Grand Piano (2013)

Dengan nama Rodrigo Cortes sebagai produser tentu saja saya sanggup mengharapkan sebuah suguhan thriller yang tidak hanya mencekam tapi juga disajikan secara unik dalam aneka macam aspek. Masih ingat terperinci di ingatan saya bagaimana Buried yang disutradarai Cortes bisa tampil sebagai sebuah thriller claustrophobic luar biasa dengan hanya ber-setting di sebuah peti mati. Meski dalam Grand Piano ia hanya menjadi produser, tapi tentu saja sentuhan ala Cortes tidak akan sepenuhnya menghilang dalam film yang disutradarai oleh Eugenio Mira ini. Film ini sendiri dibintangi oleh Elijah Wood dan John Cusack. Khusus untuk Wood, film ini makin memperbanyak gugusan film horor/thriller yang ia mainkan pasca menjadi Frodo di trilogi TLOTR, sebut saja Maniac dan Sin City. Tapi tidak menyerupai dalam kedua film tersebut, disini Wood bukan berperan sebagai sosok psikopatnya melainkan sebagai korban dari teror yang ditebar oleh John Cusack. Seperti yang sudah tertulis pada judulnya, Grand Piano memang akan menjadikan sebuah grand piano sebagai fokus utama atau lebih tepatnya sebuah konser musik klasik dengan pianis sebagai hidangan utamanya. Sang pianis yakni Tom Selznick (Elijah Wood) yang sempat dikenal sebagai salah satu pianis paling berbakat dengan kecepatan jari yang luar biasa dalam memainkan tuts piano. Setidaknya status itu ia sanggup hingga lima tahun yang kemudian ketika dalam sebuah konser ia melaksanakan kesalahan memalukan yang terus diingat banyak orang dan membuatnya sering menjadi materi lelucon.

Sampai kesannya lima tahun sejak kejadian tersebut Tom bersiap melaksanakan comeback dalam sebuah konser yang diadakan untuk mengenang seorang pianis legendaris yang gres saja meninggal. Tom yang merupakan salah satu murid terbaik sang pianis mendapat kesempatan untuk memainkan grand piano peninggalan sang guru untuk pertama kalinya. Tentu saja bukan hal yang gampang bagi Tom untuk kembali lagi bermain diatas panggung, dan hal itu membuatnya mengalami kecemasan dan demam panggung yang luar biasa. Tapi ternyata bahaya bekerjsama bukan berasal dari kecemasan Tom, sebab ketika konser gres dimulai ia mulai mendapat teror misterius dari bunyi seorang laki-laki (John Cusack) yang mengawasi permainan Tom. Pria itu mengancam akan membunuh Tom dan istrinya jikalau ia salah memainkan satu nada saja dalam konser tersebut. Tidak hanya itu, sang pengancam juga menyuruh Tom untuk memainkan La Cinquette atau yang juga dikenal sebagai the unplayable piece karena tingkat kesulitan yang luar biasa. La Cinquette sendiri merupakan ciptaan mendiang guru Tom sekaligus merupakan lagu yang salah ia mainkan dan menimbulkan kejadian memalukan lima tahun yang lalu. Premisnya memang begitu menarik dimana kita dihadapkan pada sebuah hidangan thriller yang mengambil setting lebih banyak didominasi diatas panggung atau lebih tepatnya Elija Wood di depan piano yang ia mainkan. Dengan lokasi yang begitu minim, film ini memang akan makin menciptakan "rasa" dari Rodrigo Cortes semakin terasa. Ada kesan claustrophobic yang unik sebab meskipun mengambil lokasi konser yang begitu luas, film ini mengajak penontonnya terkurung bersama Tom dan pianonya.

Premis menarik tersebut dibungkus oleh aneka macam aspek teknis yang memukau. Sinematografi dari Unax Mendia terasa begitu indah namun juga menjadikan kesan mengerikan lewat warna merah yang mendominasi desain panggung mulai dari tirai hingga karpetnya. Kemudian ada tata pencahayaan yang tidak kalah jago disini. Sebuah pertunjukkan panggung tidak akan terasa menarik tanpa adanya lighting yang mendukung suasana, dan Grand Piano memiliki hal itu. Dengan kombinasi aneka macam warna lampu panggung mulai dari netral, kuning dan biru, pertunjukkan teror yang muncul memang begitu memanjakan mata. Semua itu ditambah oleh pergerakan kamera yang begitu dinamis memutari segala sisi panggung. Disinilah ciri khas Cortes paling terasa dimana sebuah setting yang sempit bisa ditampilkan lewat aneka macam sudut pandang yang variatif berkat pergerakan kameranya hingga menciptakan film ini sama sekali tidak terasa monoton. Epic yakni kata yang sempurna menggambarkan pergerakan kamera film ini. Jose Luis Romeu sebagai editor pun turut menawarkan hasil yang luar biasa dalam merangkum gambar-gambar indah tersebut entah lewat teknik split screen maupun editing cepat yang cukup berhasil membangun intensitas filmnya dan beberapa kali mengingatkan saya pada thriller-thriller karya Alfred Hitchcock menyerupai misalkan pada sebuah adegan pembunuhan yang dengan cepat berganti ke adegan biola yang digesek. Tidak ada darah yang tumpah disitu tapi kesan brutal dan mengerikan berhasil tersaji lengkap dengan keindahan yang unik.
Melengkapi kehebatan aspek visualnya, musik garapan Victor Reyes juga terdengar epic. Tentu saja sebuah film yang kental unsur musiknya tidak akan lengkap tanpa scoring yang mumpuni, dan Grand Piano punya suguhan musik orkestra yang begitu megah dan turut membangun suasana mencekam yang coba dibangun. Tapi sayangnya dengan aneka macam sisi teknis yang luar biasa itu, Grand Piano tidak punya tingkat ketegangan yang cukup. Hilangkan aneka macam aspek teknis tadi maka film ini hanya akan menjadi sebuah thriller yang berjalan datar tanpa pernah menciptakan saya benar-benar membisu terpaku oleh ketegangan yang disajikan. Bahkan klimaksnya sendiri malah terasa anti-klimaks disaat La Cinquette yang sudah dinanti-nantikan berlalu begitu saja. Dari awal saya sudah dibentuk mengantisipasi empat kafe terakhir yang selalu menghantui Tom, tapi tiba-tiba saja lagu itu sudah hingga pada nada terakhir. Bahkan seolah kebingungan menawarkan hidangan puncak, film ini tiba-tiba beralih menjadi sebuah thriller standar pada klimaksnya disaat konser sudah berakhir. Satu lagi kekuatan yang gagal dimaksimalkan hingga filmnya tidak terlalu intens berkaitan dengan misterinya. Film menyerupai ini akan menarik jikalau penonton terikat dengan misterinya, menebak-nebak motif si penjahat dan bagaimana cara Tom untuk bisa lolos dari teror tersebut. Tapi misteri perihal motif itu malah sudah dibongkar di pertengahan film dengan cara yang konyol plus motif yang tidak menarik pula. Hal itu juga ditambah parah dengan sosok villain yang sama sekali tidak intimidatif bahkan terkesan kacangan. 

Film ini sejatinya punya dasar yang menarik untuk dikembangkan, yakni eksplorasi terhadap rasa takut dan trauma yang berasal dari sebuah demam panggung seorang penampil. Tapi sayangnya akhir tingkat ketegangan yang tidak pernah mencapai puncak dan misteri yang terlalu gampang dan cepat dibongkar, eksplroasi tersebut juga tidak terasa berhasil. Untungnya penampilan Elijah Wood termasuk cukup baik disini. Aktingnya sebagai seseorang yang tengah menghadapi rasa takut dan kecemasan luar biasa memang cukup baik, tapi yang paling mencuri perhatian yakni keberhasilannya untuk menyajikan akting tersebut sembari memainkan piano. Tentu saja tidak semua benar-benar dimainkan Wood, tapi beberapa nada yang cukup rumit berhasil ia mainkan dengan meyakinkan sembari berakting penuh kecemasan dengan baik. Pada kesannya Grand Piano memang bukan sebuah thriller medioker berkat aneka macam hidangan teknis tadi dan premis unik serta penyajian intensitas yang menarik diawal film. Tapi percuma sebuah thriller terasa begitu indah jikalau tidak sanggup menyajikan ketegangan yang baik. Tapi setidaknya Grand Piano masih tetap bisa dinikmati meski anda tidak akan mendapat tingkat ketegangan yang tinggi disini.

Belum ada Komentar untuk "Grand Piano (2013)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel