Adrenaline (2016)
Membuat film menurut suatu wahana bukan hal baru. Sebagai contoh, Disney pernah melakukannya lewat "Pirates of the Caribbean" dan "Tomorrowland". Sudah barang tentu motivasi utama pembuatannya yakni demi mempromosikan wahana tersebut, dan itu sah-sah saja. Maka saya tidak mempermasalahkan ketika Rumah Hantu Indonesia (RHI) menciptakan "Adrenaline". Pertanyaannya, adakah cukup bahan bagi ceritanya? Karena berbeda dengan dua judul produksi Disney di atas, konsep rumah hantu hanyalah menakut-nakuti (baca: mengageti) pengunjung menggunakan jump scare.
Naskahnya dibentuk oleh Rusli Rinchen yang sebelum ini menulis "DPO", jadi tak perlu terkejut bila menemui setumpuk absurditas. Jangan terkejut pula ketika judul film gres muncul kala durasi menginjak 12 menit pasca prolog ber-setting panti asuhan yang menceritakan persahabatan dua bocah, Anjani dan Victor. Ibu Anjani tewas di depan mata keduanya sesudah sesosok hantu menyeretnya ke dalam danau. Pengurus panti tak percaya akan dongeng tersebut dan menuduh Victor telah mempengaruhi Anjani, bahkan mengutarakan tuduhan itu pada calon orang bau tanah angkat Anjani. Ya, hanya di sini anda menemukan pihak panti mencemooh penghuni di depan pengunjung.
Beberapa tahun kemudian, Anjani dewasa (Inzalna Balqis) menemukan selebaran audisi pemain drama hantu berhadiah 130 juta untuk "Adrenaline" yang diadakan RHI. Anjani pun memutuskan ikut, alasannya sesudah kematian ayah angkatnya 15 tahun kemudian keluarganya kesulitan uang. Buktinya, walau masih sanggup tinggal di rumah mewah, Anjani yang malang ini mesti susah payah naik ojek untuk transportasi, berpanas-panas di tengah terik ibukota. Proses audisi mempertemukan kembali Anjani dengan Victor (Yogie Tan) yang sepeninggal teman kecilnya itu mulai menyelidiki dunia mistis. Mengapa? Demi bertemu Anjani. Tidakkah lebih gampang mencari alamat orang bau tanah angkatnya? Ya, tapi dengan begitu kita takkan mendengar teori menggelikan Victor bahwa sekali orang bersinggungan dengan mistis, hal serupa akan terus membuntuti.
Begitu audisi dimulai, hal-hal absurd mulai terjadi, termasuk kemunculan Mr. Hunt (Swara Emil) sang pimpinan RHI. Nantinya terungkap jikalau Mr. Hunt bukan insan melainkan raja iblis. Raja iblis semestinya yakni sosok yang amat sangat mengerikan. Namun "Adrenaline" rupanya mempunyai visi berbeda mengenai raja iblis, yakni laki-laki dengan bunyi menggelikan yang terlalu dibuat-buat, gemar bersenandung, menggunakan make-up sekelas buatan teater kampus serta pakaian yang kolam diambil dari sisa kostum sinetron kolosal.
Ide dongeng "Adrenaline" sejatinya menarik. Bermain dengan misteri alam gaib, ada perjuangan menghindari formula bau yang asal menempatkan sekumpulan dewasa di lokasi angker, meneror, kemudian membunuh mereka satu per satu. Masalahnya, terlalu banyak aspek rumit coba dirangkum tanpa diimbangi penulisan solid. Rusli Rinchen kerepotan menangani kompleksitas kisah, meninggalkan lubang akhir ketiadaan klarifikasi memuaskan. Karakternya dihadapkan pada audisi di mana masing-masing akan dieliminasi, tapi sepanjang film bentuk audisi urung dijelaskan. Bagaimana pula ada kaitan kejadian dunia kasatmata dengan alam mistik RHI? Mengapa empat syarat mengalahkan raja iblis begitu konyol? Mengapa beberapa pihak RHI menolong Anjani? Mengapa RHI menyebar selebaran jikalau penerima memang sudah dipilih? Apa alasan pemilihan mereka?
Sayangnya Dwi Ilalang gagal mengemas kengerian dalam penampakan, padahal beberapa desain khususnya sesosok hantu tanpa lisan tidak mengecewakan potensial. Namun ibarat pengalaman di rumah hantu, para makhluk halus itu sekedar diminta muncul tiba-tiba sembari memasang wajah (sok) menakutkan dan berteriak. Di tangan sutradara dan penulis naskah yang lebih kompeten, "Adrenaline" sanggup berujung sajian horor menyegarkan. Tapi apa daya, jangankan paparan sinematik mengesankan, sebagai media promosi, film ini pun tidak bisa menciptakan saya tertarik mengunjungi Rumah Hantu Indonesia.
Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID
Belum ada Komentar untuk "Adrenaline (2016)"
Posting Komentar