Boven Digoel (2017)
Kita acap kali mendengar dongeng mengenai sulitnya dokter atau petugas medis lain dalam memperkenalkan praktik pengobatan modern di tempat pedalaman Indonesia yang lebih percaya pada dukun serta kepercayaan mistis untuk menangani penyakit. Tidak jarang nyawa mereka terancam jawaban penolakan keras warga setempat, menyisakan problematika yang menarik dikulik seputar usaha pembiasaan adab tradisional dengan ilmu sains pula usaha melayani di tengah keterbatasan. Kisah serupa dialami John Manangsang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kala menjalani WKS (Wajib Kerja Sarjana) di Boven Digoel, Papua pada medio 90-an.
Salah satu yang paling diingat wacana John Manangsang ialah ketika ia terpaksa melaksanakan operasi sesar menggunakan silet, yang pernah diangkat oleh sutradara Henry W. Muabuay dalam "Silet di Belantara Digoel Papua", peraih film tempat terpilih ajang Piala Maya tahun 2015. Bermodalkan produksi lebih matang serta nama-nama besar menyerupai Joshua "JFlow" Matulessy, Christine Hakim, dan Edo Kondologit, "Boven Digoel" selaku debut penyutradaraan FX Purnomo ini tak lain usaha mengenalkan kisah dr. John Manangsang ke khalayak luas.
Terbukti, naskah hasil goresan pena FX Purnomo bersama Jujur Prananto ("Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara") menentukan pendekatan standar film biografi yang cukup umur ini digandrungi penonton tanah air menuturkan perjalanan hidup John Manangsang (Joshua Matulessy) dari kecil ketika bercita-cita menjadi pilot. Akibat ketidakmampuan secara finansial, John harus tekun berguru sembari membantu sang mama (Christine Hakim) bekerja sepulang sekolah. Namun disebabkan fisik kurang mencukupi ditambah prihatin menyaksikan sulitnya jalan masuk pelayanan kesehatan di Papua (banyak warga terlanjur meninggal di perjalanan menuju Rumah Sakit/puskesmas), John pun beralih ingin menjadi dokter.
Momen "operasi silet" ditempatkan selaku klimaks, di mana segala keterbatasan John, beberapa kasus, serta kemunculan Markus (Edo Kondologit) dibangun biar nantinya bermuara di bencana tersebut. Masalahnya, pilihan merangkai alur menggunakan template "from-zero-to-hero" nampak kurang tepat, terasa menyederhanakan pergulatan dokter di pedalaman. Menilik sekilas perjalanan John, sederet masalah sempat ia tangani, sebutlah pasien digigit ular berbisa, terkena panah, dan aneka macam kondisi lain yang identik dengan warga tempat terpencil. Semua itu urung dikupas, bahkan sewaktu John dan para perawat dituding mendatangkan sial (konflik sains kontra mistis) selesai begitu saja. Terlalu menggampangkan.
Sebagai biopic formulaik pun, "Boven Digoel" buru-buru ingin hingga ke titik John tiba di Digoel, meringkas usaha meraih gelar dokter. Filmnya berupaya menceritakan proses namun tak sabar mencapai fase puncak. Berasal dari keluarga miskin, kita tak tahu bagaimana ia mencukupi biaya kuliah kedokteran yang tinggi. Hanya lewat narasi "akhirnya saya berhasil" tiba-tiba pendidikannya usai, kembali ke Papua, tiba-tiba sudah beristri. Padahal jikalau hendak merangkum detail hidup sang tokoh (bukan satu momen tertentu), paparan tersebut substansial guna mengenalkan dan mendekatkannya dengan penonton. Naskahnya kebingungan menentukan fokus. Sempat hadir konflik kecil ketika Yvonne (Ira Damara) merasa sang suami sibuk membantu orang lain namun melupakan keluarga. Alih-alih memberi sentuhan personal justru terkesan dipaksakan lantaran tampil sambil lalu, tidak berdampak, urung pula diberi resolusi.
Berkat production value memadahi, aspek artistik lain "Boven Digoel" tergolong lumayan. Yudi Datau tahu bagaimana menangkap gambar-gambar cantik lewat sinematografinya, sedangkan musik garapan Thoersi Argeswara sedikit memberi nuansa tradisional setempat. Walau demikian, keduanya plus penyutradaraan FX Purnomo kurang piawai berkontribusi membangun tensi serta emosi. Paling kentara tentunya di third act seputar "operasi silet". Pasca membawa penonton menanti selama satu jam lebih, babak puncak itu dibawakan datar. Pemilihan musik, shot, serta permainan temponya tak memperhatikan pembangunan intensitas. Berlarut-larut memperlihatkan persiapan, tentu mengecewakan ketika gelaran puncaknya tak menggigit, kemudian melompat ke ending yang gagal memanfaatkan satu baris kalimat pedih yang puitis.
Bagai sebuah kebiasaan, Christine Hakim menghadirkan akting mumpuni, lancar melafalkan logat lokal dan (yang selalu menciptakan saya kagum) bagai efortless menyalurkan emosi mendalam, menyulap momen sederhana jadi penuh keintiman hangat. Walau harus diakui sekarang kiprah seorang ibu tegar dari keluarga kelas bawah sudah seringkali dimainkan sang legenda hidup. Joshua Matulessy menyerupai halnya di "Salawaku" lezat disaksikan penampilannya ketika menangani pembicaraan santai, tapi masih perlu mengasah diri menghadapi adegan dramatis (terlebih soal gestur) menyerupai ketika John bermimpi didatangi sang ibu di puskesmas.
Andai menggali lebih jauh mengenai ukiran budaya antara dokter dan warga lokal, bukan tidak mungkin "Boven Digoel" menjadi karya penting, bahkan bisa jadi materi referensi para calon dokter sebelum bertugas di remote area. Sayang, penyajian klise melucuti potensi tersebut. Bagi yang telah mengetahui kisah "operasi silet" pun filmnya urung memperlihatkan pemahaman baru, entah wacana sisi medis maupun tempat Boven Digoel sendiri.
Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics
Belum ada Komentar untuk "Boven Digoel (2017)"
Posting Komentar