The Deal (2015)

Kualitas tidak berbanding lurus dengan originalitas. Tengok saja Quentin Tarantino yang gemar mencomot banyak sekali aspek menyerupai pengadeganan, sinematografi, sampai huruf dari film-film lain. Tidak jarang karya Tarantino bagaikan montase berisikan carbon copy. Kelebihan utama Tarantino memang bukan terletak pada originalitas, melainkan pengetahuan bagus/tidaknya sebuah film/adegan. Karena berasal dari bermacam sumber, terciptalah "ilusi" bahwa film tersebut sepenuhnya hidangan baru. Tapi satu hal yang niscaya dan nyata, Tarantino menciptakan film bagus. Period. Usaha serupa coba dilakukan oleh Son Yong-ho (sutradara) dan An Young-jin (penulis naskah) dikala berkolaborasi menggarap The Deal. Baik dari segi dongeng maupun pengemasan, kentara sekali film ini banyak meminjam dari film-film revenge/crime thriller asal Korea Selatan yang telah diakui kualitasnya macam Memories of Murder atau I Saw the Devil
The Deal bercerita perihal pemeriksaan yang dilakukan Detektif Tae-soo (Kim Sang-kyung) terhadap sebuah kasus pembunuhan berantai. Meski termasuk veteran, Tae-soo lebih bahagia malas-malasan dikala bekerja daripada menilik kasus itu secara tuntas. Namun sebuah kebetulan membawanya pada kasus langgar lari yang justru menggiring Tae-soo untuk menemukan sang pembunuh, Gang-chun (Park Sung-woong). Gang-chun ditangkap, tapi menolak memberi tahu letak jenazah korban yang masih belum ditemukan. Di tengah euforia sebab berhasil menangkap sang pelaku, Tae-soo menemukan fakta mengejutkan. Sang adik, Soo-kyung (Yoon Seung-ah) merupakan korban terakhir dari Gang-chun dan masih belum diketahui keberadaannya. Kasus ini mulai menjadi personal bagi Tae-soo. Apalagi dikala suami Soo-kyung, Seung-hyun (Kim Sung-kyun) mulai terlibat.

Jika anda sudah menonton Memories of Murder dan/atau I Saw the Devil, tentu gampang mencicipi kemiripan keduanya dengan film ini. Itu tidak masalah, lagipula dua film tersebut termasuk dalam jajaran thriller terbaik dari Negeri Ginseng. Masalahnya, baik penyutradaraan Son Yong-ho maupun naskah goresan pena An Young-jin hanya asal mengambil tanpa tahu bagaimana cara mengemasnya sebagai satu kesatuan yang baik. Mari ambil sedikit contoh. Seperti I Saw the Devil, korban yang menjadi pemicu konfik antara protagonis dan antagonis yaitu seorang perempuan muda dalam kondisi hamil. Tujuannya untuk mengapungkan kesan tragis guna mengundang simpati dan sumbangan penonton pada agresi balas dendam tokoh utama. 
Bedanya, disaat Kim Ji-woon berfokus pada nasib yang menimpa korban, Yong-ho justru menentukan fokus pada sang pembunuh untuk kemudian memindahkan sentral pada Tae-soo dan penyelidikannya. Akhirnya dikala momen (yang harusnya) emosional tiba, saya tidak mencicipi apapun. Yong-ho pun tidak berani menyajikan kekerasan eksplisit, dimana adegan pembunuhan pada awal film hanya diperlihatkan sekilas. Padahal kekerasan dalam adegan semacam itu bisa bersifat esensial supaya penonton sanggup ikut mencicipi amarah serta kesedihan karakternya. Hal ini hanya satu pola dari sekian banyak aspek dalam The Deal yang mengambil dari film lain bertema serupa, tapi gagal menghadirkan imbas pada tingkatan yang sama.

The Deal mengalami perubahan tone dan alur penceritaan dimana keduanya sama-sama berujung pada hadirnya kekurangan. Tone shift terjadi bersamaan dengan berubahnya Tae-soo dari detektif tidak reliable menjadi sosok gloomy dan terobsesi pada penyelidikan. Sebuah progresi natural untuk suatu karakter, tapi Yong-ho tidak bisa memunculkan gradasi yang juga natural. Suatu perubahan yang dipaksakan sekaligus tidak perlu. Kenapa Tae-soo harus menjadi depresif? Menyajikan impact sebuah bencana tidak harus dengan cara menyerupai itu sebab film ini sudah mempunyai Seung-hyun yang mendapat treatment serupa. Andaikan Tae-soo dibiarkan sebagai dirinya yang lama, The Deal akan lebih dinamis. Sedangkan perubahan alur dari sekedar kisah pembunuh berantai menjadi condong kearah hidangan prosedural penuh konflik rumit dibumbui balas dendam juga menegaskan buruknya naskah serta kemampuan bertutur sang sutradara. Daripada menciptakan penasaran, misterinya justru kacau dan tak jarang memusingkan. 
Tidak ada huruf memikat disini. Setelah dibentuk lebih kelam, Tae-soo menjadi sosok membosankan. Hal itu turut menciptakan film ini terlalu melankolis. Revenge thriller bernuansa melankolis? Konyol memang. Sedangkan Seung-hyun dengan agresi balas dendamnya tidak bisa meraih simpati sebab saya tidak diberikan waktu yang cukup untuk bisa mengenalnya lebih jauh. Akting dari kedua pemain film pun meski tidak buruk sama-sama gagal memberi kedalaman yang bekerjsama lebih dikarenakan penulisan naskah buruk.Park Sung-woong sebagai Gang-chun terlihat ideal dengan tubuh berotot dan senyum menyeringai yang memburamkan batasan mengerikan dan menyebalkan. Seolah satu-satunya cara untuk menyiratkan kesan psikopat seorang huruf hanya dengan seringai di bibir. Dangkal. 

Sejatinya ada beberapa adegan yang menunjukkan potensi Son Yong-ho. Salah satu yang terbaik yaitu pertarungan berdarah nan stylish di kamar mandi penjara. Tapi dari beberapa adegan potensialnya, Yong-ho terlihat hanya jago dalam sisi visual, bukan penceritaan. Dia tidak tahu bagaimana mengaplikasikan ide secara tepat, cara membangun emosi penonton, hal esensial dari revenge thriller, cara eksplorasi karakter, tidak tahu pula batasan antara realita dan over-the-top. Disatu sisi The Deal ingin menjadi hidangan kriminal realis penuh emosi. Tapi disisi lain sulit untuk menganggapnya serius dikala filmnya dipenuhi kebetulan demi menjalankan alur, pula huruf yang menyerupai tidak bisa mati meski sudah berulang kali tertabrak kendaraan beroda empat atay tertusuk pisau. Kebodohan lain? Yong-ho menciptakan Seung-hyun menyerupai hantu yang dalam sepersekian detik bisa mendadak hilang dari pandangan. The Deal adalah thriller yang tidak menciptakan saya membenci sang pembunuh, tapi kebodohan filmnya.

Belum ada Komentar untuk "The Deal (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel