#66 (2016)

Masyarakat kita terobsesi terhadap hal-hal berbau internasional. Seseorang atau sesuatu dielu-elukan jikalau menerima pengakuan, "punya nama" di luar negeri. Prestasi di negeri orang dipandang jauh lebih prestisius ketimbang di tanah air. Kondisi serupa berlaku dalam industri perfilman. Seolah-olah tiap film yang menembus seleksi bahkan memenangkan festival internasional (baca: bertempat di luar negeri) sudah niscaya bagus. Tapi tak sedikit pihak belum memahami bahwa tidak seluruh festival gila sekelas Cannes atau Venice. Banyak pula yang berstatus abal abal (silahkan buka daftar festival yang telah diakreditasi FIAPF).

"#66" karya sutradara Asun Mawardi ("Pirate Brothers") jadi satu lagi "karya anak bangsa" (damn, I hate this term) yang mengundang perhatian pasca meraih kesuksesan di beberapa festival ibarat Worldfest-Houston International Film Festival hingga International Filmmaker Festival of World Cinema. Bonafide atau tidak festival-festival tersebut saya serahkan pada anda. Cek saja situsnya satu per satu. Saya takkan mempersoalkan itu, dan murni menilai pencapaian "#66" dari apa yang tersaji di layar. But yes, this one is a bad movie.

Kali ini Asun Mawardi tak hanya bekerja di belakang kamera, namun turut pula berperan sebagai lead action hero, menjadi pembunuh bayaran tanpa nama yang dipanggil #66, serupa angka yang tercetak pada tato di tangannya. Kode angka itu konon menunjukan keanggotaan suatu organisasi pembunuh bayaran  ada pula tokoh berjulukan #33 (Hendra Louis)  tapi tak pernah sekalipun penonton mendapatkan klarifikasi perihal organisasi tersebut. Ya, #66 mengingatkan pada Agent 47 dalam "Hitman". Tapi berbeda dengan Agent 47, #66 tidak botak dan menggunakan setelan jas rapi, melainkan berambut gondrong, mengenakan jaket kulit dan jeans berlubang. Yep, he's more Aa Azrax than Agent 47. 
Film dibuka oleh kemunculan laki-laki bermuka (sok) galak yang memasuki minimarket. Ternyata minimarket itu dijadikan lokasi belakang layar untuk menciptakan narkoba. Siapa laki-laki itu biarlah jadi misteri, lantaran fokus eksklusif berpindah ke seorang perempuan salah satu buruh di daerah produksi narkoba itu. Sang laki-laki galak? Tak lagi nampak. Sang perempuan rupanya tengah diincar polisi. Tapi sebagaimana laki-laki galak tadi, si perempuan pun bukan sosok integral, tak lagi muncul. Kita pun beralih melihat sang jagoan utama diserang dua preman akhir hutang ketika berjudi. Sudah niscaya #66 yang perkasa menang mudah. Kemudian naskah karya Matthew Ryan Fischer dan Asun Mawardi terus membawa alur melompat acak nan bergairah dari satu titik ke titik berikutnya, tanpa jembatan sebagai eksplanasi, memunculkan kebingungan dalam mengikuti plot. Tiada eksposisi terkait apa, siapa, kapan, kenapa dan bagaimana.

Penanganan naskahnya terbalik, urung menjabarkan poin substansial dan justru kerap menyia-nyiakan waktu mengatakan hal remeh semisal #66 menaiki motor gede di jalan raya hingga sederet obrolan yang hadir sekilas tanpa urgensi, berujung membengkaknya durasi hingga 116 menit. Soal penulisan abjad pun naskahnya lemah. Bermaksud menyiratkan moral abu-abu dan sisi bermasalah sang protagonis, #66 justru terasa jauh dari kesan likeable. Dia berhutang judi, melarikan uang klien, menelantarkan keluarga, dan menolak menolong perempuan yang tengah diganggu preman di jalan walau sang perempuan telah memohon. That's not complexity, simply unlikeable
Pembawaan nihil karisma dan pengucapan obrolan datar Asun Mawardi pun sama sekali tidak menolong. Menggelikan pula mendapati Asun (50 tahun) berperan menjadi anak Yayu Unru (54 tahun). Paling tidak berikanlah riasan supaya perbedaan umur yang begitu bersahabat itu tak sebegitu kentara. Sedangkan mengenai pelafalan datar kalimat, bukan hanya Asun seorang yang melakukannya. Hampir semua cast begitu, mengucapkan baris demi baris kalimat tanpa varian intonasi, sentuhan emosi atau perubahan ekspresi. Rasanya ibarat melihat robot tak berjiwa tengah bicara. Begitu datarnya, akting Donita nampak menonjol dibanding penampil lain.

Untung suguhan langgar cukup memberi angin segar. Koreografi Ryan Adrian Tedja cukup nikmat diikuti, apalagi Asun tak segan-segan menyuntikkan cipratan darah di mana-mana meski pengaruh CGI-nya terhitung kasar. Sayang, aspek tersebut tetap tak kuasa mengatrol jauh kualitas "#66" akhir porsi aksinya teramat minim. Sepanjang durasi 116 menit, penonton lebih banyak diberikan obrolan yang terucap datar dari lisan jajaran pemain. Sesungguhnya agresi epilog ketika #66 menghabisi lawan terakhir layak disebut keren, membangkitkan memori indah atas glorifikasi kebrutalan milik Gareth Evans, namun sungguh kehadirannya terlambat. 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "#66 (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel