A Pigeon Sat On A Branch Reflecting On Existence (2014)

Judul panjang film ini diambil oleh sang sutradara Roy Andersson dari lukisan The Hunters in the Snow karya Pieter Bruegel the Elder. Lukisan tersebut menggambarkan kawasan pedesaan pada trend salju dengan beberapa burung tengah bertengger di pepohonan. Andersson membayangkan bahwa burung-burung itu sedang mengamati orang-orang di bawahnya dan berpikir apa yang sedang mereka lakukan. Film yang menjadi epilog trilogi "living" milik Andersson sekaligus perwakilan Swedia dalam ajang Oscar tahun depan ini memang bertutur ihwal perenungan tersebut. Momen dimana seseorang membisu termenung sambil bertanya dalam hati "apa yang sesungguhnya saya lakukan?" Kita semua pernah melaksanakan itu. Lamunan dipenuhi melankoli berupa pertanyaan mengenai keberadaan diri kita. A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence tidak hanya mereka ulang tragedi itu tapi memunculkan ulang suasana yang tercipta dalam perenungan melankolis.

Film ini terbagi dalam beberapa bagan pendek berisikan bermacam aksara dan situasi berbeda. Karakternya mempunyai profesi serta melaksanakan aktivitas berlainan namun mengesankan hal serupa. Wajah mereka nampak pucat (lewat make-up putih tebal), mulut datar, hingga pergerakan minim. Sekalinya mereka bergerak atau berjalan terlihat menyerupai slow motion. Begitu cara Roy Andersson menggambarkan sisi melankolis. Dengan begitu kita bisa mencicipi bagaimana dominan karakternya bagai tanpa semangat hidup jawaban terjebak dalam kebingungan eksistensi. Dari banyak aksara dalam tiap bagan yang lewat banyak sekali cara bisa berkaitan satu sama lain, sosok Jonathan (Holger Andersson) dan Sam (Nils Westblom) punya porsi paling besar. Keduanya ialah sales mainan yang tiap hari berkeliling memperlihatkan barang.

Jonathan dan Sam menyebut pekerjaan mereka sebagai "bisnis hiburan" alasannya tujuan utamanya ialah menghibur orang-orang biar berbahagia. Tapi terdapat ketidaksesuaian antara tujuan dengan keduanya selaku penggagas tujuan. Berharap menyebar kebahagiaan, mereka justru jauh dari perasaan tersebut. Jonathan ialah laki-laki cengeng yang sering tiba-tiba menangis, sedangkan Sam sering bertindak bernafsu pada rekannya tersebut. Tidak pernah sekalipun keduanya tersenyum termasuk dikala sedang memperlihatkan barang. Apa yang mereka jual pun jauh dari menghibur, malah cenderung mengerikan, menyerupai gigi vampir bertaring panjang, kantung tertawa (with devilish laugh), hingga topeng "paman bergigi satu" yang lebih cocok digunakan pembunuh berantai dalam film slasher. Bahkan dalam satu adegan seorang perempuan eksklusif berteriak histeris dan kabur begitu melihat Jonathan menggunakan topeng tersebut. 
Situasi yang dialami mereka berdua dan aksara lain memang menyedihkan, tapi Roy Andersson mengemasnya secara menggelikan. Film ini penuh adegan lucu yang mengingatkan saya bahwa definisi "lucu" tidak hanya berupa kejenakaan komedi. Hal-hal asing penuh ketidakwajaran dan ketidaksesuaian pun sering kita sebut sebagai "lucu". Kelucuan semacam itu akan memunculkan senyum atau tawa, tapi bukan didasari kebahagiaan melainkan ejekan. Roy Andersson mengaja penonton mentertawakan kesedihan yang menyelimuti karakternya lewat sajian tragicomedy. Bahkan pada bab awal, filmnya membawa kejenakaan dalam tiga situasi yang bersinggungan dengan maut. Sedangkan di akhir, kita diajak mentertawakan kekejaman insan (homo sapiens) terhadap binatang atau sesama manusia.  

A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence merupakan tontonan segmented. Tidak semua orang bisa mendapatkan absurditas surealisme yang dikemas begitu lambat dengan tone depresif tapi minim letupan emosi. Film ini memang sajian yang cuek dengan dominasi kesan artificial daripada realisme. Selain aksara yang lifeless, Andersson pun tidak menyusun pengadeganan senyata mungkin. Rumah hingga jalanan meski dibuat sesuai kehidupan faktual tetap dipenuhi kepalsuan. Karakternya menyerupai pion-pion dalam kotak kardus. Tapi semua itu sesuai dengan tema film yang menyoroti pertanyaan mengenai eksistensi. Seperti yang diungkapkan Friedirich Nietzsche, "manusia harus menyadari siapa dirinya dan apa yang ia inginkan biar bisa menyayangi kehidupan". Para tokoh film ini tidak menyayangi kehidupan, menyerupai mati alasannya tak menyadari apa yang mereka inginkan. Mereka terpenjarakan hingga tidak mempunyai kuasa akan kebebasan dirinya. 
Bergaung pula kalimat "L'existence précède l'essence" atau "eksistensi melebihi esensi" dari Jean-Paul Sartre. Berbagai tokoh menyerupai Jonathan dan Sam memahami esensi mereka lebih dulu sebagai penjual mainan yang harus menebarkan kebahagiaan bagi konsumen, tapi tidak menyadari keberadaan mereka terlebih dahulu. Siapa dan menyerupai apa diri mereka tidak pernah disadari. Dibalik eksistensi, ada serpihan-serpihan lain yang dimasukkan oleh Andersson guna menyempurnakan tema besar tersebut. Mulai dari cinta, interaksi sanak saudara, dongeng kemanusiaan, lost in time, hingga monarkisme. Pada jadinya semua itu tetap berujung pada sebuah pemikiran besar mengenai keberadaan manusia. Hal ini menerangkan kepiawaian sang sutradara dalam merangkum narasi yang meskipun abstrak tetap koheren. Andersson paham benar ihwal apa yang ingin ia sampaikan.

Rasa terasing dari emosinya memang membuat film ini tidak meninggalkan perenungan dalam diri saya layaknya sang merpati di dahan pohon. Tapi sebagai suatu penelusuran akan tema, A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence telah menjadi pemaparan yang tidak hanya mendalam namun juga original berkat gaya bertutur Andersson. Kamera selalu statis, tak pernah bergerak membuat kesan penonton tengah menyaksikan pertunjukkan panggung. Penggunaan setting berkesan artificial turut mengesankan hal itu, alasannya dalam pertunjukkan panggung macam teater, senyata apapun dekorasi yang hadir, kita tetap akan menyadari kepalsuannya. Terciptalah pengaruh alienasi ala-Brecht dimana penonton menyadari semua yang mereka saksikan hanya pertunjukkan, menjaga jarak pembauran mereka dengan materi tontonan. Dengan begitu sesudah tontonan usai penonton sanggup lebih kritis untuk mengkaji permasalahan yang tersaji. Suatu jarak yang justru melekatkan.


Belum ada Komentar untuk "A Pigeon Sat On A Branch Reflecting On Existence (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel