Raw (2016)
Ada bermacam-macam cara menggolongkan film horor, dan kali ini saya akan membaginya ke dalam tiga bentuk. Pertama nasty horror. Sesuai namanya, jenis ini mengedepankan momen menjijikkan, sering eksploitatif, menempatkan cerita, akting, dan segala tetek bengek sinematik lain di urutan ke sekian. Kritikus cenderung membabat habis film model begini. Kedua ialah mainstream horror yang dirilis luas, dibentuk mengikuti contoh demi memuaskan penonton sebanyak mungkin. Ketiga, artsy horror yang gemar bermain alegori, banjir penghargaan dari bermacam festival, namun bagi penonton awam tak selalu memuaskan entah disebabkan tempo lambat atau "pelit" mengumbar teror.
Raw yang disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Julia Ducournau termasuk golongan terakhir, menceritakan hari-hari pertama Justine (Garance Marillier) berkuliah menempuh pendidikan kedokteran hewan. Justine merupakan gadis "lurus" yang cerdas, pendiam, masih perawan, sekaligus seorang vegetarian. Di sana ia bersama sang kakak, Alexia (Ella Rumpf). Berlawanan dengan Justine, Alexia lebih "liar" dan gemar berpesta. Seiring waktu, Justine menyadari ada keganjilan pada dirinya ketika mulai timbul hasrat memakan daging mentah yang bahkan sanggup menyeruak hadir kala melihat seekor sapi hidup di depan kelas. Hingga ketika terjadi sebuah kecelakaan, hasrat Justine berubah ke tingkatan ekstrim.
Kisah coming-of-age memang mangsa empuk bagi sineas horor menyelipkan simbolisme-simbolisme, mengingat pada kenyataannya, fase hidup insan khususnya cukup umur dipenuhi banyak sekali perubahan yang dirasa aneh, entah pengalaman seksual pertama, fisik pula kepribadian juga berubah. Karena itu takkan sulit memberi twist pada perubahan tersebut, misal si huruf menyadari ia ialah monster, kanibal, atau semacamnya. Ducournau pun memanfaatkan itu, menumpahkan setumpuk alegori wacana bangkitnya naluri dasar manusia, seksualitas, kehidupan kampus, hingga perdebatan soal perlakuan terhadap hewan, entah untuk dikonsumsi atau eksperimen akademik.
Tapi keberadaan simbol di atas tidak serta merta menyebabkan filmnya suguhan cerdas, alasannya ialah sekarang ketika coming-of-age sudah jamak dijadikan metafora termasuk dalam horor, apa yang Ducournau berikan terlampau familiar. Praktis ditebak ke mana perkembangan karakternya bergerak, walau di beberapa titik terdapat kejutan selaku pemberi shock value. Pula pada pengadeganan, di mana tempo lambat sebagai niat membangun atmosfer ditambah gambar artistik bagus garapan sinematografer Ruben Impens yang sesekali dibalut slow motion mendominasi. Gaya demikian yang dulu termasuk "hipster" telah menjadi klise, membentuk template tersendiri bagi arthouse horror, dan Ducournau sekedar menerapkan, mengulangi template itu.
Eksplorasi dramatik cenderung mengesampingkan porsi horor, yang mana bukan dilema jika terdapat pendalaman paten. Sayangnya, untuk film yang berupaya mengangkat wacana tumbuh kembang insan secara serius, bukan gimmick semata, presentasinya dangkal. Perubahan demi perubahan Justine tak nampak sebagai proses berkelanjutan yang natural, melainkan hanya alat semoga film sanggup bergerak dari satu twisted moment ke twisted moment berikutnya. Andai saja fokus banyak terletak pada horor, alasannya ialah meski Raw memperlihatkan bahwa Ducournau bukan pencerita solid, ia piawai menebar teror menyakitkan.
Tanpa perlu sadisme berlebihan, sang sutradara sanggup menyulap insiden remeh ibarat menggaruk luka alergi jadi adegan yang sanggup memaksa penonton berpaling dari layar berkat perpaduan visual eksplisit dengan tata bunyi meyakinkan. Atau bagaimana "menarik rambut dari dalam mulut" yang telah ratusan kali kita lihat tampak begitu menyakitkan. Ducournau punya kejelian tinggi terkait membuat pemandangan disturbing tanpa perlu terkesan over-the-top. Selalu mencekam dan mencekat tatkala momen berdarah mengambil alih, Raw sayangnya turut mengatakan betapa hipster artistic horror makin repetitif, predictable, mencapai kekliseannya sendiri.
Belum ada Komentar untuk "Raw (2016)"
Posting Komentar