Amour Fou (2014)

Aspek kultural pada film period drama membuat mannerism wajib diperhatikan. Karakternya penuh sopan santun, hasrat dipendam, tingkah laris dijaga sebaik mungkin. Mayoritas kisahnya bertemakan ihwal cinta dengan tutur bahasa puitis. Realita pada masa itu menganggap bahwa sopan santun akan menciptakan seseorang lebih terhormat, lebih cerdas, dan membuktikan strata sosial tinggi. Golongan darah biru mencari hiburan lewat pertunjukkan piano atau menari waltz. Semua halnya begitu tertata, dihentikan ada hal menyimpang sedikitpun. Secara personal sulit bagi saya menyukai period drama. Saya merasa terkekang, tidak sabar dengan segala kesopanan tersebut. Amour Fou garapan sutradara Jessica Hausner sekilas tidak jauh beda. Tapi film ini sebetulnya berusaha mentertawakan kepalsuan budaya mannerism tersebut.
Karakter-karakternya termasuk Henriette Vogel (Birte Schnoink) bersikap persis ibarat penggambaran di atas. Dari luar mereka yaitu orang-orang kaya, cerdas, terhormat, dan mempunyai segala kebaikan, sesuai dengan tujuan dari penerapan kultur tersebut. Tapi apakah segala tampak luar itu merupakan kenyataan? Ataukah sekedar kepalsuan belaka? Para kaum borjuis di beberapa kesempatan nampak duduk bersama membicarakan dampak dari revolusi Prancis yang gres terjadi. Saat itu tengah diwacanakan penarikan pajak bagi semua kalangan. Ada kecemasan tersirat bahwa revolusi tersebut bakal membawa kebebasan tak terkontrol yang mengancam mereka. Tapi Jessica Hausner tidak mengemas pembicaraan itu dengan tone politikal serius. Argumen yang dilontarkan dangkal, namun mereka mengungkapkannya secara serius. Akhirnya pembicaraan itu terkesan menggelikan. Kita diajak mentertawakan mereka.

Comedy of manners, begitulah film semacam ini disebut. Komedi satir yang ditujukan sebagai kritik terhadap mannerism. Hal itu nampak terang pada karakterisasi Heinrich von Kleist (Christian Friedel), seorang penulis puisi yang memandang hidup secara begitu negatif. Dia merasa hidupnya tak berharga, selalu bernasib buruk, dan terobsesi akan kematian. Tapi Heinrich tidak ingin mati sendirian. Bagai seorang fanatik akan romansa-tragedi, Heinrich ingin mati bersama orang yang beliau cintai (juga menyayangi dirinya). Karena itu ia terus memaksa Marie (Sandra Huller) untuk bersedia bunuh diri bersamanya. Bagi Heinrich, kalau Marie memang mencintainya, maka ia akan bersedia membahagiakan Heinrich, dimana sumber kebahagiaan Heinrich yaitu mati bersama Marie. Tentu sang perempuan menolak. Dikarenakan prinsip "jika cinta ditolak maka cinta itu akan mati seketika", Heinrich pun berpaling pada Henriette yang telah mempunyai suami dan anak. Awalnya Henriette juga menolak, tapi sehabis divonis umurnya takkan usang tanggapan tumor, ia mulai tertarik pada sang penulis puisi.
Karakter yang muncul termasuk Heinrich dan Henriette terkesan one-dimensional. Jarang memunculkan letupan emosi, dan motivasi perbuatan mereka hanya "itu-itu" saja. Tapi kesan itu memang sengaja dimunculkan. Jika karakternya nampak bodoh, itu sebab Jessica Hausner ingin menciptakan penonton mentertawakan mereka. Heinrich hanya ingin mati, dan ia secara bergantian memohon pada Henriette dan Marie. Jika salah satu menolak, ia berpindah ke yang lain sambil berkata "kamulah segalanya", begitu seterusnya. Heinrich bukan playboy. Dia hanya bodoh, penuh ketidakpastian. Inkonsistensi bukan hanya milik Heinrich seorang. Henriette sama saja. Dia seolah ingin mati sebab memang divonis hidupnya tak usang lagi. Tapi kalau ada kabar bahwa penyakitnya tidak parah, keputusannya ikut berubah. Kondisi kesehatan Henriette pun tidak jelas. Dokter tak pernah yakin apa ia memang sakit atau hanya nervous disorder. Amour Fou memang penuh ketidakpastian, sesuai dengan situasi Jerman dikala itu sebagai dampak revolusi Prancis.

Alur berjalan lambat dengan huruf yang terasa lifeless. Lagi-lagi ini kesengajaan Jessica Hausner untuk memperkuat sindirannya. Karakternya penuh kepalsuan, dengan tokoh utama yang selalu ingin mati. Tidak heran kalau suasana tidak hidup. Hal itu didukung oleh sinematografi dan art direction-nya. Penonton bagai sedang melihat lukisan masa renaisans milik Johannes Vermeer misalkan. Kameranya statis, tidak pernah bergerak menangkap setting penuh dinding berwarna terang, lantai dengan banyak sekali macam ornamen, juga barang-barang "penghias" ibarat lukisan, lilin atau piano. Saya ibarat diajak memasuki museum, memandangi satu per satu lukisan yang tergantung di dinding. 
Karakternya pun tidak banyak bergerak. Mayoritas hanya duduk atau bangun sambil sesekali melaksanakan gestur kecil. Gerakan paling besar hanya terjadi dikala adegan menari waltz. Visualnya indah, ditambah dengan penggunaan framing di beberapa adegan. Tapi bukan style over substance yang nampak. Semua makhluk hidup termasuk insan di dalam lukisan terang tak bernyawa. Orang-orang dalam film ini terasa ibarat itu di tengah topeng kepalsuan yang dikenakan. Dalam suatu adegan, Henriette berkata bahwa ia merasa ibarat boneka panggung yang digerakkan orang lain. Kalimat tersebut mengatakan tidak adanya kebebasan dalam hidup Henriette. Sebab itu ia tidak merasa hidup dan terpengaruhi oleh permintaan Heinrich untuk mati bersamanya. 

Bagi penonton ibarat saya yang tak pernah cocok dengan budaya mannerism, film ini terasa menyenangkan. Tapi patut ditekankan bahwa Amour Fou adalah satir, sebuah comedy of manners yang menghadirkan kelucuan secara subtil. Melewatkan ketersiratannya akan menciptakan film ini nampak hanya ibarat drama lambat nan kosong minim emosi dengan huruf kolot yang mengesalkan sebab inkonsistensi tindakan serta obsesinya terhadap kematian. Amour Fou menyajikan kritik menggelitik terhadap pemujaan sopan santun yang hanya mementingkan tampak luar namun justru mengekang batin di dalam. Bahkan disaat peristiwa muncul, film ini tetap punya cara untuk menyajikan kelucuan. Saya jatuh cinta pada visualnya.. I love it very much!

Belum ada Komentar untuk "Amour Fou (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel