Blair Witch (2016)

"Blair Witch" merupakan perjuangan frustasi untuk mengulangi formula kesuksesan "The Blair Witch Project" bahkan sedari taktik promosi yang mengutamakan unsur kejutan. Awalnya mengusung judul "The Woods" dan diproyeksikan sebagai karya orisinal terbaru Adam Wingard  one of the most interesting horror filmmaker today  film ini gres mengungkap jati dirinya dua bulan sebelum perilisan. Publik tersentak dan antisipasi melambung tinggi. Tapi semoga bagaimanapun, tidak mungkin mengulang imbas 17 tahun kemudian tatkala film pertamanya mengubah wajah perfilman horror, mengejutkan penonton melalui misteri viral marketing yang membaurkan batasan fiksi dan realita. 

"The Blair Witch Project" ialah sajian solid. Selain aspek mistis, terdapat pula teror berupa degradasi psikis abjad yang tersesat di hutan. Tapi aku termasuk sedikit orang yang meyakini film itu takkan disematkan gelar masterpiece apabila dirilis pada abad sekarang, ketika found footage sudah (nyaris) mencapai titik nadir, dan masyarakat tak lagi gampang "ditipu" oleh promosi vrial. Dalam hal ini "Blair Witch" telah kalah selangkah. Bahkan keputusan Wingard setia pada cara bertutur film pertamanya justru mencuatkan kesan dipaksakan; trying too hard to looks real and kept the terror inside audiences mind. 

Kisahnya ber-setting 20 tahun pasca film pertama, mengenai James (James Allen McCune), adik dari Heather  protagonis "The Blair Witch Project"  yang meyakini sang abang masih hidup dan terobsesi untuk terus melaksanakan pencarian. Pencarian itu menemukan sedikit titik terang kala ia menemukan sebuah footage di internet yang dipercaya merupakan sisa rekaman milik Heather. Dibantu oleh tiga teman plus dua cowok lokal, James nekat memasuki hutan Black Hills. Bukan saja jumlah abjad bertambah, alat rekam pun turut di-upgrade. Kali ini mereka berbekal kamera DSLR, kamera di earphone, serta sebuah drone
Keberadaan earphone camera mengurangi tidak logisnya found footage sewaktu para tokoh tetap sibuk merekam walau terjebak ancaman mematikan, alasannya ialah kamera tersebut memang selalu melekat di badan karakter. Tapi modernisasi tersebut berujung pointless karena kita masih dihadapkan pada shaky cam berlebihan yang menyulitkan untuk mencerna rangkaian kejadian. "The Blair Witch Project" memang didominasi gerakan bernafsu serupa, tapi kesan murah DV Camera pula penggunaan warna hitam putih pada beberapa belahan sukses menguatkan nuansa eerie realism. Sedang di sini, kita hanya dihadapkan pada gambar berkualitas HD yang rutin bergoyang, menolak menangkap kejadian secara jelas. It's not creepy but annoying.

Berkaca pada "You're Next" sampai "The Guest", Adam Wingard punya kreatifitas untuk men-twist tanpa melupakan tribute, tapi nampaknya identitas "The Blair Witch Project" menekan kreatifitas sang sutradara. Wingard terjebak pada keharusan menyembunyikan penampakan gamblang. Substansi metode tersebut ialah mencengkeram penonton dengan atmosfer tanpa menawarkan bentuk konkret sumber teror. We fear what we don't understand and can't see. Tapi Wingard urung membuat suasana mencekam. Mayoritas durasi hanya diisi orang-orang mengitari hutan tanpa dinamika konflik, tidak menyertakan penonton dalam perasaan terancam. Sewaktu ancaman muncul di malam hari  for some reason the witch can only use her spell in the middle of the night  kita hanya diberi sederet jump scare klise yang seolah memperdengarkan curhatan Wingard; "I have a lot of scary things but I can't show it properly because this franchise doesn't allows me". 
Semakin membuat frustrasi kala Wingard menuruti "aturan" menahan intensitas sebelum klimaks. Mudah sembari menanti finale, film didominasi false alarm saat karakternya mendadak muncul sambil berteriak. Naskah Simon Barrett sempat mengakibatkan ini materi lelucon, tapi itu tak membuatnya lebih baik, alasannya ialah ngotot melaksanakan sesuatu paham bahwa itu kurang baik ialah bentuk ignorance. Wingard sejatinya bisa mengemas titik puncak dengan solid, menjaga ketat intensitas sembari mengungkap beberapa twist mengenai mitologi the blair witch, namun itu saja belum membayar perjalanan melelahkan selama satu jam lebih. 

Potensi terbesar "Blair Witch" terletak pada pengembangan mitologi yang gagal terpaparkan mendalam (lagi-lagi) (lagi-lagi) akibat terkekang hukum narasi di atas. Baik teror maupun eksplorasi mitologi ditumpahkan seluruhnya pada 20 menit terakhir. Tentu waktu sependek itu tidak mencukupi. Patut disayangkan, mengingat unsur time travel berpotensi menjalin penceritaan menarik, setidaknya lebih absorbing ketimbang melihat dokumentasi perjalanan di tengah hutan.

Saya termasuk sedikit pihak yang menganggap kesuksesan "The Blair Witch Project" itu overrated. Tapi sekuel ini telah mengangkat kualitas pendahulunya. Bukan saja terkait pembangunan atmosfer, juga penceritaan. Alur film pertamanya sederhana, namun solid di mana stimulus konflik juga motivasi pendorong karakternya terus merekam perjalanan meski tamat hidup mengintip terhampar jelas. Sulit mendapatkan alasan James begitu terobsesi mencari sang abang sesudah 20 tahun, apalagi ketika insiden itu terjadi, beliau gres berusia 4 tahun. Lisa (Callie Hernandez) pun bukan passionate filmmaker sebagaimana Heather dulu yang mana ikut melemahkan motivasinya. Setidaknya kini aku jadi cukup menyukai "The Blair Witch Project".

Belum ada Komentar untuk "Blair Witch (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel