Mr. Holmes (2015)
Sudah begitu banyak versi Sherlock Holmes muncul di layar lebar. Tepatnya 254 film sampai tahun 2012. Lebih dari 30 pemain drama telah memerankan sosok detektif fiktif paling terkenal ini. Jumlah itu belum menghitung serial televisi yang jumlahnya pun tidak sedikit. Meski digambarkan dalam bermacam-macam versi termasuk seorang dewasa pada Young Sherlock Holmes (1982), tetap ada kesamaan dalam penggambaran sosoknya; seorang detektif yang menguasai aneka macam ilmu pengetahuan dengan budi budi tingkat tinggi. Salah satu yang paling sering dieksploitasi ialah kemampuan mengetahui detail mengenai seseorang meski hanya lewat observasi sekilas. Dengan segala kehebatan tersebut, sulit membayangkan Sherlock tanpa kemampuan otak dan memori brilian. Itulah mengapa Mr. Holmes karya sutradara Bill Condon ini menyajikan perspektif berbeda yang menarik wacana sang detektif.
Diadaptasi dari novel "A Slight Trick of the Mind" karya Mitch Cullin, filmnya bercerita wacana kehidupan Sherlock Holmes (Ian McKellen) di masa tuanya. Dalam usia 93 tahun, ia sudah pensiun sebagai detektif dan tinggal di farmhouse terpencil di Sussex. Disana Sherlock menghabiskan hari dengan beternak lebah bersama pembantunya, Mrs. Munro (Laura Linney) dan puteranya, Roger (Milo Parker). Sherlock disini berbeda dari sosoknya yang telah kita kenal. Jangankan memecahkan kasus, untuk sekedar mengingat nama orang saja ia kesulitan dan harus membuat catatan di bajunya. Saat kemampuan memorinya semakin jelek itulah Sherlock berusaha mengingat kembali masalah terakhir yang ia tangani, alasannya ialah merasa goresan pena Watson dan penyesuaian filmnya tidak menggambarkan fakta sesungguhnya. Disaat bersamaan ia juga mulai membangun kedekatan dengan Roger yang telah usang mengagumi sosok sang detektif.
Sherlock Holmes sebagai detektif sama halnya dengan Superman sebagai superhero. Mereka tidak sempurna, tapi terperinci mendekati istilah "Godlike". Dengan melucuti segala kelebihan yang melekat, "Mr. Holmes" merupakan upaya penggambaran sang titular character secara lebih manusiawi. Artinya akan lebih banyak kerapuhan dan perasaan. Anda akan kecewa kalau mengharapkan penelusuran misteri penuh agresi layaknya versi Robert Downey Jr. atau pemeriksaan masalah twisty yang mengeksploitasi kemampuan intelektual macam versi Benedict Cumberbatch. Film ini lebih menitikberatkan pada drama wacana seorang laki-laki yang telah lewat masa jayanya dan harus menghadapi fakta tidak hanya fisik dan psikisnya sudah menurun, tapi janjkematian pun semakin mengakrabi kehidupannya. Baik sang kakak, Mycroft maupun Watson semua sudah tiada.
Naskah goresan pena Jeffrey Hatcher yang besar lengan berkuasa pada studi abjad berpadu dengan pengarahan penuh sensitifitas Bill Condon dalam menghantarkan emosi secara lantang namun tak berlebihan. Memanusiakan Sherlock Holmes terbukti menunjukkan kehangatan pada dramanya. Jika biasanya ia digambarkan sebagai sosok yang mendekati sociopath, Sherlock disini ialah laki-laki renta berselimutkan kesepian. Disaat satu per satu orang dalam hidupnya telah pergi, barulah ia menyadari cintanya pada mereka semua sampai membuat rasa kehilangan. Eksistensinya pun buram dikala secara umum dikuasai orang lebih mengenal Sherlock dari citra fiksi menyerupai topi berburu dan rokok pipa yang sejatinya tak pernah ia gunakan. Berbeda dengan inkarnasi lainnya, Sherlock dalam film ini tidak menikmati keterasingan tersebut.
Sepanjang film, Sherlock berusaha mencari fakta, sesuatu yang memang menjadi kesehariannya. Dia menganggap fakta ialah hal terpenting, sedangkan fiksi tak berharga, bahkan walau suatu fiksi lebih menunjukkan kebahagiaan dari fakta menyedihkan sekalipun. Sisi emosional kisahnya terletak pada proses berguru seorang Sherlock Holmes untuk lebih banyak memakai hati dan perasaan dalam menyikapi permasalahan daripada semata-mata mengutamakan otak beserta analisa fakta. Sherlock yang terganggu oleh kesendirian dan Sherlock yang sanggup memandang dengan perasaan. Keduanya merupakan bentuk keberhasilan film ini memanusiakan abjad utamanya.
Meski fokus pada drama, "Mr. Holmes" tetap menunjukkan sajian misteri berupa masalah terakhir yang ditangani sang detektif. Kasus yang ia hadapi bukan misteri berbelit penuh kejutan, ketegangan, maupun pembunuhan beradarah. Daripada itu, tersajilah masalah yang lebih membumi wacana rasa ingin tau suami akan gelagat asing istrinya. Sherlock pun dimintai pemberian untuk membuntuti sang istri, Ann Kelmot (Hattie Morahan). Ketegangan penuh misteri ala kisah Conan Doyle memang nihil, tapi filmnya masih bisa menyajikan penelusuran menarik dengan tetap dibumbui kejutan. Saya tidak mempermasalahkan itu, alasannya ialah kasusnya sendiri bukan bertujuan untuk memberi sentuhan misteri namun mengeksplorasi Sherlock Holmes secara lebih mendalam. Kasus itu menggambarkan bagaimana sang detektif handal tetaplah insan biasa yang di tengah kejeniusan analisanya harus bergelut dengan dilema rasa. Pada kesudahannya dikala semua puzzle tersusun, kita sebagai penonton dibentuk ikut mencicipi kepedihan yang usang dipendam Sherlock.
Dalam masa modern, Downey Jr. dan Cumberbatch boleh menjadi Sherlock paling populer, tapi bagi aku Ian McKellen menunjukkan penampilan yang lebih besar lengan berkuasa meski interpretasi karakternya sedikit berbeda. Sir Ian sanggup menangani adegan emosional dengan baik, tapi kelebihan terbesarnya ialah kepiawaian menghidupkan dua sisi Sherlock. Pertama Sherlock di usia 60-an yang masih prima baik fisik maupun pikiran, dan kedua ialah Sherlock yang renta renta. Sebagai Sherlock (lebih) muda, McKellen memancarkan kejeniusan yang kita ekspektasikan hadir dari sang detektif. Sedangkan sebagai Sherlock berumur 93 tahun, gesturnya aktual memunculkan kerapuhan laki-laki renta yang lemah. Tatapannya membuat aku percaya abjad ini dipenuhi sepi dan kebingungan jawaban ingatan yang melemah. Caranya bicara menyiratkan rasa lelah sebagai kulminasi kedua hal itu. Filmnya yang konstan melompat antara dua setting waktu menghadirkan komparasi terhadap dua sisi karakternya. Penampilan bravura sang pemain drama pun makin aktual terlihat. Bahkan kalau anda kecewa akan cara bertutur "Mr. Holmes" yang lebih mengedepankan drama daripada misteri, akting Ian McKellen bisa meningkatkan evaluasi terhadap filmnya.
Belum ada Komentar untuk "Mr. Holmes (2015)"
Posting Komentar