The Little Prince (2015)

Novelet The Little Prince karya Antoine de Saint-Exupery yang menjadi dasar pembiasaan film ini berada di urutan ketiga dalam daftar buku yang paling banyak dialih bahasakan di seluruh dunia (lebih dari 250 bahasa dan dialek, termasuk braille). Penjualan mencapai 140 juta eksemplar di seluruh dunia turut menempatkannya di urutan keempat daftar buku paling laku sepanjang masa. This isn't just a popular novella, it's a legendary one. Untuk pembiasaan filmnya, naskah yang ditulis oleh Irena Brignull dan Bob Persichetti melaksanakan sedikit perombakan dongeng dengan menambahkan aksara The Little Girl di samping The Aviator dan The Little Prince. Pertemuan pertama penonton dengan The Little Girl ialah ketika ia hendak melaksanakan sesi wawancara sebagai tes masuk ke Werth Academy, sebuah instansi pendidikan yang amat prestisius.

Namun timbul pertanyaan, apakah si gadis cilik memang berambisi masuk kesana, atau semua itu hanya obsesi sang ibu? Karena kita akan melihat bagaimana getolnya sang ibu mengatur puterinya tersebut. Disaat wawancara ia mendikte satu per satu balasan yang harus dilontarkan. Ketika puterinya itu gagal, sang ibu mulai menjalankan "rencana B". Rencana yang dimaksud ialah menerapkan jadwal berguru ketat selama liburan demam isu panas. Bahkan kapan dan berapa usang anaknya harus makan pun diatur. Si gadis cilik nampak menikmati semua itu, hingga ia bertemu dengan tetangganya, The Aviator. Sekilas nampak menyerupai seorang bau tanah asing dengan hobi memperbaiki pesawat di halaman belakangnya, beliau justru menjadi pembuka jalan bagi si gadis cilik untuk kebahagiaan penuh imaji dalam kehidupan belum dewasa yang telah usang terlupakan. Semua itu dijembatani oleh sebuah buku berjudul "The Little Prince yang ia tulis menurut pengalaman langsung ketika pesawatnya terjatuh di Gurun Sahara dulu.

Filmnya menambahkan sosok The Little Girl dalam narasi biar lebih gampang mengikat penonton dengan kisah yang lebih relevan. Seorang anak yang jalan hidupnya diatur oleh orang tuanya memang masih (dan akan selalu) marak terjadi. Lebih gampang menaruh tenggang rasa pada karakternya, alasannya lebih banyak didominasi dari kita sebagai penonton pernah berada dalam kondisi serupa. Seperti si gadis cilik, saya dibentuk geram pada sang ibu yang control freak sambil berharap gadis itu sanggup segera merobohkan "tembok penjara" yang mengekangnya. Tapi disaat bersamaan keputusan tersebut menghadirkan sisi klise sekaligus menurunkan kadar magis dari sumber adaptasinya. Kisah The Aviator dan The Little Prince bukan lagi fokus utama, which is more magical and subtle than a little girl trying to break free over her mother's control
Semakin pointless karena sejatinya petualangan The Aviator dan The Little Prince sudah dipenuhi kritik yang relevan hingga ketika ini menyerupai ketamakan, kesombongan dan kekuasaan yang mendominasi insan terpelajar balig cukup akal (disimbolkan oleh tiga sosok yang tinggal di tiga asteroid berbeda), situasi dunia pendidikan, hingga romansa sang pangeran dan bunga mawar. Hanya saja semua itu memang terlalu metaforik hingga membutuhkan perjuangan ekstra biar sanggup dicerna penonton. Makara meski menurunkan sihir narasi bukunya, keputusan merubah dongeng tidak sepenuhnya patut dipersalahkan. Lagipula kisah suplemen itu tetap mempunyai ikatan pada tema yang coba disampaikan meski beberapa menit awal yang dragging. Dampak secara emosional pun masih begitu kuat, khususnya ketika aksara utamanya mulai mendobrak segala batasan dan terbang melayang pada petualangan berisikan imaji liar belum dewasa yang dipenuhi harap. Menyentuh tanpa harus berlebihan mengharu biru. Jika tidak mencicipi itu, mungkin saja anda menyerupai aksara terpelajar balig cukup akal dalam film ini yang telah terhanyut dalam rutinitas fana repetitif nan materialis.
Bukan hanya dongeng belaka yang membantu dinamika emosi. Perpaduan antara visual dan scoring-nya turut menghadirkan itu. Animasi 3D sebagai penggambaran "dunia nyata" memang tidak spesial. Tentunya jauh jikalau dibandingkan milik rumah produksi besar macam Pixar atau DreamWorks. Namun ketika setting berpindah ke visulisasi buku yang dikemas memakai teknik stop-motion, sulit untuk menolak pesonanya. When Sahara dessert look amazingly beautiful, you know you're watching something special. Visualnya bukan sekedar indah, tapi juga representasi tepat dari dunia penuh mimpi selaku setting. Begitu pula musik gubahan Hans Zimmer dan Richard Harvey. Mungkin ini merupakan scoring paling menyegarkan dari Zimmer meski harus membuatkan kredit dengan Harvey. Tidak ada dentuman kencang atau orkestra megah. Sangat sederhana namun menggetarkan. Terdengar menyerupai para malaikat tengah bernyanyi dan memainkan instrumen dari surga.

The Little Prince jelas bukan tontonan bagi anak-anak. Bahkan untuk orang terpelajar balig cukup akal sekalipun, narasi rumit penuh metafora dan unsur filosofis bakal memperlihatkan tantangan lebih. Tapi serupa karya-karya Pixar, tema yang lebih mature akan memberi kesan lebih pada penonton dewasa. Bukan mustahil pula para orang bau tanah akan "tertampar" oleh bagaimana filmnya bercerita. The Little Prince tidak mengajak untuk terus menjadi anak-anak. Justru sebaliknya ini ialah kisah pendewasaan, coming-of-age story. Hanya saja terpelajar balig cukup akal bukan berarti karam dalam rasionalitas berlebih dan jadinya melupakan kemurnian serta mimpi penuh warna masa kecil yang sejatinya penuh pembelajaran. Dewasa berarti lebih matang untuk menghadapi banyak sekali hal termasuk simpulan hidup (ya, film ini berani masuk ke ranah kelam tersebut). A heartful story presented with a breathtaking visual. What a beauty!

Belum ada Komentar untuk "The Little Prince (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel