Ziarah (2017)
Setelah membuat sekitar 11 film pendek fiksi dan dokumenter yang telah kemudian lalang di banyak sekali pekan raya baik dalam maupun luar negeri, kesudahannya BW Purba Negara menyusul para kompatriotnya sesama sineas arus samping Yogyakarta (Ismail Basbeth, Yosep Anggi Noen, dll.) menelurkan film panjang. Judulnya Ziarah, yang belum usang ini mencuri perhatian publik lewat keberhasilan pemeran utamanya, Mbah Ponco Sutiyem, menerima nominasi aktris terbaik dalam Asean International Film Festival & Awards (AIFFA). Menarik, lantaran selain sudah berumur 95 tahun, si nenek pun gres kali ini terlibat pengalaman berakting.
Mbah Ponco memerankan tokoh Mbah Sri, yang semenjak Agresi Militer Belanda ke-2 tahun 1948 terpisah dari sang suami, Prawiro. Pamit berjuang, Prawiro tak pernah pulang pun tak diketahui makamnya. Hingga suatu hari Mbah Sri bertemu seorang veteran perang yang mengaku kenal bahkan tahu letak makam Prawiro. Berbekal warta seadanya, Mbah Sri sendirian melaksanakan pencarian. Turut ia temui sepanjang perjalanan yaitu orang-orang yang memendam luka terkait masa kemudian juga permasalahan tanah. Sementara itu cucu Mbah Sri, Prapto (Rukman Rosadi), kalang kabut mencari sang nenek, padahal di dikala bersamaan ia telah direpotkan urusan pernikahannya.
BW Purba Negara mengemas Ziarah sebagai film yang njawani, penghormatan atas budaya yang memberi identitas kuat. Dari tatanan kulit luar, musik garapan Miyoshi Masato bersama Clemens Felix Setiyawan kental aroma tradisional Jawa sedari opening atmosferik kala kamera diletakkan di liang kubur, memposisikan penonton kolam tengah dikebumikan. Kemudian, selain penggunaan krama inggil dalam dialog, naskah yang ditulis oleh BW Purba Negara menyertakan pula unsur klenik khas Kejawen. Penggunaannya unik, lantaran ketika secara umum dikuasai film kita memakai klenik untuk bangunan horor, BW menempatkannya murni sebagai bab budaya yang bagi tokohnya merupakan kewajaran dalam hidup. Keris yang bergerak sendiri bukan dikemas mencekam, sebaliknya, memberi harap di tengah pencarian akan cinta.
Di ranah lebih mendalam, budaya Jawa, tepatnya praktek "othak-athik gathuk" berperan menggerakkan narasi. Perjalanan Mbah Sri dan Prapto didorong oleh hal ini, di mana keduanya mendengar cerita-cerita dari banyak sumber wacana seorang pejuang yang mungkin yaitu Prawiro, mengaitkan bermacam-macam warta kabur tersebut, kemudian nekat berangkat mencari. Sepanjang film, aktivitas "othak-athik gathuk" mendominasi. Satu fenomena dikaitkan dengan insiden lain, satu dongeng dianggap bersinggungan dengan dongeng berikutnya. Ini juga yang melatarbelakangi disertakannya kisah masyarakat dari banyak sekali tempat. BW berkreasi supaya info yang didapat Mbah Sri dan Prapto terhubung dengan kampung-kampung tersebut, membawa mereka singgah di sana. Selaku penulis, BW memang cerdik, entah dalam menyusun banyak sekali poin narasi atau berfilosofi soal hidup-mati, cinta, hingga kekerabatan hidup personal dengan interaksi sosial.
Walau merupakan fiksi, Ziarah mengaburkan batasan dengan realita. Selain sempilan beberapa fakta, BW pun menerapkan gaya dokumenter, misal dikala Prapto "mewawancarai" warga wacana konflik masa penjajahan atau luapan waduk yang menenggelamkan sebuah desa. Kisah-kisah ini memperkaya titik-titik destinasi Ziarah yang memang berbentuk road movie berisi perjalanan dari satu lokasi ke lokasi lain. Di sini tercipta kelebihan sekaligus kekurangan terbesar filmnya sewaktu BW menumpahkan segala hal menarik dan kejutan (termasuk ending mencekik) pada destinasi namun membiarkan proses menuju ke sana kosong. Pemandangan Mbah Sri berjalan atau duduk termangu terasa repetitif alih-alih memancing kontemplasi akhir tidak padatnya alur. Alhasil sulit menahan perkiraan jikalau Ziarah bakal lebih efektif sebagai short ketimbang feature.
Mendukung kedekatan filmnya dengan realita yaitu penampilan Mbah Ponco Sutiyem yang mengatakan tingkah laris natural, sehingga penonton menyerupai mengintip rekaman dunia kasatmata daripada kisah yang direka-reka. Tidak sanggup dikesampingkan juga penyutradaraan BW Purba Negara, lantaran tanpa kejelian pengadeganan, pilihan shot, serta tata urutan gerak narasi miliknya, bukan tidak mungkin Mbah Ponco takkan membuahkan akting sebaik itu.
Berpotensi menggugah, Ziarah sayangnya tergolong arthouse yang meredam daripada memperhalus emosi (contoh: Istirahatlah Kata-Kata). Pencarian Mbah Sri yang banyak menemui momen mencekat sering berlalu begitu saja di tengah kesunyian. Pun kekurangan soal emosi turut dipengaruhi lemahnya departemen editing oleh BW Purpa Negara dan Dwi Agus Purwanto. Dalam beberapa kesempatan, adegan berpindah begitu kasar, menghalangi rasa penonton terkoneksi, tak jarang pula menghasilkan kebingungan. Bahkan faktor ini sempat membuat momen clumsy tatkala filosofi "manusia berasal dari tanah dan kembali ke tanah" dibicarakan. Bukan sepenuhnya salah editor, lantaran ada kemungkinan sang sutradara mengambil terlalu sedikit stock footage hingga tak memfasilitasi transisi antar adegan.
Belum ada Komentar untuk "Ziarah (2017)"
Posting Komentar