The Assassin (2015)
Inilah film yang membawa Hou Hsiao-Hsien meraih penghargaan "Best Director" pada ajang Cannes Film Festival tahun 2015 ini. Bukan hanya itu, "The Assassin" juga dikirim sebagai perwakilan Taiwan untuk Oscar 2016. Meski mengusung judul yang berarti "pembunuh", filmnya tidak akan berfokus di ranah thriller maupun agresi kebanyakan film wuxia. Hsiao-Hsien menentukan pendekatan artsy puitis layaknya Ang Lee dalam "Crouching Tiger, Hidden Dragon". Alur lambat berhiaskan kesunyian yang ditangkap oleh kamera dalam gerakan minim cenderung statis begitu dominan. Karakternya berbicara dengan lirih, dan ketika mereka diam, ambience yang berasal dari alam (angin dan serangga) mengambil alih perhatian telinga penonton. Pembawaan itu menimbulkan filmnya segmented, belum lagi ditambah rumitnya alur yang membutuhkan kecermatan lebih serta ketanggapan berpikir untuk mengaitkan satu aspek dengan aspek lain.
"The Assassin" dibuka ketika Jiaxin (Fang-Yi Sheu), mantan puteri kerajaan yang sekarang menjadi biarawati memerintahkan muridnya, Nie Yinniang (Shu Qi) untuk membunuh seorang pejabat korup. Jiaxin sendiri telah merawat Yinniang semenjak usianya 10 tahun. Namun dalam misi tersebut, Yinniang gagal alasannya yakni merasa iba pada anak sang pejabat yang kebetulan ada di lokasi. Sebagai eksekusi atas kegagalannya, Yinniang dikirim pulang sekaligus dibebani kiprah untuk membunuh Tian Ji'an (Chang Chen), gubernur militer di tempat Weibo sekaligus sepupu Yinniang. Rangkaian adegan itu dikemas memakai warna hitam-putih. Sederhana. Hanya terdapat dua jenis warna. Sama menyerupai plot yang masih simple; seorang pembunuh ditugaskan untuk membunuh yang lalu coba ia laksanakan meski kesudahannya gagal. Setelah itu filmnya berubah dipenuhi bermacam warna terperinci berbarengan dengan makin kompleks dan beragamnya situasi politik serta pergolakan hati Yinniang.
Karakternya jarang berbicara, tapi sekalinya kalimat mengalir dari verbal mereka, tidak akan gampang bagi penonton untuk membaca arahnya. Entah alasannya yakni pembawaan puitis penuh metafor atau mengandung nama orang, tempat, sampai kejadian yang belum kita pahami. Hou Hsiao-Hsien yang juga bertindak selaku co-writer tidak "berbaik hati" memperlihatkan pengenalan latar belakang sebelum terjun ke konflik utama. Tengok ketika para penasehat Ji'an membicarakan kekisruhan antara Weibo dan pihak kekaisaran, atau ketika Yinniang mendengar dongeng perihal giok yang diberikan oleh Puteri Jiacheng (Fang-Yi Sheu) kepadanya dan Ji'an sebagai tanda perjodohan mereka dahulu. Pertanyaan mengenai "siapa", "kenapa" dan "bagaimana" serentak muncul mendengar perbincangan tersebut. Jawaban akan diberikan lewat obrolan pada adegan-adegan berikut, tapi itu pun secara subtil, sampai butuh konsentrasi untuk mengaitkan poin demi poin.
Mengulangi adegan atau bahkan menonton lebih dari sekali dibutuhkan untuk sanggup memahami keseluruhan detail cerita. Tapi pengulangan menonton membutuhkan aspek pengikat supaya penonton tidak keberatan melakukannya. Sebagai magnet, "The Assassin" punya atmosfer pemberi intensitas dan keindahan sinematografi. Hsiao-Hsien menimbulkan kesunyian berbalut ambience alam untuk mengemas tiap situasi senyata mungkin. Setiap momen bukanlah sajian artificial, dimana saya seolah berada di alam yang sama dengan filmnya. Suara serangga, angin, air dan lainnya sama persis dengan yang kita dengarkan ketika berada di kesunyian malah hari. Setiap perasaan pun ikut menguat, termasuk ketegangan kala mendapati seorang perempuan pembunuh berpakaian hitam berjalan pelan mendekati sang korban. Terkadang scoring garapan Liam Giong yang didominasi perkusi menyeruah masuk menguatkan intensitas.
Keberadaan Mark Lee Ping Bin (In the Mood for Love) sebagai sinematografer tak pelak menciptakan semua gambar menjadi keindahan artistik yang mengunci pandangan saya ke layar. Tidak ada sudut yang tersia-sia, setiap detail pewarnaannya breathtaking. Begitu juga pemakaian beberapa framing bercampur pergerakan lembut nan minim kameranya yang tepat menangkap para huruf beradegan. Gambar dalam film ini layaknya keindahan sebuah puisi. Baik adegan indoor maupun outdoor punya pesonanya masing-masing. Anda sanggup menentukan tiap scene untuk di-print screen menjadi wallpaper di layar laptop anda.
Punya keindahan sinematografi tak menciptakan Hsiao-Hsien lupa memanusiakan huruf pula pada penuturan alur. Seperti judulnya, film ini yakni eksplorasi perihal seorang pembunuh. Seorang pembunuh yang harus berhadapan dengan sisi dilematis berupa rasa iba serta kemanusiaan. Keseluruhan karakterisasi filmnya yakni pola bagaimana "The Assassin" menjadi sajian wuxia yang substansial, alasannya yakni mewakili delapan "code of wuxia". Alurnya dipenuhi ketidaktahuan dan ambiguitas, sama ambigunya dengan biarawati berbaju putih (warna penyimbol kebaikan) dan pembunuh berbaju hitam (simbol kejahatan) yang pada pemaparannya justru menimbukan pertanyaan "siapa yang baik dan siapa yang jahat?" "The Assassin" merupakan pola film yang akan berbekas semakin berpengaruh begitu usai dan menarik hati penonton supaya kembali lagi.
Belum ada Komentar untuk "The Assassin (2015)"
Posting Komentar