Captain Fantastic (2016)
Drama keluarga (khususnya Hollywood) sanggup dibagi menjadi dua bentuk: mainstream beriringkan nuansa upbeat atau indie flick seputar keluarga disfungsional yang diselimuti aura kelam (bahkan depresif). Melalui "Captain Fantastic", sutradara/penulis naskah Matt Ross bagai berusaha mengambil jalan tengah. Bercerita mengenai Ben Cash (Viggo Mortensen) yang hidup terisolir di hutan bersama keenam anaknya, film ini dibuka oleh adegan perburuan rusa yang juga merupakan ujian kedewasaan bagi Bo (George MacKay) sang putera sulung. Seluruh anggota keluarga melumuri badan dengan lumpur kolam Arnold Schwarzenegger dalam "Predator". This opening sequence ended when Bo ate the deer's liver.
Tapi sejurus kemudian mereka mandi bersama di sungai, saling mencipratkan air diiringi canda tawa, seolah menegaskan keluarga ini hidup senang dan filmnya takkan menyeret penonton menuju lubang depresi. Keseharian keluarga ini dihabiskan dengan berlatih memakai pisau, memanjat tebing, atau membaca aneka macam macam jenis buku dari novel "Lolita" hingga filosofi Noam Chomsky. Di bawah bimbingan Ben, keenam anak hidup bersama alam, mempunyai fisik setara atlet profesional serta pemahaman literatur kelas wahid si bungsu bisa menjelaskan definisi "fascist capitalist". Lalu timbul pertanyaan, "benarkah cara hidup tersebut memberi hasil terbaik?" Apalagi ketika Bo tampak canggung berkomunikasi dengan para wanita, hasil isolasi selama ini.
Baik dari tone hingga usungan pesan, Matt Ross mengambil jalan tengah. Bukan perilaku permisif main kondusif melainkan posisi netral sebagai bentuk keseimbangan dalam mengkritisi. Ross mengkritik bagaimana masyarakat cenderung mengutamakan sisi normatif, menentukan menyembunyikan fakta yang dianggap tak pantas daripada berusaha jujur dan mencari cara penyampaian tepat. Pada sebuah makan malam, Ben tak ragu memberi anggur pada si anak bungsu dengan alasan membantu pencernaan. Dia pun enggan menjadi conformist, menolak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah publik. Hasilnya? Sang putera yang masih berusia 8 tahun bisa lancar berpendapat wacana Bill of Rights di ketika dua sepupunya yang jauh lebih renta sama sekali tidak mengerti.
Ben sanggup memberikan alasan berpengaruh bahkan bukti kasatmata di balik pemilihan cara hidup ekstrimnya. Tapi Matt Ross tak luput menyuarakan kritik soal jalan hippie tersebut, alasannya yakni walau paham benar segala isi buku, bawah umur Ben sama sekali buta mengenai dunia nyata, kesulitan bersosialisasi. Mereka hidup di alam bebas namun bagai terkekang. Tinggal di luar, tapi tidak pernah melihat dunia luar. Selama 118 menit, Ross konsisten melontarkan serangkaian pertanyaan kritis wacana kedua sisi tersebut untuk penonton, alhasil dinamika penceritaan sanggup terjaga solid.
Berkenaan dengan tone, Ross bisa menyeimbangkan sisi gelap dan terang. Dalam paparan kisah disfungsi keluarga ada senyum alasannya yakni tingkah "tak umum" Ben sekeluarga seringkali menggelitik. Terdapat selipan kelam wacana ajal alasannya yakni bunuh diri yang didorong bipolar disorder, namun karakternya bisa menyikapinya dengan santai bahkan menjadikannya materi lelucon. Intinya yakni keseimbangan. Poin tersebut Ross pertahankan hingga mencapai titik konklusi yang sekilas terasa berkompromi, tapi bahwasanya merupakan statement tepat sasaran, bahwa sebuah perilaku tak melulu berarti mengambil posisi "sayap kiri", merasa anti kemudian membenci "sayap kanan". It's all about living in harmony.
Ross efektif memaksimalkan durasi, memperkenalkan, untuk kemudian mendekatkan penonton dengan tokoh-tokohnya. Kita melihat segala jatuh berdiri pula kasus baik milik para anak maupun Ben diperankan begitu baik oleh Viggo Mortensen lewat kemampuannya menjaga batas ambigu antara kekuatan dan kerapuhan. Pada hasilnya kita terikat secara emosional dengan karakternya. Ditemani iringan soundtrack post-rock yang mengalun pelan namun berenergi, kehangatan bahkan gejolak rasa mengharu biru.
Belum ada Komentar untuk "Captain Fantastic (2016)"
Posting Komentar