Rumah Malaikat (2016)
Saya sering menyebut bahwa hal terpenting dari horor yaitu filmnya menyeramkan, tapi bukan berarti naskah sama sekali tak dibutuhkan. Berbeda dengan drama, poin utama naskah dalam horor tidak perlu hingga menggali kisah dan abjad melainkan cukup sebagai motor pencetus alur, sehingga penonton mempunyai sesuatu untuk diikuti sembari menunggu kehadiran teror. Karena selain horor eksploitasi dan slasher (they only need extreme exploitation and creative kills) ketiadaan motor tersebut berpotensi menghasilkan repetisi, apalagi jikalau mengandalkan sosok hantu selaku sumber teror. Kekurangan serupa sayangnya menimpa "Rumah Malaikat".
Film terbaru sutradara sekaligus penulis naskah Billy Christian ("Tuyul", "Kampung Zombie") ini merupakan film horor paling saya tunggu tahun ini. Poster, trailer, dan usungan premisnya telah menjelaskan alasannya. Judul film merujuk pada nama panti asuhan dengan Ibu Maria (Roweina Umboh) sebagai kepala pengurus. Di sanalah Alex (Mentari De Marelle) tengah melaksanakan penelitian bagi skripsinya. Demi memperoleh waktu lebih bersama bawah umur panti (subjek skripsi), Alex menunjukkan diri bekerja menggantikan seorang pegawai yang tidak tahan menghadapi abnormalitas panti tersebut. Tidak butuh waktu usang hingga Alex menemui kejanggalan serupa.
Anak-anak di "Rumah Malaikat" banyak yang berpenampilan absurd (memakai kain epilog mata sampai paper bag sebagai topeng) begitu pula perilakunya. Mulai dari cara bicara misterius, mendadak muntah, atau bercerita mengenai masa kemudian panti asuhan lewat cara mengerikan. Tentu hiperbolis, namun demikian kebutuhan film bertema creepy children. Berbekal mannerism tersebut serta rumah bau tanah berisi sekumpulan lukisan bernuansa "zaman Belanda", semestinya film ini sanggup membangkitkan bulu kuduk melalui pembangunan atmosfer, sayangnya Billy Christian terjebak dalam pengemasan jump scare klise.
"Rumah Malaikat" tersusun atas sekumpulan sequence, di mana setiap sequence hanya berfungsi menjadi set-up bagi gugusan jump scare beriringkan musik berisik milik Rizal Peterson. Pola yang paling sering diulang yaitu Alex melihat penampakan hantu, terdiam, Bi Arum (Dayu Wijanto) tiba mencuri perhatiannya, kemudian begitu berbalik lagi, hantu telah menghilang. Situasi ini terus berulang, semakin melelahkan, menyebalkan dan repetitif seiring bergulirnya durasi. Sangat disayangkan, lantaran di beberapa adegan, Billy Christian dibantu sinematografi Joel F. Zola plus tata artistik Ferry Macan yang senantiasa menciptakan "Rumah Malaikat" lezat dipandang kentara punya insting merangkai creepy imagery, sebut saja ayunan kaki bawah umur di bawah meja makan atau sosok di bathtub.
Akibat cara pengemasan di atas dan penyuntingan Andhy Pulung yang menciptakan lompatan antar momen tersaji terlampau cepat, sulit bisa terserap oleh adegannya. Billy Christian pun bagai kekurangan inspirasi dalam pengembangan cerita, mengakibatkan jalannya alur terasa kosong, sekedar berisikan jump scare. Padahal melihat third act-nya, terdapat begitu banyak sisi bisa digali, sebutlah motivasi Alex, abjad Ibu Maria dan Ario (Agung Saga), putera Bi Arum yang difabel, dan tentunya mengenai Rumah Malaikat sendiri yang menyimpan disturbing backstory. Bahkan bawah umur penghuni panti berbekal ciri unik masing-masing juga layak menerima sorotan lebih.
Terdapat cukup bekal untuk menyajikan pemeriksaan sederhana, menebar benih misteri beserta petunjuknya perlahan demi menghindarkan kehampaan kisah daripada menumpahkan semua di third act. Bayangkan, "Rumah Malaikat" berusaha (tiba-tiba) memaparkan, kemudian menjelaskan setumpuk plot point dalam waktu sekitar 20 menit. Alhasil ketimbang menjelaskan apalagi menguatkan, konklusinya justru membingungkan, meninggalkan lubang. Penutupnya semakin mengecewakan akhir titik puncak berupa perkelahian yang clumsy. Saya tetap merekomendasikan anda menonton "Rumah Malaikat" lantaran penggarapan well-made dan potensi besar yang tersimpan, hanya jangan berharap filmnya berhasil menakut-nakuti.
Belum ada Komentar untuk "Rumah Malaikat (2016)"
Posting Komentar