The Stanford Prison Experiment (2015)
Banyak muncul perdebatan mengenai tendensi seseorang untuk berbuat tindak kejahatan. Apakah tindakan tersebut didorong oleh kepribadian orisinil sang pelaku? Atau semata-mata sebab imbas situasi yang memungkinkan? Film hasil penyutradaraan Kyle Patrick Alvarez ini diangkat dari sebuah eksperimen faktual yang dilakukan guna menelusuri hal di atas. "Stanford Prison Experiment" yang diadakan pada 14 Agustus 1971 diprakarasi oleh profesor psikologi berjulukan Philip Zimbardo (Billy Crudup). Seperti namanya, eksperimen ini dilakukan di Universitas Stanford dengan partisipan mahasiswa disana. Rencananya selama 14 hari, partisipan harus menjalani kehidupan penjara dengan bayaran $15 per-hari telah dijanjikan sebagai reward. Setelah melalui wawancara, terkumpul 24 partisipan yang tidak mempunyai catatan kriminal dan tanpa gangguan psikologis. Mereka dibagi kedalam dua peran; sipir dan tahanan.
Awalnya semua berjalan lancar sebagaimana kita melihat salah seorang partisipan yang berperan sebagai tahanan, Daniel Culp (Ezra Miller) menanggapi perintah sipir dengan senyuman. Dia tahu ia bukan tahanan sungguhan, begitu pula sipir yang tak lebih dari mahasiswa sama menyerupai dirinya. Dia merasa semua ini hanyalah eksperimen yang mana terdapat kebebasan untuk pergi kapanpun ia berkehendak. Dalam kontrak pun tertulis dilarangnya penggunaan kekerasan oleh sipir. Wajar bagi Daniel untuk merasa santai. Tapi belum genap sehari, perubahan mulai terjadi. Para sipir khususnya Christopher (that "John Wayne" guard) mulai menanggapi kiprahnya dengan serius. Dia menyuruh, membentak, bahkan memberi banyak eksekusi fisik pada tahanan. Sipir diberi kostum layaknya penjaga penjara sungguhan, termasuk properti berupa tongkat kayu dan beling mata hitam (untuk menghindari kontak mata dan memberi aura pemegang otoritas). Merasa memegang kekuatan, perilaku yang ditunjukkan pun makin semena-mena.
Sedangkan para tahanan diperlakukan layaknya bukan manusia. Mereka hanya diberi baju seadanya, dan dipanggil hanya dengan nomor. Identitas mereka dilucuti, masing-masing pun mulai mempertanyakan eksistensi diri. Baik sipir maupun tahanan sudah terinternalisasi dengan tugas yang mereka mainkan. Eksperimen berjalan diluar kendali, bahkan mulai menyalahi etika dikala Philip menghalangi para tahanan untuk mengundurkan diri. Salah satu aspek yang coba dieksplorasi dalam "The Stanford Prison Experiment" ialah bentuk eksperimen ilmiah yang menyalahi etika. Bahkan sebelum kondisi tak terkontrol, kita melihat para peneliti membagi tugas partisipan bukan lewat hasil wawancara melainkan lemparan koin. Sebagai citra ekstrim terhadap eksperimen yang tak prosedural, film ini telah berhasil memberi imbas kejut.
Eksplorasi pun semakin dalam ketika Philip yang harusnya berperan sebagai observer mulai terlibat pribadi dalam eksperimen. Hal itu didorong oleh kontrol penuh yang ia miliki. Hierarki memang jadi pelopor karakter-karakternya. Bagaimana pemegang kekuatan sanggup mengendalikan mereka yang lemah. Kecenderungan insan untuk melaksanakan penindasan dikala memegang kendali berpengaruh dipaparkan dengan gamblang disini. Hal itu bukan hanya refleksi dari eksperimen ataupun kehidupan penjara semata. Dalam aspek keseharian lain pun kita sanggup menjumpai semuanya. Penindasan yang lemah oleh yang kuat, kebersediaan untuk ditindas demi menerima kepuasan material, kerelaan dihilangkannya hak-hak insan semoga perut sanggup kenyang, bukankah semua itu citra masyarakat dalam realita? Atau lebih tepatnya hubungan rakyat jelata dengan pemegang kekuasaan. Sentuhan itu menciptakan kisahnya sedikit lebih kaya.
Secara penelusuran dinamika psikologis, "The Stanford Prison Experiment" hadir lebih sederhana dibanding potensi kedalaman yang dimiliki sumber inspirasinya. Praktis untuk melihat para sipir sebagai sosok "hitam" dan tahanan ialah sosok "putih". Dari beberapa tokoh sipir yang mayoritas dalam narasi, semuanya terlihat melaksanakan penyiksaan murni sebab mereka menikmati posisi sebagai pemegang kontrol. Tidak ada cognitive dissonance dimana seorang sipir tak menyetujui tindak kekerasan tapi tetap melakukannya demi kelangsungan eksperimen. Terdapat salah seorang penjaga yang "berbeda", tapi ia bukan berat hati melaksanakan kekerasan, melainkan sepenuhnya menghindari itu. Porsinya pun tak sebegitu banyak untuk menerima kajian lebih dalam. Naskah Tim Talbott mengesampingkan aspek tersebut. It's more of a prison exploitation story than a deep exploration of human psychology. Saya pun tidak menerima kepuasan pada transformasi Philip Zimbardo. Obsesinya tergambar dengan baik, tapi tidak dikala di selesai film ia menyadari kekeliruannya. Perubahan terjadi terlampau cepat.
Saya tidak mempermasalahkan film yang bertujuan memberi imbas kejut lewat eksploitasi kekerasan dan "dehumanization", but "The Stanford Prison Experiment" should have been more than that. Kisah faktual yang diangkat merupakan momentum penting dalam hubungan antara kemanusiaan dan aspek keilmuwan beserta dinamika psikologis yang mengelilingi mereka, seharusnya sedalam pula sekompleks itulah penelusuran filmnya. Tapi sebagai suguhan thriller, saya tidak memungkiri keberhasilan filmnya membangun intensitas ketegangan sekaligus mempermainkan emosi saya ketika menyaksikan perilaku para sipir yang tak memanusiakan tahanan. That's disgusting and shocking. Eksploitasinya memang berhasil memberi dampak emosional, bukan sekedar kegilaan kosong. But the sad thing is when we realized that those kind of abusive behaviors (even much crazier) happens all time in many prisons all over the world (remember Abu Ghraib?).
Belum ada Komentar untuk "The Stanford Prison Experiment (2015)"
Posting Komentar