The Hunger Games: Mockingjay - Part 2 (2015)
Ingat ketegangan berintensitas tinggi yang mewarnai dua film pertama? It's gone. Ingat kepribadian Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) si satria perempuan badass yang penuh semangat berapi-api? It's gone. Ingat momen dimana franchise ini dipenuhi abjad unik yang menarik? It's gone. Ingat semua hal yang menciptakan "The Hunger Games" menjadi salah satu film penyesuaian novel young adult terbaik? It's all gone. Ingat kisah cinta segitiga sappy antara Peeta-Katniss-Gale? Unfortunately, it's still there. "Mockingjay - Part 2" bertindak selaku babak epilog salah satu franchise terbesar dekade ini. Menurut hukum tak tertulis, finale harus menjadi "gong", kulminasi dari segala hal yang telah dibagun dari awal. Entah aspek drama maupun agresi seharusnya mencapai puncak pada film ini. Saya belum membaca novel "Mockingjay" yang berdasarkan banyak orang yaitu novel terburuk dalam seri "The Hunger Games". Tapi satu hal pasti, keburukan film ini bukan semata-mata alasannya yaitu sumbernya buruk.
Melanjutkan kisah Part 1, Katniss semakin berambisi untuk membunuh Presiden Snow (Donald Sutherland) sehabis melihat kondisi Peeta (Josh Hutcherson) yang masih belum pulih dari pengaruhnya. Kini yang harus dilakukan pihak pemberontak yaitu mengambil alih District 13 yang banyak berisi simpatisan Snow. Jika itu berhasil, maka tinggal selangkah lagi jalan yang harus ditempuh untuk meruntuhkan kekuasaan Capitol. Dalam durasi mencapai 137 menit memang hanya itu kandungan dongeng "Mockingjay - Part 2". Ini yang terjadi ketika memaksakan diri memecah satu buku menjadi dua film meski jumlah bahan buku tersebut bekerjsama hanya layak dikemas kedalam satu film saja. Naskah goresan pena Peter Craig dan Danny Strong sangat terasa mengais-ngais ceritanya sampai titik terakhir supaya filmnya sanggup dipecah menjadi dua. Alhasil terlalu banyak kekosongan hasil filler moment tidak penting.
Saya cukup menyukai "Mockingjay - Part 1" meski mayoritas drama-politik dan tone yang semakin kelam. Memang lambat, tapi sebuah pembangunan pondasi yang memang diharapkan untuk mempersiapkan finale sesungguhnya. Tapi disaat babak penutupnya pun begitu lambat nyaris tanpa semangat, itu merupakan kekeliruan. Harapan akan titik puncak yang epic pun harus musnah. Total hanya ada tiga action sequence disini dan untung Francis awrence bisa mengemas ketiganya penuh ketegangan seru. Tiap sequence juga melibatkan ajal abjad yang sanggup menawarkan dampak emosional. Those three are really good. Andai klimaksnya punya keseruan serupa, saya akan lebih menyukai filmnya. Tapi Francis Lawrence beserta para penulis naskah terlalu malas untuk melaksanakan perombakan, sampai karenanya dihadapkanlah penonton pada momen puncak yang antiklimaks.
Kisah cinta segitiga masih menerima porsi besar, bahkan jauh lebih mendominasi dibanding installment sebelumnya. Lagi-lagi saya menangkap ini sebagai perjuangan menambal kekosongan alur akhir minimnya modal cerita. Tengok berapa banyak adegan Katniss duduk berdua dengan Peeta atau Gale (Liam Hemsworth) hanya untuk terlibat dalam pembicaraan gloomy di tengah suasana sepi sekaligus membosankan. Semakin parah ketika banyak sekali obroan tersebut menghadirkan kekakuan awkward. Saya tidak heran ketika beberapa kali tawa penonton pecah, alasannya yaitu adegannya memang menggelikan. Dan saya tidak menangkap kelucuan itu sebagai bentuk kesengajaan sang sutradara. Those are simply a bad soap opera-esque scenes. Belum lagi siksaan melihat Liam Hemsworth yang seolah mempelajari aktingnya dari buku fatwa "pria keren idaman perempuan masa kini". Alih-alih terlihat keren/misterius, Gale bagaikan robot yang bisa bicara.
"The Hunger Games" franchise sempat identik dengan kumpulan tokoh yang menarik. Haymitch (Woody Harrelson) si pemabuk, Effie Trinket (Elizabeth Banks) yang eksentrik, Presiden Snow yang keji, Plutarch (Phillip Seymour Hoffman) yang kharismatik, bahkan abjad minor macam Caesar (Stanley Tucci) pun mencuri perhatian. Belum kalau kita membahas Katniss sang protagonis yang tidak hanya gampang dicintai rakyat Panem tapi juga penonton. Semenjak "Mockingjay - Part 1" dibawa ke ranah yang cenderung depresif, simpel daya tarik karakternya ikut terenggut.
Banks dan Harrelson selalu memberi kekuatan dalam tiap kemunculan, hanya saja porsi yang diberikan terlalu minim pula tak esensial. Meninggalnya Phillip Seymour Hoffman menciptakan banyak sekali adegan tak bisa menampilkan Plutrach. Padahal kehadiran Hoffman pasti bisa meningkatkan "magnet" tiap adegan. Jennifer Lawrence pun memberi performa meyakinkan sebagai Katniss yang bergulat dengan depresi. Hanya saja itu bukan Katniss yang kita semua cintai. Jika bukan alasannya yaitu J-Law, mungkin Katniss bisa terjerumus menjadi "the next Bella Swan". Josh Hutcherson? Saya tidak peduli dengan bocah annoying yang selalu merengek itu. Satu-satunya sosok cowok likeable disini hanya Finnick (Sam Claflin). I hope Peeta is the one who dies instead of him.
Dalam pemaparan konfliknya, naskah film ini berada di level tak jauh beda dengan pentalogy "Twilight" khususnya di ranah menyoal percintaan. Bahkan "Breaking Dawn - Part 2" sadar klimaksnya lemah dan memberi perombakan supaya lebih memuncak. Sayang sekali, padahal selipan informasi politiknya begitu menarik. Kita dibawa pada citra konkret mengenai kudeta masa sekarang disaat siapa yang benar dipertanyakan, peperangan menjadi jalan dan berakibat pada timbulnya korban rakyat sipil. Sisi ambiguitas politis yang menarik, tapi butuh lebih dari itu untuk menciptakan filmnya menjadi konklusi memuaskan. Sebagai sajian yang berdiri sendiri sejatinya tidak terlalu buruk, tapi kurang sempurna kalau memandang film ini memakai perpsektif semacam itu. Karena semoga bagaimanapun, "Mockingjay-Part 2" yaitu babak epilog suatu franchise, dan "The Hunger Games" layak menerima simpulan yang jauh lebih baik dari ini. Setidaknya bayi di ending itu sungguhan, bukan CGI atau boneka.
Belum ada Komentar untuk "The Hunger Games: Mockingjay - Part 2 (2015)"
Posting Komentar