Far From The Madding Crowd (2015)

Saat ini feminisme tengah menjadi pergerakan yang begitu berpengaruh dan masif. Entah laki-laki maupun perempuan sama-sama menyuarakan kejengahan mereka atas penindasan dan minimnya kesetaraan hak yang dimiliki kaum hawa. Diantara mereka ada yang bersikap sosialis, namun tidak jarang pula yang radikal. Para radikal banyak mengambil tindakan ekstrim dalam mengutarakan bunyi mereka. Bahkan terjadi kasus dimana seorang feminis menggugurkan kandungannya sehabis tahu sang calon bayi berkelamin laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai predator seksual dan menciptakan mereka merasa jijik untuk sekedar jatuh cinta apalagi berafiliasi seks. Jatuh cinta pada laki-laki layaknya masuk dalam perangkap, bukti kelemahan. Tapi benarkah kesendirian merupakan pilihan terbaik bila ingin menjadi langsung yang kuat?

Far from the Madding Crowd merupakan pembiasaan dari novel berjudul sama karangan Thomas Hardy. Novel tersebut diterbitkn tahun 1874. Kita tahu niscaya bagaimana posisi perempuan di masa itu. Emansipasi masih jauh dari angan-angan, dan ijab kabul akan menciptakan mereka tidak lebih dari sekedar properti milik sang suami. Tapi dari masa itu hadirlah kisah wacana Bathsheba Everdene (Carey Mulligan) ini. Adegan pembukanya sudah menuturkan secara terang menyerupai apa sosok abjad utamanya. Bathsheba berujar bahwa kehidupan keras tanpa orang renta telah membuatnya mandiri, bahkan terlalu berdikari bagi sebagian orang. Bathsheba tidak segan berkuda sendirian di tengah hutan, atau bekerja keras di ladang. Dia ingin bebas, dan merasa ijab kabul bukan jalan yang sempurna baginya. Maka dikala seorang peternak domba berjulukan Gabriel Oak (Mattias Schoenaerts) tiba melamar, Bathsheba menolak meski tidak pula menyangkal perasaan cinta.

Kita tidak tahu niscaya perasaan masing-masing. Gabriel boleh berkata selamanya akan tetap menyayangi Bathsheba dan menjanjikan beberapa hal materil pula. Tapi tidak ada jaminan itu perasaan tulus. Begitu pula dan Bathsheba yang penolakannya dipenuhi ketidakpastian. Apakah ia memang tidak menyayangi Gabriel? Atau semata-mata alasannya ialah rasa takut kebebasannya terkekang oleh pernikahan? Karena itu baik simpati, iba, atau perasaan apapun belum saya rasakan. Filmnya memang masih ingin berjalan mempertunjukkan banyak hal, menyerupai perputaran roda nasib yang menimpa keduanya secara bersamaan. Warisan sang paman berupa sebuah peternakan menciptakan Bathsheba menjadi orang kaya. Sebaliknya, sebuah kecelakaan tragis menciptakan Gabriel kehilangan seluruh dombanya. Sutradara Thomas Vinterberg menyajikan adegan tersebut lewat visual yang memadukan keindahan bersama horor dan kesedihan. Memang rasa kontradiktif yang ironis. Sama ironisnya dengan perbedaan nasib dua tokoh utama.
Gabriel menentukan pergi berkelana tanpa uang dan daerah tinggal. Hingga suatu malam ia menemui sebuah peternakan yang mengalami kebakaran. Gabriel menolong orang-orang memadamkan kebakaran sebelum api melahap habis semua benda. Secara mengejutkan, pemilik peternakan itu ialah Bathsheba yang hasilnya menawari Gabriel pekerjaan disana. Dari poin inilah penonton mulai diarahkan untuk bersimpati pada Gabriel. Dia tidak punya pilihan selain mendapatkan anjuran pekerjaan tersebut walau hatinya pastilah kalut harus menjadi bawahan dari perempuan yang pernah menolak lamarannya. Gabriel masih menyayangi Bathsheba tapi menyadari tidak dalam posisi yang cocok untuk berharap. Dia hanya berusaha terus menyokong perempuan yang ia cintai biar bisa melalui banyak sekali rintangan. Bahkan ketika secara berurutan tiba dua laki-laki lain yang secara notabene jauh lebih kaya dan terpandang, Gabriel tetap menemani Bathsheba tanpa sekalipun memaksakan cintanya.

Far from the Madding Crowd adalah kisah wacana mereka yang merasa patah hati sambil disaat bersamaan menyoroti Bathsheba sebagai perempuan tangguh yang ingin bebas. Sebagai kisah patah hati, film ini berhasil menciptakan saya menaruh simpati pada abjad yang tersiksa alasannya ialah hal tersebut. Saat seorang darah biru berjulukan William Boldwood (Michael Sheen) mulai memperlihatkan cintanya pada Batsheba saya memihak Gabriel. Tapi begitu tiba laki-laki ketiga yang secara otomatis turut menyakiti perasaan Boldwood, saya pun mengasihani dia. Tendensi menciptakan penonton memihak pada mereka yang tersakiti terbukti ampun mempermainkan dinamika emosi. Sayang, bicara problem emosi, Thomas Vinterberg terlalu terburu-buru dalam menghantarkan klimaksnya. Padahal terdapat potensi pergolakan emosiona luar biasa pada momen tersebut. Kesan terburu-buru mengakibatkan impact secara emosional tidak mencapai puncak menyerupai seharusnya.
Terdapat aspek menarik pada penggambaran laki-laki dan perempuan dalam film ini. Ketiga laki-laki sebagai love interest Bathsheba dieksploitasi kelemahannya. Pria yang biasanya mayoritas justru bisa dibentuk tunduk alasannya ialah cintanya. Ada yang rela berkorban, ada yang terus berjuang, ada pula yang tak pernah bisa melupakan cinta masa lalunya. Bahkan Sersan Frank Troy (Tom Sturridge) yang digambarkan semena-mena pun akan menjadi lemah dikala dihadapkan pada Fanny Robin (Juno Temple) yang begitu ia cintai. Sedangkan sisi perempuan diwakili Bathsheba. Dia tangguh, bisa memimpin sebuah peternakan besar, dan menciptakan laki-laki tunduk padanya. Setelah kukuh tidak ingin menikah di awal, Bathsheba memang sempat dibutakan oleh cinta yang menciptakan nyaris kehilangan segalanya. Tapi apakah ia menjadi apatis? Tidak. Karena ia sadar kesalahan bukan terdapat pada cinta, tapi pada "kebutaannya" sendiri. Carey Mulligan piawai menampilkan dua sisi karakternya. Terpancar ketangguhan dalam tiap ketegasan tindakan, namun ada pula kerapuhan akhir dilema rasa. 

Far from the Madding Crowd menjadi kisah klasik yang masih tetap relevan dan patut ditengok alasannya ialah pemaparannya akan interaksi seorang perempuan berdikari dengan cinta terhadap pria. Film ini berbasis pada kisah yang dibentuk serta ber-setting pada masa dimana perempuan belum punya posisi sekuat sekarang. Kenapa kisah yang hadir pada kala semacam itu punya pernyataan yang jauh lebih baik wacana gosip gender daripada kini yang seharusnya sudah lebih "terbuka"? Karena ceritanya tulus, bukan semata-mata "latah" biar nampak sebagai seorang "pejuang kemerdekaan".

Pada konklusinya, Bathsheba sang perempuan tangguh pun menyadari bahwa cinta tidaklah destruktif. Dia tetap bisa berjalan maju sebagai sosok yang berpengaruh meski hasilnya "mengalah" akan perasaannya. Karena ia sadar akan kebutuhannya terhadap sosok pendukung. Menjadi tangguh bukan berarti tidak membutuhkan orang lain, sama dengan menjadi perempuan berpengaruh yang bukan berarti tidak membutuhkan laki-laki dalam hidupnya. Berbalut sinematografi indah dari Charlotte Bruus Christensen yang penuh landscape tanah lapang hijau serta percampuran orange dan ungu di langit senja, film ini menawarkan romansa membuai sembari diselipi eksplorasi tugas gender memikat. "Far from the Madding Crowd" will break and melt your heart at the same time.

Belum ada Komentar untuk "Far From The Madding Crowd (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel