Smurfs: The Lost Village (2017)
Makhluk mungil berwarna biru kreasi Peyo kembali ke layar lebar lewat reboot animasi pasca dua live action/computer-animated hybrid yang memaksa Neil Patrick Harris mempermalukan dirinya sendiri. Keputusan tepat, alasannya ialah animasi lebih cocok merangkum petualangan konyol para Smurfs. Fokus pun sepenuhnya milik Smurfs ketimbang abjad insan yang selalu menampilkan kebodohan tidak lucu. Terpenting, dunia fantasi imajinatif sanggup ditampilkan seutuhnya. "Smurfs: The Lost Village" takkan bersaing dengan Pixar di ajang Oscar tahun depan, tidak pula sanggup menandingi perolehan Box Office Gru beserta Minions, namun sebagai hiburan segala usia sekaligus perjuangan mempertahankan eksistensi franchise, film ini cukup berhasil.
Film dibuka oleh perkenalan singkat kepada desa daerah Smurfs tinggal, menjelaskan pula bagaimana nama mereka menggambarkan kelebihan masing-masing. Ada Hefty si kuat, Clumsy si ceroboh, Brainy si pintar, dan sebagainya. Kondisi itu tidak berlaku bagi Smurfette, satu-satunya Smurf perempuan yang dulu diciptakan Gargamel dengan tujuan mencari eksistensi Desa Smurfs hingga sihir Papa Smurf menjadikannya baik hati. Smurfette merasa tak punya kelebihan, mendorongnya mempertanyakan tujuan hidup. Hingga suatu hari pertemuan dengan sosok misterius di akrab hutan terlarang membawa Smurfette, Hefty, Clumsy, dan Brainy menuju petualangan mencari desa yang hilang sebelum Gargamel menemukannya.
Jalan ceritanya mengikuti rujukan formulaik animasi dengan sasaran penonton cilik kebanyakan, sekedar memperlihatkan petualangan bergerak lurus berselipkan pesan moral. Tipe petualangan begini terang menciptakan slapstick dominan, jikalau tidak untuk apa abjad Clumsy diciptakan? Sesuai namanya, ia selalu terjatuh, terlempar ke sana-sini. Di sini, "Smurfs: The Lost Village" takkan seberapa memukau penonton dewasa. Anak-anak bakal menikmati kecerobohan Clumsy atau kepintaran Brainy mengkreasi rakit canggih, sementara orang bau tanah mungkin mengeluhkan generiknya perjalanan cerita. Setidaknya naskah karya Stacey Harman dan Pamela Ribon memfasilitasi kita mengajarkan pentingnya kebaikan hati di atas segalanya pada anak. Terkesan naif, namun kompleksitas memang belum perlu bagi sasaran pasarnya.
Film ini menemukan pesona terbesar kala sentuhan komedinya menjauhi ranah slapstick, mengeksplorasi jalan lain terkait pemanfaatan ciri tiap-tiap Smurf. Hefty dan pujian atas otot besarnya menggelitik, tapi paling memancing tawa ialah tingkah Clumsy di samping terpeleset dan sebagainya. Semisal ketika para Smurf terjebak dalam gua dan Clumsy ketakutan setengah mati. Polahnya memancing tawa meski terasa out-of-character karena Harman dan Ribon kolam keliru mengartikan kecerobohan dengan paranoid (ciri khas Scaredy Smurf). Jack McBrayer memberi performa voice acting memikat sehingga Clumsy gampang disukai. Sementara Demi Lovato walau tak jelek sebagai Smurfette, masih di bawah pencapaian Katy Perry di dua film pertama yang menciptakan penonton jatuh cinta mendengar tokohnya bertutur kata.
Tatkala dua film hybrid-nya terbatasi tampilan monoton dunia nyata, media animasi membuka jalan "Smurfs: The Lost Village" menumpahkan desain imajinatif warna-warni penyusun dunianya. Serangga-serangga di tengah hutan memancarkan cahaya, sedangkan anutan sungai berarus deras bagai melayang di udara. Belum mencapai taraf groundbreaking tapi cukup menyegarkan mata, termasuk para Smurf yang masih nampak menggemaskan. "Smurfs: The Lost Village" sanggup memenuhi tujuannya menjadi hiburan ringan semua umur. Sebuah animasi pop dilengkapi iringan lagu pop dan referensi budaya terkenal macam wefie. Cukup pasang ekspektasi yang sesuai.
Belum ada Komentar untuk "Smurfs: The Lost Village (2017)"
Posting Komentar