The Brothers Grimsby (2016)

Kita semua pernah menyesal akhir menertawakan suatu hal/peristiwa yang dirasa semestinya tak layak ditertawakan, melihat teman terjatuh dan kesakitan misalnya. You felt horrible for laughing, but you just couldn't help it...because it was too damn funny. Perasaan serupa saya rasakan ketika menonton The Brothers Grimsby, film terbaru Sacha Baron Cohen dengan tonggak penyutradaraan dipegang Louis Leterrier (The Incredible Hulk, Clash of the Titans, Now You See Me). Semenjak kesuksesan Borat 10 tahun lalu, Cohen telah menulis naskah bagi tiga film termasuk film ini, di mana ketiganya menegaskan transformasi karya Cohen dari satir shocking cerdas menuju pure shocking dengan satir makin memudar sebatas sampul depan. 

Dibuat kolam kulminasi upayanya mengejutkan penonton, dalam The Brothers Grimsby (or simply 'Grimsby' in UK) Cohen memerankan Nobby, hooligan bodoh, mesum, and totally irresponsible parent with 11 childrens  di satu scene ia meminta anaknya yang masih kecil berhenti merokok dan beralih vaping. Menengok tingkah kurang asuh plus gaya rambutnya, gampang berasumsi jikalau karakternya didasari Liam Gallagher (salah satu joke turut menyinggung Liam). Selama 28 tahun, Nobby setia menanti kepulangan adiknya, Coddy a.k.a. Sebastian Graves (Mark Stron) yang tanpa diduga sekarang telah menjadi distributor MI6. Berpatok pada formula buddy comedy, tentu saja Coddy punya kepribadian berlawanan dengan Nobby: distributor handal yang hening dan serius melakukan misi. Keduanya kembali bertemu tatkala Coddy berada dalam sebuah misi, kemudian gampang diduga kekacauan demi kekacauan eksklusif tumpah ruah.
Dasarnya, The Brothers Grimsby adalah parodi bagi film-film jasus sekaligus satir mengenai banyak sekali sisi kultural Inggris khususnya hooligan, but Cohen really wants to push the boundaries with this movieBegitu ekstrim, hingga unsur satir nyaris hilang tanpa sisa  even less-satire and more stupid than 'The Dictator'. Saya yakin bakal banyak penonton mendapati deretan leluconnya menjijikkan bahkan ofensif daripada lucu. Tapi Cohen sadar betul bahwa tidak sedikit pula orang akan terhibur kala mendapati adegan-adegan dengan tingkat kegilaan tak terbayangkan, tidak keberatan menertawakan hal-hal jorok pula idiot. Untuk kalangan semacam itulah Cohen menciptakan film ini, and forgive me God, I'm one of them.

Komedi seks yaitu hal biasa, dan jujur saja semakin repetitif, menurunkan kadar kelucuannya. Namun lain dongeng apabila komedi tersebut menampilkan testikel Mark Strong melekat di wajah Sacha Baron Cohen atau keduanya terperangkap dalam vagina gajah betina yang tengah berafiliasi seks. Semakin aneh di saat Louis Leterrier tidak ragu memvisualisasikannya secara gamblang. Di situlah letak kelucuan film ini, ketika momen sinting tak terduga terhampar di layar. The crazier it gets, the funnier. Namun paling berpotensi mencipta kontroversi yaitu momen "Harry Potter gets AIDS" yang demi menghindari spoiler takkan saya jabarkan. Itulah ketika saya merasa bersalah, alasannya yaitu terang banyolan itu (dan lainnya) ofensif, and forgive me God, I laughed.
Di luar kesintingan-kesintingan tersebut, sejatinya The Brothers Grimsby kurang maksimal sebagai buddy comedy. Cohen melakoni tugas bodohnya penuh totalitas, begitu pula Mark Strong lewat deadpan comedy-nya. Tapi kombinasi keduanya urung menghantarkan interaksi renyah hasil banter dua protagonis dengan kepribadian berlawanan. Alasannya, naskah garapan Cohen bersama Phil Johnston tak memberi waktu memadahi bagi keduanya untuk sering bertukar line. Mereka kerap terjebak dalam situasi lucu berdua, tapi kelucuan lebih dikarenakan situasi atau kegilaan ketimbang kombinasi Nobby-Coddy. Sentuhan drama abang beradik pun sekedar tempelan walau Mark Strong bisa menyuntikkan sisi melankoli melalui mulut ketika mengenang kepahitan masa lalunya.

Berjalan hanya selama kurang lebih 80 menit, The Brothers Grimsby berjalan dinamis berbalut pacing kokoh dari Louis Leterrier. Ditambah lagi sewaktu komedinya menepi guna berganti ke arah geberan aksi, Leterrier mampu mengemas hiburan solid, khususnya pada pemakaian kamera first person. Suka atau tidak, harus diakui ini merupakan komedi menjijikkan, tidak sensitif, dan hanya ingin menampilkan kegilaan sebanyak mungkin tanpa filter sedikitpun. But is it funny? Yes it is. In fact, for me 'The Brothes Grimsby' is one of the funniest movie of the year so far. Ditambah lagi balutan lagu-lagu macam Parklife milik Blur atau Cigarettes and Alcohol-nya Oasis sukses menciptakan pecinta Britpop seperti saya kegirangan. This is the limit though. Menggila lebih dari ini, karya Sacha Baron Cohen berikutnya berpotensi jatuh akhir terlalu memaksakan diri. But for now let's enjoy this craziness. Once again, forgive me God, I like this movie.

Belum ada Komentar untuk "The Brothers Grimsby (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel