Perfect Dream (2017)
Akhirnya muncul juga film lokal rilisan tahun 2017 yang berhasil memancing tawa lepas saya, memberi hiburan demikian menyenangkan. Bersama lima hingga enam penonton lain, perut kami dibentuk sakit, rahang kami pun kaku selama menyaksikan "Perfect Dream" karya sutradara Hestu Saputra ("Air Mata Surga", "Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar", "Cinta tapi Beda"). Terakhir kali film Indonesia sanggup konsisten menggelitik sepanjang durasi ialah "Cek Toko Sebelah" tiga bulan lalu, sehingga kehadiran film dengan empat orang penulis naskah (Hestu Saputra, Sinung Winahyoko, Nugi Apri, dan Syamsul Hadi) ini terasa menyegarkan. Tapi tunggu, rupanya "Perfect Dream" bukanlah film komedi.
Awalnya, film dikemas kolam tontonan heist saat Dibyo (Ferry Salim) dengan dandanan necis mendatangi dua bos besar, Marcell (Hengky Solaiman) dan Hartono (Qomar) untuk menyerahkan hasil curiannya: celana dalam selaku barang bukti tindak pelecehan seksual Hartono terhadap seorang bocah. Segala kemewahan hidup para sosialita memang menyempurnakan atmosfer heist movie. Ternyata saya salah duga. Pasca perkenalan Dibyo dengan Lisa (Wulan Guriton), puteri Marcell, kisahnya bergerak ke arah lain. Sebuah drama keluarga, sebuah drama seputar hidup sosialita dermawan, sebuah corporate drama, sebuah film kriminal, sebuah kisah kemiskinan hati di tengah kekayaan harta, sebuah...ah saya gagal memahami fokus utamanya.
Keempat penulis naskahnya berusaha mengaitkan bermacam-macam unsur tersebut tetapi tak ada yang sukses mencapai tujuan akhir. Sebagai drama keluarga, ikatan antar anggota keluarga urung digali, gagal membuat pergolakan emosi. Sebagai corporate drama, polemik bisnis Dibyo sekedar jadi latar. Kita hanya melihatnya sekali menyelundupkan mobil, kemudian tidak lagi dikupas apa bisnis gelapnya. Sebagai film kriminal, intrik Dibyo dan Hartono yang mendorong mereka saling serang jauh dari menarik. Terlebih sanksi selipan baku tembaknya clumsy. Paparan sisi lain sosialita pun dangkal. Segelintir program amal takkan membuat penonton percaya mereka bukan hanya orang berduit yang hobi pamer kekayaan, termasuk makan di rumah mengenakan gaun plus kalung mahal.
"Perfect Dreams" bagai berkhayal dirinya cerdas dan menyimpan bermacam-macam kritik sosial pula perenungan makna hidup. Kalimat-kalimat sok filosofis dari verbal tokohnya ketimbang memancing pemikiran justru terdengar nonsense, tidak natural, tidak mungkin terlontar dari verbal insan di kehidupan sehari-hari. Jika anda bertanya pada salah satu tokoh "apakah putus cinta menyakitkan?", besar kemungkinan mereka menjawab "rasa sakit membuat kita berkontemplasi, merenung, bertanya untuk apa kita diciptakan". Gemar pula tokoh film ini menggunakan metafora, semisal kala Rina (Olga Lidya) mengibaratkan cinta pada dua perempuan dengan menghisap dua cerutu.
Beberapa kritik bukan saja gagal menusuk dan dipaksakan masuk, juga inkonsisten. Contohnya sewaktu Rachel (Poppy Sovia), gadis dengan poster band-band beraliran "keras" terpampang di kamarnya menyayangkan musisi-musisi favoritnya macam Dewa 19 telah mengalah pada industri kapitalis. Sejurus kemudian ia memainkan lagu ciptaannya, sebuah balada cinta berlirik sederhana. Ya, jenis musik setipe dengan fatwa utama industri yang gres saja beliau kritisi. Film soal sosialita yang berusaha "membela" golongan tersebut mengkritik kapitalisme industri terdengar mirip KK Dheeraj menghujat para sutradara dengan kualitas karya buruk. Apa pula fungsi Rachel selain menuturkan hal tersebut dan menemani perenungan Bagus (Baim Wong), putera Dibyo dan Lisa, soal kehampaan hati dalam sebuah subplot setengah matang dan kurang substansial? Film ini memang overstuffed, menyimpan setumpuk dongeng sampingan tak perlu.
Aliran penceritaannya kacau akhir kombinasi naskah, pengemasan sutradara dan editing acak-acakan. Alhasil sulit mencerna kapan waktu berpindah di beberapa bagian. Namun kekacauan itu tak seberapa dibanding kelucuan tak sengaja yang setia mengisi. "Perfect Dreams" konsisten menghadirkan momen-momen clumsy menggelikan, entah akhir akting Qomar yang tak meyakinkan sebagai bos gangster kejam, dialog, hingga pengadeganan. Menyebutkan semua sama halnya menuliskan plot dari awal hingga akhir. Bagian favorit saya ketika Dibyo dan Lisa bertengkar. Di situ Bagus melongo menahan amarah, sementara Anna (Tissa Biani) si puteri bungsu bermain piano mengiringi pertengkaran orang tuanya. Atau tengok momen melibatkan piano lain tatkala Anna bersama tokoh yang diperankan Dayu Wijanto dan para pembantu mendadak bernyanyi, menari, dalam satu adegan musikal canggung.
Ferry Salim sejatinya mempunyai pesona memadahi sebagai laki-laki penuh kuasa berhati dingin. Sayang, perjuangan membuat Dibyo lebih "hidup" melalui segala tingkah polah sok asyik menurunkan wibawanya. Wulan Guritno dan Olga Lydia berusaha maksimal mendalami posisi dua perempuan yang hatinya terluka walau buruknya naskah menangani penokohan menghalangi transfer emosi pada penonton. Baim Wong, Hengky Solaiman, Dayu Wijanto, dan Poppy Sovia pun bernasib sama, gagal menunjukkan bakat akhir harus melakoni adegan berbalut baris kalimat menggelikan. Penggunaan dialek Surabaya cukup memberi sentuhan unik, meski di ketika pelafalan Ferry Salim yummy didengar, tidak demikian dengan Wulan Guritno.
Anda sanggup menerima pengalaman menonton menyenangkan. Syaratnya, jangan terlalu pikirkan, nikmati, jikalau perlu tertawakan kebodohan-kebodohannya. Di balik production value mumpuni yang menimbulkan filmnya yummy dipandang mata, "Perfect Dream" merupakan perjuangan keras tampil pandai namun berakhir bodoh, sama bodohnya dengan Dibyo yang konon katanya sangat cendekia dan licik tapi berselingkuh di galeri foto yang tersusun atas kaca-kaca besar sehingga sanggup terlihat terang dari luar. This movie is entertaining but for a very wrong reason.
Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics
Belum ada Komentar untuk "Perfect Dream (2017)"
Posting Komentar