Si Doel The Movie (2018)
Terdapat cara mengidentifikasi apakah anda termasuk sasaran pasar Si Doel the Movie atau bukan. Apabila mendengar serpihan lirik “Aaanak Betawiiii...” membawa anda melayang ke ruang nostalgia bahkan emosional, atau anda bisa mengasosiasikan voice over, foto keluarga, sampai tanjidor dengan momen-momen tertentu dari sinetronnya, maka film ini untuk anda. Karena artinya, ibarat saya, keseharian anda sempat ditemani Si Doel Anak Sekolahan (1994-2003). Sedangkan bagi penonton baru, alias tanpa kenangan wacana sinetronnya, mungkin kedekatan emosi takkan didapat.
Tapi jangan khawatir, alasannya Rano Karno, yang menjadi sutradara (debut layar lebarnya) sekaligus penulis naskah (pernah menulis Satu Jam Saja dan Anak-Anak Malam) selain tentunya memerankan Doel, berbaik hati mengatakan penjelasan. Bukan klarifikasi asal taruh layaknya kursus kilat, melainkan bersifat alami. Misalnya dari obrolan ketika Sarah (Cornelia Agatha) mengungkapkan alasannya meninggalkan Doel 14 tahun lalu. Kita diberi tahu latar belakang yang terjadi dalam sebuah pembicaraan yang masuk akal terjadi. Bisa juga lewat bahasa visual, ibarat kala Koh Ahong (Salman Alfarizi) melirik Zaenab (Maudy Koesnaedi), ketika Mak Nyak (Aminah Cendrakasih) bertanya, mengapa ia belum menikah? Penonton awam sanggup menangkap adanya perasaan khusus Koh Ahong.
Bagi penggemar, mendapati tokoh-tokoh idola masih sama ibarat dalam ingatan sudah menjadi kepuasan tersendiri. Contohnya Mandra (Mandra), selaku huruf pertama yang mengisi layar. Langsung ia pamerkan lisan besar ciri khasnya, yang gemar pamer juga mengeluh, sekaligus berperan sebagai motor unsur komedi yang konsisten mencerahkan suasana sepanjang durasi. Kali ini beliau pamer lantaran akan diajak Doel ke Belanda demi memenuhi anjuran pekerjaan dari Hans (Adam Jagwani). Paruh awal ini agak terganggu jawaban lemahnya penataan bunyi yang kerap menciptakan obrolan tenggelam. Untungnya, problem ini tak berlangsung lama, hilang semenjak Doel dan Mandra berangkat, meninggalkan Atun (Suti Karno) dan Zaenab di rumah.
Zaenab pun sama, masih perempuan penyabar, ikhlas, selalu mendapatkan walau di belakang senantiasa terluka. Dia bersabar menanti Doel memberi kabar setibanya di Belanda, sama ibarat ketika ia sabar menanti sang pujaan hati membalas cintanya. Begitu sabar, walau dalam dua situasi itu, Sarah selalu menghalangi. Tanpa melihat trailer pun kita tahu kekhawatiran Zaenab mengenai pertemuan Doel dan Sarah bakal terwujud. Bukan Si Doel namanya tanpa konflik cinta segitiga mereka. Konflik yang bekerjsama “jalan di tempat”, meski kini, status janji nikah menambah kompleksitas. Doel belum resmi menceraikan Sarah, sementara ia sudah menikah siri dengan Zaenab.
Keseluruhan alurnya, yang beberapa poinnya pernah ditampilkan di FTV Si Doel Anak Pinggiran (2011), bagai menjembatani dongeng usang menuju problematika baru, tak ubahnya episode pilot untuk story arc berikutnya. Layaknya pilot pula, dinamika permasalahan tak seberapa. Mengecewakan, namun bisa dipahami. Mayoritas franchise lawas yang dibangkitkan lagi, niscaya dimulai dengan sajian yang murni mengarah nostalgia demi merenggut kembali perhatian penggemar usang ketimbang eksklusif menjabarkan narasi gres yang utuh dan “layak”.
Doel kesudahannya bertemu dengan Sarah di Tropenmuseum. Pemilihan lokasinya sesuai. Museum merupakan daerah menyimpan artefak masa kemudian biar tak terlupakan, sebagaimana Sarah yang sulit Doel lupakan walau relasi keduanya telah berlalu. Mungkin ibarat kata Mandra, Doel yaitu orang primitif yang menyukai masa lalu, atau sebaliknya, ibarat para pengunjung museum, ia menghargai meori, memperlakukannya dengan penuh cinta. Tokoh utama kita ini memang tidak pernah berubah. Masih diam, tertutup, penuh keraguan. Bahkan tatkala bertatap muka untuk kali pertama dengan Dul (Rey Bong), anaknya. Sikapnya terkesan terlalu dingin, toh sanggup dimaklumi, meningat “anak harus hormat kepada orang bau tanah apa pun kondisinya” termasuk nilai kekeluargaan yang Rano Karno, beserta dongeng Si Doel junjung semenjak dahulu.
Cornelia Agatha, yang kesudahannya kembali ke layar lebar sehabis 12 tahun semenjak Jatuh Cinta Lagi, sanggup mengubah kalimat klise ibarat “Aku yang salah!” menjadi emosional. Dia dan Rano Karno—dalam kapasitas selaku sutradara—saling mengisi bermodalkan pemahaman masing-masing atas mise en scène demi menguatkan dramatisasi. Cornelia, layaknya pemain film panggung yang baik, tahu kapan mesti bererak, berdiri, melangkah menjauh dari lawan bicara guna memberi penekanan. Terkait penempatan blocking pada penyutradaraan Rano Karno, saya menyukai sebuah adegan ketika Doel tengah kusut pikirannya, sementara Sarah dan Dul, jauh di belakang, di luar titik fokus kamera, beraktivitas tanpa sepengetahuan Doel. Momen non-verbal tersebut bicara banyak, khususnya soal isi pikiran Doel. Si Doel the Movie terang punya segalanya untuk menghasilkan lebih dari obat nostalgia. Tapi untuk sekarang, tujuan itu rasanya sudah cukup.
Belum ada Komentar untuk "Si Doel The Movie (2018)"
Posting Komentar