The Lego Batman Movie (2017)

Dark, brooding, and gritty. Kita mengenal Batman dengan citra tersebut. Wajar dan masuk logika mengingat sang kesatria kegelapan beraksi berbekal modus operandi menebarkan ketakutan bagi penjahat. Namun jangan lupa bahwa waktu mempengaruhi perspektif publik terhadap karya. Perlu diketahui sempat datang masa tatkala Batman mencapai puncak popularitas bersenjatakan nuansa campy pada era Silver Age komik (1960-an) dikarenakan masyarakat haus akan hiburan selaku escapism. Sekarang, pasca trilogi milik Nolan dan obsesi Warner Bros pada tone kelam untuk DCEU makin memuakkan, film Batman yang menyenangkan kembali diharapkan sebagai penyegaran. 

Tokoh Batman dalam "The Lego Movie" tiga tahun kemudian amat mencuri perhatian, sehingga perilisan spin-off "The Lego Batman Movie" ialah langkah logis. Batman di sini masih pahlawan pujaan Gotham, menghabiskan malam menumpas agresi kejahatan Joker beserta puluhan villains bernama konyol lain (Condiment King, Polka-Dot Man, Egghead, Calendar Man). Tapi itu bukanlah permasalahan terbesar The Caped Crusader. Sebagaimana diketahui, Batman a.k.a. Bruce Wayne kehilangan orang bau tanah di masa kecil mendorongnya menjadi penyendiri, membuat stress berat akan kata "keluarga". Kini ia harus berguru menjadi ayah bagi Dick Grayson alias Robin dan berusaha mengesampingkan ego untuk bekerja sama dengan Barbara Gordon, komisaris gres kepolisian Gotham. 
Naskahnya digarap keroyokan oleh Seth Grahame-Smith, Chris McKenna, Erik Sommers, Jared Stern, dan John Whittington. Perlukah lima orang penulis mengerjakan satu animasi kental unsur komedi berdurasi hanya 104 menit? Menengok materi yang coba diangkat terang perlu. Serupa "The Lego Movie", rujukan budaya terkenal (WB, DCEU, Marvel, and many more) tumpah ruah mengisi porsi humor dan perlu banyak kepala guna menangani itu, belum lagi ditambah kewajiban mengawinkannya dengan kisah Batman. They have to make a good Batman movie and a good Lego movie at the same time. Hebatnya, "The Lego Batman Movie" sanggup melaksanakan kemustahilan itu.

Tidak perlu menunggu adegan pembuka, semenjak layar hitam pun olok-olok menggelitik telah dimulai, dilanjutkan lawakan (ala Cinemasins) soal logo-logo perusahaan yang terlampau panjang mengawali film. Selanjutnya gelak tawa dipancing tanpa henti berkat komedi cerdas nan tepat target yang demikian kaya menebar rujukan sehingga bakal lebih efektif bekerja bagi penonton dengan pengetahuan mencukupi soal pop culture dan Batman. Tapi jangan khawatir lantaran film ini tidak segmented. Sutradara Chris McKay memastikan humor universal-nya bekerja baik melalui visualisasi konyol serta penempatan timing sempurna. Beberapa pelesetan pandai (Puter, Mee-ouch, etc.) pun sanggup mengocok perut. Tawa saya meledak tiap kali filmnya bercanda, penurunan tensi beberapa menit kala menuturkan fase transformasi karir vigilante Batman (banyak materi telah digunakan di trailer) jadi amat sanggup dimaafkan. 
Film Batman versi mana pun selalu mengusung sedih Bruce kehilangan orang tua, perseteruan dengan Joker, hingga dilema warga Gotham menyikapi keberadaan sang pahlawan. "The Lego Batman Movie" punya semuanya, tetapi dihubungkan lewat tema kebersamaan dan keluarga. Komiknya mengenal istilah Bat Family (Batman, Robin, Nightwing, Red Hood, Batgirl, Red Robin, Duke Thomas, dan lain-lain). Walau disebut "family" Batman selalu melaksanakan hal sama, yakni menjauhkan mereka dalam kondisi bahaya. Film ini mengangkat info tersebut, menghadirkan eksplorasi huruf yang (surprisingly) mendalam di tengah segala kebodohan menyenangkan. Kita sanggup mencicipi alasan berpengaruh di balik tindakan Batman, kemudian mendapati prosesnya memahami pentingnya pemberian orang lain ketika filmnya jeli mempertanyakan "jika Batman begitu hebat, mengapa penjahat selalu lolos?".

Penggalian pandai terhadap love/hate relationship antara Batman dan Joker layaknya komedi-romantis twisted semakin membantah anggapan kisah kompleks khususnya dalam film superhero selalu bersinonim dengan suasana kelam, realistis, dan dewasa. Penggarapan drama yang tak main-main berujung terciptanya situasi langka di mana tawa dan haru berpadu. Saya tergelak dikala close-up menangkap perubahan ekspresi Joker mendengar "penolakan" Batman, namun di sisi lain perasaan getir ikut menusuk. Begitu pula sewaktu Robin (or should we call him Reggae-Man?) mencurahkan isi hati soal kesendirian tanpa keluarga. "The Lego Batman Movie" menegaskan bahwa penceritaan solid dan menjadi keren tidak harus melupakan bersenang-senang. Batman can be cool while having fun. 
Batman movie can be fun! Kegagalan "Batman & Robin" meninggalkan stress berat bagi DC dan Warner Bros, menjauhkan keduanya dari upaya menyuntikkan keceriaan dalam film si insan kelelawar. "The Lego Batman Movie" mestinya telah meruntuhkan ketakutan itu. Visual penuh warna plus desain huruf unik (memanfaatkan fakta kalau Batman dipenuhi villain berkostum aneh) masih berhasil menyegarkan mata, walau keriuhan luar biasa kerap berdampak pada shot demi shot penuh sesak hingga sulit memilah apa saja yang tengah muncul di layar. Di samping itu, walau dibuat dari Lego, detailnya mengesankan, semisal ukiran di topeng Batman yang terpampang jelas. Pilihan soundtrack-nya menyenangkan, bakal membuat anda terpengaruhi ingin menghentakkan kaki sekaligus ditempatkan tepat sesuai kebutuhkan kolam memberi pola pada "Suicide Squad" bagaimana menggunakan musik asyik tepat guna. 

"The Lego Batman Movie" sukses menggabungkan kreativitas dalam Lego, keramaian dan kelucuan animasi, sekaligus kesan epic sajian blockbuster. Klimaksnya jadi bukti kala pandai menyatukan aksi Batman menyelamatkan Gotham diiringi dentuman scoring Lorne Balfe dengan teknik bermain Lego selaku resolusi menggelitik. This is the funniest Batman movie since the 1966 version with Adam West as its titular character. Go watch this, and have a good movie time

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "The Lego Batman Movie (2017)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel