Goodnight Mommy (2014)

Disaat negara lain mengirimkan drama arthouse atau film bersifat kultural, mengapa Austria justru mengakibatkan horor sebagai perwakilan mereka untuk Oscar tahun depan? Sebegitu kekurangan film baguskah negara itu? Bukan bermaksud memandang horor dengan sebelah mata, tapi genre satu ini terang bukan "primadona" Oscar. Goodnight Mommy diawali dengan penampilan paduan bunyi menyanyikan Brahms' Lullaby. Kemasan old footage membuat lagu syahdu tersebut terdengar mengerikan. Seolah memberi petunjuk akan hal-hal twisted yang telah menanti. Kita kemudian diperkenalkan pada sepasang anak kembar, Elias (Elias Schwarz) dan Lukas (Lukas Schwarz). Seperti belum dewasa pada umumnya, mereka tengah bermain penuh kegembiraan. Begitu pulang ke rumah, mereka terkejut melihat sang ibu (Susanne Wuest) yang wajahnya terbungkus perban.


Sama menyerupai si kembar, impresi pertama saya terhadap ibu mereka meninggalkan rasa terkejut dan ngeri. Sosoknya mengingatkan pada Elena Anaya di The Skin I Live In, hanya lebih memancarkan aura creepy. Elias dan Lukas pun mendapati perubahan dalam perilaku sang ibu. Dia tidak lagi berkomunikasi dengan Lukas, seolah menganggap anaknya itu tidak ada. Semenjak pertama kali hal itu ditampilkan saya yakin banyak penonton sudah sanggup menebak kebenaran yang disembunyikan. Tapi duo sutradara Veronika Franz dan Severin Fiala (keduanya juga menulis naskah film ini) memang tidak berniat mengakibatkan itu sebagai twist. Mereka niscaya sadar bagi dominan penonton sekarang, twist semacam itu tidak lagi mengejutkan. Petunjuk yang disebar terlalu obvious untuk sanggup disebut sebagai misteri. Tidak problem jikalau penonton sudah sanggup menebak dari awal, meski tetap akan ada segelintir yang tercengang.
Goodnight Mommy menawarkan lebih banyak poin daripada sekedar kejutan. Filmnya menyerupai drama arthouse tentang disfungsi keluarga dengan alur yang bergerak lambat. Berstatus sebagai horor, kengerian eksplisit gres hadir dalam 30 menit terakhir. Satu jam pertama yaitu building tension supaya penonton sanggup terjerat kala kegilaan dilepaskan pada klimaks. Walaupun tidak ada kengerian eksplisit, suasana unnerving terasa menyelimuti ketika kita melihat bagaimana sang ibu memperlakukan anaknya. Elias beberapa kali menerima kekerasan baik secara fisik maupun psikis lewat aneka macam intimidasi. Dia dikurung dalam kamar, tidak boleh berkomunikasi dengan Lukas, serta diharuskan bermain di luar rumah untuk menjaga ketenangan. Akibat perlakuan tersebut, Elias dan Lukas mulai curiga bahwa perempuan itu bukanlah ibu mereka yang sebenarnya.

Pada beberapa kesempatan, keduanya juga tidak tinggal membisu dan melaksanakan pembalasan denda pada sang ibu. Dari situ pula serpihan-serpihan horor turut diselipkan pada masa pembangunan tensi. Banyak twisted moment sesekali muncul dengan adegan yang melibatkan kucing dan akuarium sebagai kegilaan terbesar. Interaksi tak masuk akal antara ibu dan anak tersebut menyiratkan belakang layar kelam dari peristiwa masa lalu. Tragedi macam apa tak pernah dipaparkan secara detail, tapi cukup untuk menciptakan filmnya bergerak menuju ranah horor psikologis dengan kompleksitas karakter. Sayangnya sebagai sajian psikologis Goodnight Mommy tidak memperlihatkan eksplorasi mendalam. Saya mengerti motivasi karakternya, tapi tidak diajak menyelami lebih jauh untuk menerima pemahaman. Veronika Franz dan Severin Fiala hanya meninggalkan penonton pada tataran permukaan belaka.
Setengah jam terakhir yaitu ketika dimana film ini bergerak menuju titik puncak kegilaan. Psychological horror yang berpijak pada atmosfer perlahan ditinggalkan untuk menginjakkan kaki di ranah torture porn penuh kekerasan. Esensial atau tidak kekerasan tersebut memang patut dipertanyakan, tapi terang efektif menciptakan penonton berteriak sambil sesekali menutup mata. Unsur kekerasan tidak over the top, tapi begitu menyakitkan dan rasa ngilu pun hadir seketika. Dihadirkan secara eksplisit di tengah pencahayaan terang tanpa perlu bergela-gelap layaknya horor kebanyakan. Justu dari situ penonton akan mencicipi sakit yang lebih berpengaruh alasannya menyaksikan semuanya secara jelas. Semakin menyakitkan alasannya kita tahu huruf yang terlibat yaitu ibu dan anak. Horor pun menjadi efektif berkat rasa miris hasil drama menyedihkan akhir kegagalan menghadapi peristiwa masa lalu.

Tidak peduli apakah anda sanggup menikmati satu jam pertama yang lambat atau tidak, klimaksnya membayar lunas semua itu. Goodnight Mommy adalah film sakit wacana huruf yang sakit pula. Walau niatan untuk menyajikan drama keluarga kelam tidak sepenuhnya berhasil, sebagai horor, kengeriannya menyengat berpengaruh secara perlahan sekaligus dipenuhi creepy visual imagery.

Belum ada Komentar untuk "Goodnight Mommy (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel