Brother Of The Year (2018)

Awalnya, Brother of the Year tampak menyerupai dramedi wacana perselisihan sepasang saudara kebanyakan yang mengetengahkan proses terjal menuju kerukunan. Protagonis mengacau, menyulut pertengkaran demi pertengkaran, memuncak pada perpecahan, menyadari kesalahannya, kemudian berujung third act yang dihabiskan untuk memperbaiki segalanya guna mendapat maaf saudaranya (juga simpati penonton). Ternyata tidak. Protagonis kita mengacau sampai mendekati titik penghabisan, dengan perubahan hati terjadi benar-benar di ujung. Karena Brother of the Year rupanya bukan soal perjuangan memperbaiki diri, melainkan penyesalan. “Mengapa selama ini, ketika kesempatan terbuka lebar, saya enggan bersikap lebih baik?”. Penyesalan semacam itu.

Saya menangis di penghujung kisah. Walau tak mempunyai saudara kandung, saya (dan sebagaimana semua orang) pernah mengacau, menyakiti hati orang terkasih, sehingga tahu sesakit apa penyesalan itu. Konklusi film karya sutradara Vithaya Thongyuyong (The Little Comedian, My Girl) ini pun menusuk. Tapi sebelumnya, Brother of the Year total berkomedi terlebih dahulu, bahkan ketika menyentuh duduk kasus serius dalam momen serius, humor segera menyusul. Mungkin banyak pihak menganggap itu wujud ketidakseimbangan. Saya pun sempat berpikir demikian. “Mana dramanya? Mana perjuangan memubuat si tokoh utama simpatik?”.

Sebab lebih gampang membenci Chut (Sunny Suwanmethanont). Dia pemalas kelas satu, membiarkan seisi rumah berantakan, piring kotor menggunung, mengganti lampu saja enggan. Belum lagi kebiasaannya membawa pulang banyak perempuan walau telah mempunyai pacar. Sewaktu adiknya, Jane (Urassaya Sperbund) pulang dari studinya di Jepang dan kembali menghuni rumah itu, pertengkaran eksklusif pecah semenjak menit pertama mereka bertemu. Berkebalikan dengan Chut, Jane yakni gadis cerdas pula rajin. Keunggulan yang semenjak kecil menumbuhkan kecemburuan dalam hati Chut. Saat Jane menjalin asmara dengan rekan kerjanya, Moji (Nickhun), sudah tentu Chut tidak tinggal diam.

Kalau ia dihentikan seenaknya membawa pulang wanita, maka Jane pun tak berhak berpacaran. Begitu pikir Chut. Komedinya berkhasiat sebagai alat presentasi seluruh sikap Chut yang seenaknya, dan itu terus berlangsung. Film ini tak berniat memunculkan kepedulian kita kepada Chut. Sebaliknya, film ini berniat memperlihatkan betapa menyebalkan dan kelewatan perilakunya, betapa besar kesalahan yang ia perbuat terhadap Jane. Alhasil, ketika datang waktunya Chut menyadari kekeliruan itu kemudian menyesalinya, kita tahu betapa besar rasa sesal tersebut. Sebab semakin besar kesalahan, semakin besar pula sakit yang mengiringi penyesalan seseorang.

Sunny, si pemain film langganan GDH semenjak masih berjulukan GTH, memainkan kiprahnya dengan apik, bertingkah sejorok dan sengawur mungkin, namun Urassaya a.k.a.Yaya yang paling bersinar. Dia lancar melucu sebagai adik “bossy” yang dibentuk jengah oleh sang abang tapi selalu menemukan cara untuk membalas. Pun di balik senyum simpulnya, Yaya punya cukup sensitivitas guna memaksimalkan momen dramatis. Sementara Nickhun, bersenjatakan “wajah malaikat” miliknya, terang cocok memerankan sosok kekasih sempurna.

Dibuat oleh tim berisi 4 penulis termasuk Vithaya Thongyuyong, naskahnya menampilkan komedi absurd, serupa komedi-komedi terbaik Thailand—atau tepatnya GDH—lain, yang berkat ketepatan timing dari penyutradaraan Vithaya, mampu memberi kelucuan mendadak yang efektif memancing tawa. Selalu ada hook di tiap humornya, yang menyengat di momen tepat menyerupai seharusnya bagan mumpuni dibuat. Walau saya yakin, mengurangi sedikit porsinya takkan melukai kualitas film, alasannya yakni durasi 124 menit agak terlalu lama. Tonton, kemudian tanamkan di kepala, jikalau lain kali terlibat konflik dengan orang yang kita sayangi, entah itu saudara, kekasih, orang tua, maupun anggota keluarga lain, ingat-ingat segala memori indah yang pernah dihabiskan bersama, sambil berusaha memahami mereka. Karena dapat jadi, mereka sangat menyayangi kita dan melaksanakan berbagail hal namun urung memberi tahu kita. Bukankah cinta kasih terbesar seringkali ditunjukkan tanpa kata-kata? Sebelum penyesalan menghampiri.

Belum ada Komentar untuk "Brother Of The Year (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel