, walau suplemen satu-dua dialog intim pada masa awal hubungan mereka bakal lebih menguatkan pondasi cerita keduanya.

Sementara 15 menit pamungkasnya yaitu puncak, di mana Bryan Singer (The Usual Suspects, X-Men, Superman Returns) melaksanakan reka ulang terhadap penampilan Queen di konser amal Live Aid (1985), yang banyak dianggap sebagai salah satu agresi panggung terbaik sepanjang masa. Sekuen ini diambil pada hari pertama produksi, sehingga Singer masih duduk di dingklik sutradara sebelum dipecat kemudian digantikan Dexter Fletcher (Eddie the Eagle) pada sepertiga simpulan proses. Singer bisa saja memasang sistem autopilot dan penonton tetap akan terhibur berkat susunan lagu-lagu menyerupai Bohemian Rhapsody, Radio Gaga, We Will Rock You, hingga We Are the Champions. Tapi ia menolak bermalas-malasan.

Dibantu sinematografer langganannya, Newton Thomas Sigel, kamera Singer bergerak dinamis menangkap energi Freddie yang bergerak menyusuri panggung layaknya pemimpin massa dan euforia 72 ribu penonton di stadion Wembley. Tapi satu hal Istimewa dalam sekuen ini adalah, keberhasilannya secara subtil menjelaskan bagaimana Freddie bisa memberi performa luar biasa, walau telah usang ia dan personel Queen lain tak berada di satu panggung, pula kesehatannya makin memburuk akhir AIDS. Jawabannya sama: keluarga. Konser itu pun makin bermakna. Live Aid jadi momen dikala Freddie mencurahkan segala cintanya, dan keputusan Singer sesekali mengalihkan fokus ke ekspresi orang-orang terdekat sang vokasi di sela-sela konser terbukti menambah bobot emosi.

Tapi tanpa akting Rami Malek, pasti reka ulang Live Aid tidak akan sebaik itu. Secara tampilan fisik, ia mungkin kalah menyerupai dibanding Gwilym Lee sebagai Brian May atau Joseph Mazzello sebagai John Deacon, namun aktingnya menutupi itu. Di bawah panggung, Malek mengakibatkan Freddie insan ringkih yang kesepian dan merindukan cinta, juga musisi jenius yang tubuhnya bergetar tiap menyadari bahwa dirinya sedang membuat mahakarya. Tapi ia bukan sosok suci. Malek turut menangkap sisi gelap Freddie sebagai megabintang yang dikuasai ego akhir kesendirian. Di atas panggung, ia yaitu pemimpin flamboyan penuh energi. Malek tepat menampilkan tiap detail kekhasan gerak-gerik Freddie. Malek bukan sekedar meniru. Seolah Freddie sungguh merasuki sang aktor. Mungkin Malek tidak bernyanyi live, tetapi gestur dan ekspresinya (plus tata suara cermat) memudahkan kita mempercayai jikalau ia bisa bernyanyi serupa Freddie Mercury.

Belum ada Komentar untuk "Bohemian Rhapsody (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel