Oasis: Supersonic (2016)

"There we were now here we are. All this confusion nothings the same to me. But I can't tell you the way I feel. Because the way I feel is oh so new to me". Lirik tersebut berasal dari lagu "Columbia" yang membuka "Oasis: Supersonic" dan tepat mewakili fokus utama dokumenter karya Mat Whitecross ini. Anda takkan bisa merangkum tiap sisi perjalanan salah satu grup band terbesar sepanjang masa ini hanya dalam film berdurasi dua jam. Butuh satu trend penuh serial televisi atau bahkan lebih untuk melakukannya. Akhirnya sanggup dimaklumi bila "Oasis: Supersonic" mengesampingkan efek Oasis pada pergerakan britpop atau kurun pasca 1996 yang dipenuhi naik-turun kualitas hingga berujung bubar jalan di 2009.

It's more about "rise" than "rise and fall". Filmnya meminggirkan fakta bahwa hingga penghujung eksistensi, rilisan Oasis tak pernah menyamai dua album pertama mereka atau penurunan signifikan kualitas bunyi Liam Gallagher. Tapi bisa dimengerti, alasannya "Oasis: Supersonic" memang memfokuskan penceritaan wacana bagaimana para cowok kelas pekerja asal Manchester melesat menjadi grup band terbesar Britania Raya hanya dalam waktu tak hingga dua tahun sehabis merilis single pertama mereka "Supersonic" pada April 1994. Puncaknya tentu gelaran konser dua hari di Knebworth yang disaksikan total 250.000 penonton, dengan 2,5 juta ajakan tiket (1:23 populasi) yang merupakan rekor di Inggris hingga sekarang.
Sebelumnya, kita diajak terlebih dahulu menengok awal pembentukan Oasis, yang meski bukan dongeng gres bagi para penggemar namun tetaplah kisah menarik yang menekankan campur tangan takdir kental keajaiban tak terdefinisi. Bisakah anda menjelaskan kenapa Liam sang berandalan sekolah mendadak terobsesi dengan musik sehabis menerima pukulan palu di kepala? Atau bagaimana Noel yang awalnya seorang roade ternyata mempunyai talenta menulis lagu tingkat dewa? Bahkan di tengah kekacauan dan sensasi tabloid, Gallagher bersaudara tetap menyimpan keajaiban sebagaimana ditunjukkan dalam proses rekaman kala Noel cukup sekali memainkan lagu gres dan Liam eksklusif bisa menyanyikan, merekamnya dengan sempurna. 

Bukan soal Oasis semata, sosok personal Liam dan Noel pun ikut digali dikala filmnya menyoroti kerasnya masa kecil sebagai pemicu keliaran mereka. Hubungan love/hate keduanya pun dipaparkan secara efektif, cukup melalui beberapa footage yang mengatakan canda tawa ditambah penuturan singkat Noel akan rasa irinya kepada rockstar attitude sang adik. Bagi die-hard fans, momen ini bakal menghadirkan senyum, mengembalikan ingatan hangat bahwa sebenarnya mereka saling mencintai dan kerap melontarkan kebanggaan (Liam pernah menyebut kakaknya sebagai penulis lagu terbaik sepanjang masa). Gallaghers jarang menuturkan isi hati, menyebabkan momen personal itu terasa Istimewa meski ketiadaan wajah narasumber sepanjang film menghalangi timbulnya dinamika emosi dan kedekatan penonton dengan subjek.
Rutin menciptakan onar di atas maupun luar panggung, konflik internal berujung pemecatan drummer Tony McCarroll, depresinya Guigsy sang pemain bass yaitu bukti tidak mulusnya perjalanan Oasis, dan serangkaian konflik tersebut jadi sumber hiburan. Pengemasan Mat Whitecross yang didominasi pergerakan animasi liar cocok mewakili sisi chaotic khas Oasis. Pengalaman sang sutradara menciptakan beberapa video klip penuh visual memikat milik Coldplay berperan besar menguatkan visualisasi filmnya. Sebagai penambah takaran hiburan, komentar-komentar bernada arogan, seenaknya tapi tak bisa dipungkiri menggelitik dari Gallagher bersaudara pun hadir walau "the best bites" macam "If I wasn't a musician I don't know. I'd be God, maybe? That would be a good job" (Liam) dan "I despise hip hop. Loathe it. Eminem is an idiot and I find 50 Cent the most distasteful character I have ever crossed in my life" (Noel) takkan anda temui.

Sayangnya keputusan Mat Whitecross menutup film dengan nada melankolis (kontemplasi para personil diiringi "Champagne Supernova") terasa kurang sesuai, sehingga sehabis membangun antisipasi, momentum konser Knebworth justru berujung antiklimaks. Selorohan angkuh berhiaskan "Live Forever" rasanya lebih tepat. Para penggemar berat (termasuk saya) bakal terus diajak bernyanyi walaupun berpotensi kurang bermakna bagi penonton awam, termasuk kemungkinan timbulnya kesalahan persepsi kalau Oasis bubar di selesai medio 90-an. Tapi selaku penelusuran untuk salah satu fase  sekaligus yang terbaik  dalam karir Oasis yang "kaya", "Oasis: Supersonic" telah menjalankan fungsinya dengan baik. MADFERIT!

Belum ada Komentar untuk "Oasis: Supersonic (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel